Jika kebenaran terbentur pada kepercayaan yang kaku, niscaya kebenaran itu akan kalah.
Dalam kehidupan ini dibutuhkan jiwa dan raga yang sehat dan waras dalam menjalani segala aktivitas kehidupan dan memaknainya setiap saat demi kehidupan yang lebih baik dari hari ke hari.Â
Ada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam kehidupan yang dapat membantu manusia dalam menghidupi hidup ini namun tak jarang juga ada yang justru mengkerdilkan makna kehidupan sehingga manusia jatuh pemikiran sempit dan nurani yang semu.
Pada suatu hari Nasruddin menyuarakan pikirannya dengan nada filosofis. "Siapakah yang dapat menjelaskan makna kehidupan dan kematian?" Isterinya, yang sedang sibuk di dapur mendengar pertanyaan itu lalu berkata: "Dasar laki-laki, tidak praktis! Orang bodoh pun tahu, jika ujung-ujung jari seseorang sudah kaku dan dingin, ia sudah mati."
Nasruddin terkesan oleh kebijaksanaan isterinya yang praktis itu. Sekali peristiwa pada musim dingin, ia berjalan-jalan di atas salju dan merasakan tangan dan kakinya mati rasa serta kaku karena kedinginan. "Aku ternyata sudah mati." pikirnya. Lalu muncul pikiran berikutnya: "Mengapa aku masih berkeliaran di jalan, jika sudah mati? Aku harus berbaring seperti layaknya semua orang mati." Nah, ia pun berbaring persis seperti orang mati.
Sejam kemudian lewatlah beberapa pejalan kaki. Mereka menemukannya terbaring di tepi jalan. Mereka mulai berdiskusi, apakah orang itu masih hidup atau sudah mati.
Nasruddin ingin berteriak sekuat tenaga dan berkata: "Hai orang-orang bodoh, tidakkah kamu lihat bahwa aku sudah mati? Tidak tahukah kamu, bahwa ujung-ujung tangan dan kakiku dingin dan kaku?" Tetapi ia menyadari bahwa orang yang mati tidak pantas masih bicara. Maka ia pun diam.
Akhirnya mereka memutuskan bahwa orang yang terbaring di atas salju itu pasti sudah mati. Maka mereka mengusung jenasahnya ke kuburan.Â
Belum begitu jauh berjalan, mereka sampai di persimpangan jalan. Mulailah mereka bertengkar lagi mengenai jalan mana yang menuju ke kuburan. Nasruddin menahan diri untuk diam selama ia dapat. Tetapi akhirnya ia tidak tahan lagi dan berkata:
"Maaf, saudara-saudara. Jalan ke kuburan adalah jalan di sebelah kiri saudara. Saya tahu, orang mati diandaikan tidak berbicara, tetapi untuk kali ini saja saya membuat kekecualian. Maaf, saya berjanji tidak akan mengucapkan sepatah kata lagi."
Kepercayaan yang tidak mempertimbangkan nalar sehat dan nurani yang jernih justru akan jatuh pada penyesetan diri. Dalam hidup ini senantiasa membutuhkan kesatuan budi dan hati dalam kolaborasi yang sinergis sehingga membentuk jiwa yang selalu matang dalam berpikir, bertutur, berasa, dan bertindak. Ketika manusia jatuh pada kebenarannya sendiri, tidak jarang justru menjerumuskan dirinya dalam kebodohan yang absolut dan kegelapan yang menghapus logika.
 Saatnya untuk kembali ke kandang, diri kita masing-masing, untuk melihat kembali ke dalam diri kita masing-masing dalam memegang kepercayaan dan mengusahakan kebenaran.
 Jangan-jangan kita menjadi seperti Nasruddin, jatuh dalam kepercayaan kaku yang menyesatkan kebenaran hidup. Mari merenung! Mari menjadi bijaksana dan sehat dalam kepercayaan yang meresap ke dalam budi dan hati sehingga kebenaran tetap terjaga.
Kembali ke Kandang, adalah sebuah permenungan hidup di malam hari menjelang menuju pembaringan jiwa dan raga setelah seharian merangkai kisah kehidupan lewat segala dinamika yang ada. Terinspirasi dari buku "Burung Berkicau" karya Anthony de Mello SJ (1984, Yayasan Cipta Loka Caraka), renungan malam dalam bingkai "Kembali ke Kandang" ini mencoba memaknai hidup yang penuh makna ini sehingga hidup menjadi lebih hidup lewat kutipan kisah penuh makna dari Anthony de Mello.
@Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H