Kata-kata begitu kuat menyiratkan makna menusik budi dan hati yang menggerakkan jiwa dan raga dalam mewujudkan uraian makna dalam kehidupan nyata. Kedalaman batin menjadi penyaring untuk menghindarkannya dari kesesatan.
Tidaklah salah dalam usaha mengembangkan diri dan kehidupan ini, manusia mencoba mengurut makna di balik kata-kata sebagai sebagai sebuah pedoman hidup. Ada sebuah harapan besar bahwa makna kata-kata itu akan mengantarkannya pada kehidupan yang bermakna dan bijaksana.
Seorang mistik pulang dari padang gurun. "Katakanlah, seperti apakah Tuhan itu!" tanya orang-orang mendesak. Tetapi bagaimana mungkin mengungkapkan dalam kata-kata apa yang dialaminya dalam lubuk hatinya yang paling dalam? Mungkinkah mengungkapkan Yang Mahabesar dalam kata-kata manusiawi?
Akhirnya ia memberi mereka sebuah rumusan -- begitu kurang tepat dan serampangan! -- dengan harapan bahwa beberapa dari antara mereka mungkin akan tertarik untuk mencari sendiri apa yang dialaminya.
Mereka berpegang kuat pada rumusan itu. Mereka mengangkatnya menjadi naskah suci. Mereka memaksakannya kepada setiap orang sebagai kepercayaan suci. Mereka bersusah payah menyebarkannya di negeri-negeri asing. Bahkan ada yang mengorbankan nyawanya demi rumusan itu.
Orang mistik itu pun menjadi sedih. Mungkin lebih baik, seandainya dulu dia tidak perbah berbicara.
Rupanya ada banyak pengalaman hidup yang begitu berharga dan menggerakkan jiwa tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tak ada kata yang mampu mengungkapkan seluruh makna yang mewakili seluruh pengalaman hidup yang melibatkan ketajaman pikiran, kedalaman hati, serta pergulatan jiwa dan raga. Makna-makna itu hanya bisa dirasakan, dipahami, diresapi, dan dimaknai dengan mengalaminya sendiri dalam kesadaran dan keterbukaan diri.
Mengalami langsung dalam pergulatan batin, komunikasi secara pribadi dengan Sang Pencipta, mengusahakan kedalaman pikiran, dan membangun habitus reflektif, adalah sebuah pengalaman hidup yang hanya bisa diudahakan oleh diri sendiri lewat kemauan dan kesadaran diri untuk menghidupi hidup. Diskresi diri dalam mendengarkan suara hati-kebaikan, bukan suara setan, merupakan kesempatan yang harus dibiasakan agar pribadi pun terbiasa berbuat baik dan benar.
Pengolahan jiwa tidaklah cukup berpedoman pada kata-kata belaka.Saatnya untuk kembali ke kandang, diri kita masing-masing, untuk melihat kembali ke dalam diri kita masing-masing dalam mengusahakan pengalaman-pengalaman hidup yang mengembangkan hati, pikiran, dan perbuatan dalam kerangka mendidik diri pada keluhuran nama-Nya. Ada yang begitu besar, agung, dan mulai yang tak dapat ditemukan dalam kata-kata, namun hanya bisa dirasakan dan dialami dalam keheningan batin, relasi mendalam dengan Sang Ilahi, dan nyata dalam perbuatan baik dengan sesama dan semesta.
Kembali ke Kandang, adalah sebuah permenungan hidup di malam hari menjelang menuju pembaringan jiwa dan raga setelah seharian merangkai kisah kehidupan lewat segala dinamika yang ada. Terinspirasi dari buku "Burung Berkicau" karya Anthony de Mello SJ (1984, Yayasan Cipta Loka Caraka), renungan malam dalam bingkai "Kembali ke Kandang" ini mencoba memaknai hidup yang penuh makna ini sehingga hidup menjadi lebih hidup lewat kutipan kisah penuh makna dari Anthony de Mello.
@ Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H