Mohon tunggu...
NuNo Marbun
NuNo Marbun Mohon Tunggu... -

sama seperti Batik dan Istana, orang seperti kami juga Asset Bangsa dan Negara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok, Pilkada DKI dan Politik Tanpa Arah

18 September 2016   13:50 Diperbarui: 18 September 2016   14:06 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Benar kata mereka, Demokrasi diberikan kepada Indonesia dengan Kemampuan Politisi dan nalar masyarakat dalam berpolitik yang setengah Matang, Peta politik yang semakin kacau pada Pilkada DKI kali ini sangat menggambarkan bagaimana Politik kita berada pada titik nadir darurat, namun Media dengan bagus membungkus hak masyarakat menerima informasi dengan lengkap dan berimbang dan lebih memberikan tontonan sidang jesika yang menjemukan, sidang dengan saksi ahli terbanyak, bisa jadi.

Indonesia boleh jadi adalah Negara Demokrasi terbesar namun Amerika adalah Negara dengan Demokrasi paling maju dan seimbang, Jika kita kembali di tahun-tahun lampau Amerika pun pernah mengalaminya, Isu Rasis menjadi variabel yang sangat menentukan di Amerika ketika Dr. Marthin Luther mendapat hadiah disahkannya RUU Hak Sipil oleh Presiden Lyndon B Jhonson selepas mendapat mandat memerintah setelah Tragedi Penembakan Kennedy, ketika maju kembali di Pemilihan tahun 1964 Isu Rasis begitu dimanfaatkan oleh lawan politiknya, meski pada akhirnya Lyndon B Jhonson tetap menang dan Kematian isu Rasis mengantarkan Obama menjadi presiden kulit hitam bagi Amerika. 

Indonesia yang tehitung muda dalam berdemokrasi tentu masih memiliki Politisi-politisi setangah matang, ya, sama seperti Amerika dijaman lampau, dalam berpolitik Prinsip adalah sesuatu yang menjual namun dapat terbeli dengan kepentingan Suara pada pemilihan. Indonesia mengalami kemunduran teramat dalam dalam berdemokrasi, ketika isu Rasis dan Agama menjadi begitu menjual, kita tidak hanya mundur tapi sepertinya menjadi hilang arah.

Pilkada DKI adalah gambaran bagaimana Politik menjadi begitu menjijikkan, segala upaya dilakukan untuk manarik Perhatian dan berusaha mendapat Suara Rakyat bahkan dengan  upaya yang sedikit aneh dan lucu (kehilangan daya untuk mengungkapkan kata Kejam). Bagaimana isu Ras dan Agama menjadi faktor kelayakan untuk bagaimana harusnya memilih pemimpin, bagaimana harusnya tercipta pemimpin dan bagaimana harusnya mengukur kemampuan seseorang memimpin, Kita seakan kehilangan rasa dalam berpolitik, kita seakan kematian daya dan kita seakan kehilangan ide brilian untuk memenangkan pertarungan dan harus memakai alasan tak beradab itu untuk menang.

Atau bagaimana jika saya memberi pilihan bagi anda sebagai alternatif stategi kampanye kedepannya seperti janji untuk terjun dari pancoran jika kalah, atau pindah rumah ke bekasi atau depok, ah tidak terlalu dekat, bagaimana jika Medan, ahhhhhhh, aduh, sebaiknya mari kita berdoa Ahok untuk kalah sehingga bisa pindah ke Medan dan menyelesaikan urusan Jalan, drainase dan Begal, hahahaha...ada pilihan lain?

Banyak... bagaimana jika kita coba merias calon-calon Gubernur yang Sederhana agar kelihatan seperti Jokowi meski dengan dasar alas muka pengusaha yang suka foya-foya awalnya. Jadi teringat dengan Jokowi (Bapak Presiden tepatnya) yang pernah disindir oleh salah satu Pemimpin partai dengan kalimat "tidak apa-apa maling yang penting santun", kenapa tidak pakai alasan itu, minta rakyat jakarta memimpikan Pemimpin yang santun agar ahok kehilangan taring buasnya dalam memberantas Mafia anggaran, pendidikan sampai kuburan, atau Penggusaran yang terlihat kejam namun manusiawi demi tata kota yang lebih beradab. haaaaaaaa....(nada mendapat pencerahan) bagaimana jika isu penggusuran kita pakai dengan mencetak penjuang-penjuang Hak Azasi manusia musiman yang datang saat penggusuran lalu setelahnya pergi ntah kemana seperti mantan. 

hmmmmmmmm...(seperti balasan chat wanita), seperti kata seorang budayawan, Pembenci dan Pengagum sama-sama berbahayanya. Ya harus saya akui tulisan ini seperti sangat mengagumi Ahok, terus bagaimana? apa saya harus mengagumi Pesaingnya yang maju berjuang di Pilkada bukan dengan Visi demi Rakyat namun demi semata-mata mampu mengalahkan Ahok dan harus saya akui kekaguman saya berbahaya karena bisa kehilangan nalar, sama seperti pembencinya, tapi saya katakan dengan jelas dan Tegas, ingatkan bahwa Politik itu seperti Perang dalam arti lain, wait....Omong Kosong !! Politik itu adalah Perang. Sejarah Indonesia, Bangsa dan Negara kita sudah cukup jelas tertulis begitu banyak Konflik sosial yang lahir dari benih Rasis dan Agama, lalu sekarang saya katakan membawa isu Ras dan Agama dalam Politik sama dengan menanam benih Konflik Ras dan Agama dalam Perang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun