Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tatkala Fajar (11): Selang Air, Sukacita dalam Rasa Peduli pada Sesama

5 Mei 2021   04:04 Diperbarui: 5 Mei 2021   04:27 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. www.esparindo.com

Fajar menyingsing. Hangatnya sinar matahari secara perlahan menyinari tubuhku. Merdunya burung berkicau menjadi alarm pagiku. Perlahan, aku membuka mataku. Kemudian, kulihat sepasang kaki berjalan ke arahku. Ternyata, kaki-kaki itu milik seorang karyawan, yaitu Mas Bejo yang sedang bersiap untuk menyirami para sahabatku yang sudah kehausan karena hujan tidak turun semalam. Lalu, pada awalnya salah satu ujung tubuhku ditancapkan ke tubuh temanku, yaitu keran air. Lalu, aku meliuk-liukkan tubuhku mengikuti irama yang dinyanyikan si keran air sambil menyemprotkan air, menghilangkan dahaga para sahabatku.

Namun, di balik semua canda dan tawaku itu, aku sering kali merasa rendah diri, seolah-olah aku tidak berguna, seolah keberadaanku sia-sia. Tak jarang, setelah aku digunakan, aku ditelantarkan begitu saja, dilempar seenaknya setelah digunakan. Basahnya badanku pun bersatu padu dengan dinginnya tanah, sehingga aku kedinginan. Basah, kotor, kedinginan, kira-kira begitulah keadaanku saat itu. Pilu sekali hatiku melihat pantulan diriku di genangan air bekas hujan. Di tengah kesedihanku itu, biasanya aku ditemani oleh Tuan Bulan yang senantiasa menghiburku dan menyemangatiku hingga fajar menyingsing.

Bagaikan uang koin yang memiliki dua sisi, begitu pula dengan hidupku. Setelah para sahabatku kehausan semalam suntuk, mulai terdengar langkah-langkah kaki mendekat ke arahku. Ternyata, langkah-langkah kaki itu milik seorang karyawan, yaitu Mas Bejo. Ia mulai menyalakan keran air. Perlahan, kurasakan aliran air dingin yang membasahi dinding-dinding permukaan tubuhku. Lalu, aku mulai meliuk-liukkan tubuhku mengikuti irama yang dinyanyikan oleh sahabatku, si keran air yang berduet dengan burung-burung yang ada di sekitarku.

Ketika matahari mulai menghilang, langit berwarna kemerah-merahan, ketika senja menyapa, aku mulai merefleksikan hidupku selama ini. Tentang apa sebenarnya tujuan hidupku, apa impianku, dan apa yang sudah kulakukan untuk menggapainya. Tak berapa lama, aku tersenyum. Menjadi pribadi yang dihargai dan bermanfaat. Itulah impianku. Impian sederhana milik seseorang yang bukan siapa-siapa. Milik seseorang yang hanya dipandang sebelah mata. Cukup dengan tidak menginjak-injakku dengan sepatu penuh lumpur itu. Cukup dengan menggulung dan menaruhku kembali ke tempatnya, aku sudah bahagia.

Ilustrasi. www.rucika.co.id
Ilustrasi. www.rucika.co.id
Dari seluruh perjalanan hidupku ini, aku memiliki suatu kebanggaan. Ketika Mas Bejo mulai menyirami para sahabatku untuk menghilangkan dahaga mereka, aku merasa bangga. Bangga karena hidupku bermanfaat bagi yang lain. Maka dari itu, mulai hari ini, aku bertekad untuk bisa menjadi sosok seorang sahabat bagi keran air. Aku temani dia dari pagi hingga malam hari, baik cerah maupun hujan. Aku juga bertekad agar hidupku bisa bermanfaat bagi yang lain, terutama orang-orang di sekitarku.

Dari seluruh seluk beluk hidupku, aku mulai mengerti satu hal bahwa dalam hidup kita harus saling menolong satu sama lain. Seperti aku menolong para sahabatku yang kehausan dengan menyirami mereka air. Seperti aku menolong temanku, si keran air, dengan menjadi sebuah sosok sahabat baginya. Dengan selalu ada di sampingnya baik saat suka maupun saat duka. Karena dari pengalaman hidupku, aku belajar bahwa dengan menolong satu sama lain, hidup akan terasa lebih ringan. Kita akan lebih bersuka cita dalam menjalani hidup, seberat apapun tantangannya.

Why#Reth

*Tatkala Fajar: adalah sebuah kisah reflektif yang belajar kebijaksanaan dari benda-benda yang ada di sekitar manusia. Semesta benar-benar begitu kaya akan kebijaksanaan hidup dan menjadi kesempatan bagi manusia untuk mendewasakan diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun