Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Refleksi Aksi: Memaknai Kegagalan, Membangun Langkah

30 Maret 2023   08:05 Diperbarui: 4 April 2023   19:30 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tangga sukses dan gagal. (sumber: SHUTTERSTOCK/DIMJ via kompas.com)

Kegagalan dalam hidup merupakan materi pembelajaran yang kontekstual dan bermakna dalam hidup ini. Inilah sekolah kehidupan yang harus dijalani setiap orang hidup di dunia ini. Menjadi pilihan hidup, mau naik kelas atau tinggal kelas dalam sekolah kehidupan ini.

Hidup manusia terkadang mengalir begitu saja, dari pagi hingga malam dan kembali pagi kembali, semuanya menjadi rentetan peristiwa yang hampa tanpa makna. 

Sejatinya hidup yang mengalir begitu saja akan memudahkan orang jatuh pada rutinitas dan kejenuhan sehingga tidak ada semangat dan idealisme diri yang muncul dalam pikiran dan hati. 

Semuanya mengalir saja. Jika ini dipahami lebih dalam, sesungguhnya hal ini menjadi awal mula kegagalan dalam hidup, di mana manusia gagal menghidupkan hidupnya untuk kehidupan yang lebih baik dan bermakna.

Semakin terasa, hidup yang hanya menjadi rutinitas belaka akan melahirkan jiwa yang rapuh. Di saat mengalami kegagalan dalam hidup, ada sesuatu yang tidak tercapai atau ada hambatan tertentu.

Maka jiwa yang rapuh senantiasa akan semakin menjadikan pribadi yang gagal terperosok dalam keputusasaan dan ketidakmampuan untuk bangkit memulai hal baru. Jiwa yang rapuh akan rapuh pula dalam militansi hidup, mudah patah dalam badai kehidupan. 

Ketika orang tidak mampu bangkit dari kegagalan, akan menjadi sebuah format kehidupan baginya bahwa dirinya adalah pribadi yang gagal, tak mampu, dan tak berguna.

Profesor Bisnis Gary Hamel dan C.K. Prahalad menulis sebuah eksperimen atas kelompok kera. Empat kera ditempatkan di sebuah ruangan yang dilengkapi sebuah tiang tinggi di tengahnya. Di puncak tiang itu tergatung setandan pisang yang sudah matang. 

Salah satu kera yang sangat lapar mencoba memanjat tiang itu untuk mendapatkan pisang, namun ketika kera itu sudah hampir mendapatkan pisang, kera itu disemprot dengan air dingin. Kera tersebut menjerit terkejut dan turun lari tungang langgang sehingga gagal mendapatkan pisang. 

Kera yang lain mencoba hal yang sama, namun selalu gagal karena disemprot dengan air dingin. Akhirnya, kera-kera itu menyerah.

Illustrasi dari: www.anbfc.bank
Illustrasi dari: www.anbfc.bank

Air dingin yang disemprotkan menjadi penghalang bagi kera itu untuk mendapatkan pisang. Menyerah menjadi pilihan bagi para kera sehingga tidak memilih untuk mendapatkan makanan walau sebenarnya sangat lapar. 

Putus asa dan menyerah menjadi pilihan. Terkadang dalam kehidupan manusia pun, tak jarang banyak orang memilih menyerah atas segala sesuatu yang sedang diperjuangkan karena adanya halangan, gangguan, atapun tantangan yang dirasa sulit untuk dilewati. 

Gagal menjadi pilihan hidup bagi mereka yang enggan untuk berjuang lebih keras, melebih batas kenormalan.

Kelanjutan penelitian Hamel dan Prahalad dengan kera sangat unik. Ketika peneliti mengganti satu kera di ruangan itu dengan satu kera baru, kera tersebut langsung memanjat untuk mendapatkan pisang namun segera disambar oleh tiga kera lain untuk turun. 

Setiap kali kera yang baru mencoba memanjat, selalu ditarik turun hingga akhirnya kera tersebut juga menyerah. Bahkan, ketika kera baru yang lain dimasukkan menggantikan kera yang lama, terjadi hal yang sama, ditarik dan akhirnya menyerah. 

Sampai pada akhirnya, ruangan itu diisi oleh kera yang tidak pernah mendapat semprotan air dingin, namun tak seekorpun mau memanjat walau tidak tahu alasannya.

Kegagalan dan keputusasaan mudah sekali menular dalam kehidupan ini. Energi negatif dari orang lain seringkali merasuk dalam diri dan mempengaruhi diri sehingga memperlemah militansi untuk berjuang dan bertekun dalam hidup. 

Celakanya, banyak orang gagal namun tidak pernah tahu alasannya gagal dan tidak mau menemukan alasan untuk bangkit. Sejatinya, kegagalan adalah pembelajaran hidup yang bermakna untuk bangkit dan memulai langkah baru untuk keberhasilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun