Seseorang dapat disebut cendekiawan jika: menunjukkan rasa hormat dalam perilaku, juga dapat dipercaya membawakan misi diplomatik di negeri asing dengan penuh kemampuan dan martabat. Mempunyai kelakuan sebagai anak yang baik dalam keluarganya, mempunyai reputasi kerendahan hati dan juga berbuat santun di kampungnya. Hati-hati dalam perilaku, berbicara, dan selalu menjaga kata-katanya. (Confusius)
Perilaku menjadi sebuah perwakilan utuh atas segala proses pengalaman hidup yang terolah dalam pergulatan batin secara terus-menerus. Latar belakang yang menjadi pengalaman hidup manusia seringkali membentuk perwujudan diri manusia mau menjadi seperti apa dan bagaimana dia bersikap dalam segala dinamika hidup. Hukum sebab-akibat menjadi formula yang bisa diterapkan dalam mengurai segala sepak terjang manusia dalam menapaki hidup yang penuh dengan sepakan yang menggugah pikiran dan terjangan yang membangunkan jiwa raga.
Rasa hormat pada sesama dan semesta hadir dalam perwujudan sikap sehari-hari bukanlah muncul tiba-tiba dari langit layaknya meteor. Sikap menghormati atau tidak menghormati merupakan buah-buah dari internalisasi pengalaman dihormati atau tidak dihormati dalam perjalanan hidupnya di masa lalu. Lebih dari itu, pengolahan batin yang melibatkan pikiran, nurani, jiwa, dan raga atas segala pengalaman itu menjadi fase vital dalam pembentukan karakter manusia.
Orang yang sering dihargai atau dihormati oleh lingkungannya, senantiasa bisa melakukan hal yang sama pada sesama sebagai reaksi kasih seutuhnya.Â
Sebaliknya, orang yang dalam krisis hidup atas penghargaan diri karena sering dicaci, diremehkan, dan disingkirkan, ada sebuah kecenderungan untuk mencaci, meremehkan, dan menyingkirkan sesama sebagai reaksi dendam yang harus dibalaskan atas luka-luka batinnya. Akan tetapi, ini semua bukanlah hitungan matematis yang sangat eksak dan absolut pasti seperti itu. Pengolahan hidup, koreksi batin, implementasi rohani, interaksi sosial, dan kerohanian yang utuh dapat menjadi kesempatan yang baik untuk memurnikan pengalaman hidup.
Menjadi manusia pembelajar dalam kehidupan adalah sebuah semangat yang agung untuk menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya dan seluruhnya. Lingkungan, komunitas, keluarga, dan segala sesuatu di sekitar manusia adalah tata surya kehidupan manusia yang saling keterkaitan satu sama lain, yang saling mempengaruhi satu sama lain, dan yang saling membutuhkan pula. Menolak semuanya itu hanyalah akan menghancurkan diri sehingga terjadi tabrakan-tabrakan kehidupan yang pada akhirnya pribadilah yang menjadi korban. Menerima secara sadar dan bertanggung jawab justru akan menjadi kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik.
Menuntut sekitar kita, sesama dan semesta, untuk berubah sesuai kemauan dan kemampuan diri pribadi adalah sebuah kesia-siaan belaka yang akan jatuh pada rasa frustasi, depresi, dan kecewa berat. Menuntut diri berubah secara berkesinambungan untuk menjadi adaptif dan lebih baik, adalah sebuah kebijaksanaan dalam menata hidup.Â
Perilaku, tutur kata, pikiran, perasaan, dan relasi adalah sebuah keharusan dalam hidup yang harus ditata dan disusun baik layaknya menulis buku kehidupan. Pengolahan hidup terus-menerus dan berkesinambungan yang menjadi habitus (kebiasaan) mengantarkan manusia pada seri-seri buku kehidupan yang menginspirasi diri, sesama, dan semesta. Mari menuliskan buku kehidupan kita! Segera menulis.
Menulis Makna: adalah sebuah uraian untuk mencecap kehidupan yang begitu agung dan mulia ini. Hidup ini penuh dengan makna sebagai kristalisasi pengalaman dan refleksi untuk menjadi inspirasi bagi diri sendiri, sesama, dan semesta. Menulis Makna akan menjadi sejarah perjalanan makna kehidupan yang selalu abadi, tidak hilang ditelan badai kehidupan yang merusak peradaban manusia. Menulis Makna, menulis kebijaksanaan hidup.Â
@Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H