Semakin sedikit seseorang berpikir, semakin banyak ia berbicara. (Charles-Louis de Montesquieu)
Berpikir merupakan aktivitas raga yang melibatkan seluruh jiwa dan nurani yang selalu mengalir dalam kehidupan manusia seiring dengan aliran darah yang tak henti menelusuri seluruh rongga-rongga kehidupan dalam segala fenomena kehidupan ini.Â
Berpikir menjadi sebuah habitus (kebiasaan) diri yang tak pernah berhenti seiring mata terbuka menangkap segala gejala visual yang memberikan gambaran dan pandangan untuk dipikirkan.Â
Dan berpikir tak mau berhenti tatkala telinga, mata, dan seluruh indera memberikan signal tentang kehidupan yang begitu kaya makna ini.
Pada fase tertentu berpikir memberikan kualitas diri pada setiap pribadi yang menunjukkan kebijaksanaan setiap pribadi dalam menjalani hidup.Â
Semakin orang belajar cara berpikir dengan baik dan benar senantiasa akan memberikan bentuk karakter yang baik pula padanya, sehingga pemahaman, penalaran, logika, dan analisis dalam kehidupan menjadi selaras dengan nilai-nilai luhur kebenaran dan memberikan keteduhan inspirasi bagi sesama dan semesta, bukan kegaduhan yang membrutalkan tatanan nilai dan moralitas.Â
Kedalaman berpikir dalam pengolahan intelektualitas memberikan ruang dan waktu bagi manusia untuk melihat berbagai sudut pandang kehidupan yang menjadikannya manusia bijak, toleran, kooperatif, dan menyukai nilai-nilai humanisme dalam setiap langkah kehidupannya.
Kedalaman berpikir bukanlah identik dengan menjadi manusia pintar dan cerdas yang biasa diberikan oleh dunia pendidikan sebagai bentuk pelebelan manusia atas dasar tingkat kuantitas dari hasil belajar.Â
Kedalaman berpikir bukanlah hasil dari sebuah evaluasi yang memberikan kesimpulan tertentu yang seolah-olah mewakili keseluruhan pribadi.Â
Angka-angka itu seringkali membunuh potensi dan cita-cita manusia untuk berkembang dan terus berkembang karena terhenti oleh penghakiman penilaian yang dipercayai banyak orang memiliki tingkat kebenaran yang tinggi.