Titik balik setiap orang beraneka ragam seturut pengalaman, permenungan, atau pun peristiwa tak terduga. Titik balik ini layaknya sebuah percikan api, yang siap memberi kobaran api kehidupan. Tiba-tiba hidup seseorang berubah karena suatu alasan tertentu yang mengharuskannya demikian.
Hidupku diisi dengan banyak waktu kosong yang membosankan. Aku tidak tahu bagaimana menggunakan waktuku dengan produktif. Tibalah di hari Sabtu malam di mana tingkat kebosananku memuncak. Aku memutuskan untuk bersepeda keluar, menikmati langit malam yang penuh bintang, dan meratapi kesendirianku.Â
Aku berhenti di sebuah taman dan mengeluarkan buku harian masa kecil yang sudah kubawa. Sejenak mataku tertuju pada foto yang terselip di halaman pertama.Â
Foto itu menampakkan seorang perempuan dan laki-laki yang aku tidak tahu siapa. Aku pikir foto itu mungkin milik ayah atau ibuku sehingga aku tidak terlalu memusingkannya.
Aku buka lembaran baru dari buku masa kecilku. Aku melihat gambar pemandangan yang pernah aku gambar dahulu, coretan khas anak kecil. Pemandangan itu merupakan pemandangan di desa nenek dan kakekku.Â
Di situ tergambar sawah, dua gunung yang lengkap dengan matahari di tengahnya, dan menara di dekat sawah. Kubuka halaman selanjutnya, di mana tergambar sebuah sungai yang dipenuhi tumbuhan ilalang.Â
Halaman demi halaman terbuka dan aku menemukan foto keluarga kecilku. Hatiku sangat tersentuh dan pelupuk mata ini sudah dipenuhi air mata yang siap jatuh. Memori lama langsung berputar kembali di pikiranku dan aku menyadari bahwa hidupku telah berevolusi.
Kilas balik pada malam minggu ini kuakhiri karena malam sudah semakin larut. Aku pulang ke rumah dengan mengayuh sepeda melewati jalan raya yang sepi. Kantuk mulai datang, tetapi aku tetap berusaha terjaga agar sampai di rumah dengan cepat. Namun, malang nasibku ketika aku malah menabrak pohon dan terjatuh di tumpukan daun.Â
Aku segera bangkit dan melanjutkan perjalanan karena orangtuaku pasti sudah menunggu. Sesampainya di rumah, aku melihat pemandangan yang tidak pernah terbayangkan terjadi.Â
Aku melihat ayahku duduk sambil membawa koran dengan badan yang bersimbah darah bagai tinta merah tumpah. Tangisanku mengundang kedatangan ibu yang langsung terkejut melihat keadaan ayah. Kami sangat kehilangan dan rasanya tidak dapat hidup tanpanya bagai buku tanpa tanda baca koma.