Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Humanis (7): Debat, Cerdasnya Pembelajaran dalam Budi, Hati, dan Rasa Peduli

5 September 2021   06:00 Diperbarui: 5 September 2021   06:00 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku #The_Educatorship, 2016.

Memalukan tatkala melihat perilaku pemimpin-pemimpin (termasuk wakil rakyat) dalam berargumen. Bahkan tidak jarang sikap tidak dewasa dan anarkis ditunjukkan tanpa rasa malu. Saatnya pendidikan membiasakan kearifan intelektualitas sejak dini.

Suatu siang yang lumayan panas, sejak bel tanda masuk setelah istirahat berbunyi, di sebuah kelas aura panas sudah mulai menyelimuti enam orang siswa yang sudah siap beradu. Bukan beradu fisik tentunya tetapi mereka akan beradu argumen. Masing-masing kelompok, pro dan kontra yang terdiri dari masing-masing tiga orang siswa, akan saling mengalahkan satu sama lain untuk menjadi yang terbaik dalam debat siang itu.

Siang itu mereka akan beradu argumen tentang "Aborsi". Pihak pro akan menggunakan senjata ampuhnya untuk mempertahankan bahwa mereka mendukung aborsi dengan segala fakta dan opini yang mereka siapkan. Tentunya pihak kontra pun tak mau kalah sehingga mereka pun sudah menyiapkan segala kemungkinannya untuk menentang adanya aborsi.

Dan sungguh-sungguh panas dan antusias sekali pihak pro dan kontra dalam debat siang itu. Mereka berusaha saling menyerang argumen satu sama lain dan sebisa mungkin membuat pihak lawan tak mampu membalasnya. Berbagai taktik  dalam berdebat pun coba mereka terapkan.  Bahkan permainan kata dan gaya bahasa pun coba mereka lontarkan untuk menjatuhkan pihak lawan. Benar-benar menarik dan seru sekali debat siang itu.

Partai kedua debat siang itu pun juga tak kalah menarik dari partai Aborsi. Di partai kedua, kelompok pro dan kontra memperdebatkan tentang hukuman mati. Tampak sekali masing-masing kelompok mempertahankan argumennya dengan melihat topik itu dari berbagai sisi, seperti aspek sosial, agama, politik, hukum, dan sebagainya. Sebenarnya masih banyak partai debat yang berlangsung di hari yang lain dengan topik yang tak kalah menarik, seperti euthanasia, merokok, pernikahan dini, SMA pacaran, Miss Waria, pendidikan gratis, atau juga mendadak artis.

Esensi Pembelajaran

Anak-anak belajar banyak hal melalui pembelajaran model debat ini. Hal yang utama adalah mereka mengenal esensi dalam sebuah wacana. Tentunya ada perbedaan mendasar antara musyawarah, diskusi, dan debat. 

Ketiganya sering dialami oleh para siswa dalam kesehariannya sehingga mereka mesti tahu esensi dari wacana yang ada.

Tujuan dari masing-masing itu sangat berbeda. Musyawarah tentunya memiliki tujuan untuk sebuah kebersamaan dan kekeluargaan sehingga sering kita mendengar musyawarah untuk mufakat. 

Diskusi beda lagi karena tujuan diskusi adalah untuk mencari kebenaran dari sebuah topik. Sedangkan debat lebih bertujuan untuk mengalahkan pihak lain atau dengan kata lain bertujuan untuk mendapatkan kemenangan.

Dengan menyadari esensi musyawarah, diskusi, dan debat itu akan menjadi sebuah modal yang baik bagi anak-anak saat harus melakukan proses wacana tersebut. Mereka tahu bagaimana mereka harus memposisikan diri dalam sebuah pembicaraan. 

Bukan malah salah kaprah. Mau mendiskusikan tentang makna di balik tulisan-tulisan William Shakespeare malah saling debat dengan ego akan pendapatnya masing-masing. Atau malah dimusyawarahkan sehingga yang ada adalah kesepakatan tentang baiknya bagaimana saja perihal makna di balik tulisan-tulisan William Shakespeare itu. Ini khan salah kaprah.

Anak-anak mulai belajar menentukan model yang baik dalam sebuah pembicaraan. Model apakah yang harus digunakan ketika anak-anak akan menentukan iuran dana kelas? Kalau yang digunakan diskusi, bisa jadi yang memiliki pengaruh kuat dan pandai bicara di kelas itu akan dengan mudah menentukan "kebenarannya" sebagai keputusan akhir. 

Kalau yang digunakan debat, maka bisa jadi tidak akan tercapai keputusan akhir karena masing-masing pihak kuat dengan argumennya. 

Yang paling tepat tentunya dengan musyawarah sehingga suasana pembiacaraan menjadi rileks dan keputusan dipertimbangkan berdasarkan keadaan sesungguhnya. Mungkin iuran diputuskan seribu rupiah per bulan tetapi yang tidak mampu boleh kurang dari itu sedangkan yang mampu bisa lebih dari itu.

Dengan demikian, anak-anak mulai belajar untuk memposisikan dirinya sesuai dengan tempatnya. Hal ini sangat penting karena dalam kehidupan nyata kita dihadapkan pada banyak situasi yang menuntut kita pun harus bisa menyesuaikan diri dengan baik. 

Jangan sampai ikut rapat RT atau pertemuan remaja malah kita dengan semangat debat. Bisa jadi kita dibenci oleh lingkungan kita.

Nilai-nilai di Balik Debat

Sebuah kesadaran mulai dibangun dalam diri anak-anak lewat pembelajaran model debat. Dan dari debat itu sendiri pun, mereka belajar banyak hal tentang kehidupan ini. Sebuah perjuangan benar-benar ditekankan dalam proses debat ini layaknya dalam hidup ini kita mesti berjuang. 

Untuk bisa sukses dalam debat, anak-anak mesti berjuang mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya untuk mendukung argument mereka, pro atau kontra. Mereka harus buka internet, membaca referensi, bahkan bertanya dengan narasumber. 

Selain itu, kadang mereka pun melakukan survei atau wawancara untuk mendukung argumen mereka. Benar-benar sebuah proses perjuangan yang hebat.

Perjuangan itu belum selesai. Setelah semua informasi itu mereka kumpulkan, mereka pun harus mengolah semuanya sehingga menjadi "amunisi" yang ampuh dalam debat. Mereka pun harus merancang strategi untuk mengalahkan pihak lawan dalam debat. 

Untuk merancang strategi itu pun, mereka harus mencari informasi lewat internet, buku, atau nara sumber tentang taktik debat yang jitu. Benar-benar sebuah proses perjuangan yang matang dan terencana.

Akhirnya perjuangan semakin nyata tatkala mereka berdebat. Bagaimana mereka menggunakan "taktik perang" untuk mengalahkan musuh nyata dalam debat yang mereka jalani. Dalam waktu yang pendek, mereka harus bisa "mematikan" lawan dengan amunisi argumen mereka. 

Tentunya, itu tidak mudah karena lawan pun juga meimiliki "amunisi" yang hebat juga. Tampaknya seperti perang dunia saja. Dari antusiasme dan kegigihan pihak pro dan kontra menunjukkan sebuah perjuangan yang hebat.

Anak-anak telah belajar akan sebuah perjuangan dan mereka telah merasakan sungguh kerasnya berdebat. Ini penting bagi mereka karena hidup ini tidak semuanya enak dan lembut, tapi kadang begitu keras dan menantang. Dalam kerasnya hidup itu dibutuhkan cara berpikir yang sistematis dan logis, hati yang kokoh, dan sikap yang jelas dan tegas. Debat menjadi sebuah media untuk belajar akan kerasnya hidup ini.

Senyum dari wajah-wajah yang tegang itu mulai mengembang. Kelegaan mulai dirasakan setelah melewati kerasnya debat siang itu. Jabat tangan dan canda tawa pun menghiasi pasca debat itu, seolah-olah mereka telah lupa akan pertentangan dan perseturuan yang baru saja terjadi. Sebuah pembelajaran akan proses pendewasaan pun mereka rasakan dan jalani.

Akhirnya, debat telah membawa mereka pada sebuah kecerdasan hidup. Anak-anak menjadi cerdas secara otak dalam proses berpikir dan menyampaikan buah pikiran itu. Anak-anak menjadi cerdas secara hati lewat pendewasaan diri dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya dan fenomena masyarakat yang tersirat dalam topik debat. Dan, anak-anak menjadi cerdas sikap dalam kepedulian akan apa yang terjadi di sekitarnya, khususnya dalam isu-isu dalam debat mereka. Ibu pertiwi pun akan tersenyum dibuatnya.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
@ Pendidikan Humanis: diambil dari sebuah buku yang berjudul #The_Educatorship, Seni Memanusiakan Wajah Pendidikan, yang ditulis oleh FX Aris Wahyu Prasetyo, 2016, PT Kanisius, Yogyakarta. 

Nilai-nilai humanis yang sangat kental dalam kisah-kisah yang tertuang dalam buku ini patut untuk dibagikan ulang sebagai inspirasi dan motivasi mengembangkan pendidikan dewasa ini. Pendidikan sejatinya memanusiakan manusia menuju taraf insani, maka mari mengembangkan humanisme dalam dunia pendidikan secara kontekstual, bermakna, dan reflektif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun