Suatu ketika duduk penuh penantian di pojok sebuah ruangan, menanti kapan akan datang yang dinanti. Menghela nafas dalam irama penuh harap, menelan ludah sebagai pertanda bahwa harapan benar-benar sudah turun dari ide di kepala berjalan menuju perut yang sudah memainkan irama antahberantah.
Akhirnya datang juga, yang dinanti benar-benar menjadi realita di depan mata. Kelegaan dan kegembiraan begitu bersahabat mengiringi santapan siang itu di sebuah Rumah Makan Padang yang cukup sederha, murah, dan lumayan laris. Tiba-tiba terhenyak, tangan terjulur di depan mata meraih sendok di ujung meja, tanpa suara dan tak ada tatap mata menyiratkan adab ketimuran. Begitu mahal untuk sebuah kata "permisi", betapa sulitnya "maaf" terucap, dan senyum sudah hilang dari kesantunan.
Hanya bisa terhenyak dan terdiam sejenak. Kenyang tiba-tiba hadir memenuhi seluruh raga. Selera yang berapi-api penuh harap itu mendadak pergi begitu cepat tanpa pesan sepatah kata pun. Akal terus berdiskusi di dalam diri, menerka dan mereka-reka tentang adab yang mulai sirna. Mendadak, kembali tangan terjulur di depan mata meraih sedotan berwarna merah di ujung meja, tanpa suara dan tak ada tatap mata menyiratkan adab ketimuran. Tertunduk, menahan rasa, antara marah atau sedih.
Manusia telah kehilangan jiwa, meninggalkan raga dan busana. Kata-kata santun hilang dalam kamus, adab kesantunan luntur dalam keegoisan, dan senyum bersahabat di bibir tertutup tebal oleh bualan dan ancaman. Satu harapan besar, semoga semuanya lekas kembali, dalam diri manusia sejati. Biarkan dunia kembali tersenyum bersahabat merangkai jiwa penuh makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H