#Kisah Prof. Rhenald Kasali. Saat di Amerika saya dan istri dipanggil oleh guru anak kami. Malam itu kami sampai tidak bisa tidur, menerka-nerka apa yang terjadi. Apakah besok akan menjadi hari penghakiman dan anak kami tidak diizinkan lagi untuk bersekolah? Sampai di sekolah, kami yang sudah was-was diajak berkeliling melihat lukisan anak-anak. Kami diminta memilih tiga lukisan terbaik tanpa tahu siapa yang melukisnya. Ternyata salah satunya adalah lukisan anak kami. "Kita tidak bisa menyamaratakan kemampuan tiap anak. Mereka adalah kanvas yang berbeda. Proses menuju ke sini," ujarnya menunjuk lukisan itu, "Menunjukkan ia layak menjadi yang terbaik. Lihatah, ada keindahan luar biasa di dalamnya"
Matematika adalah pelajaran yang paling tidak kusukai. Bahkan rasa tidak suka itu merambah ke pelajaran sejenisnya, eksakta, seperti fisika dan kimia. Celakanya aku sendiri sangat percaya bahwa aku tidak bisa eksakta. Aku dengan sangat berani memvonis diriku sendiri bahwa aku tidak bakal mampu memahami pelajaran eksakta. Penilaian terhadap diriku sendiri ini nyaris membunuh potensiku.
Suatu ketika sedang pelajaran Fisika bersama Pak Slamet sewaktu kelas 2 SMP. Pak guru yang memiliki kumis panjang dan selalu naik vespa andalannya ke sekolah, tiba-tiba meminta aku mengerjakan soal latihan nomor satu. Padahal dalam batinku sudah yakin bahwa aku tidak bisa mengerjakannya. Aku yakin itu. "Kamu bisa, Mas." Kata-kata itu seperti hal baru di telingaku, apalagi keluar dari seorang guru Fisika. Sungguh aneh, orang lain yakin aku bisa sedangkan aku sendiri yakin bahwa aku tidak bisa. Ternyata aku bisa mengerjakan soal nomor satu. Itulah awal aku mulai mencintai Fisika dan pelajaran eksakta.
#Kita lebih pandai menemukan kesalahan orang lain daripada harus mengapresiasinya. Ini penyakit mental bangsa kita. Efek psikologis ini tertanam semenjak bangku sekolah, kita diberikan nilai angka seakan menjadi hukuman bagi kita bahwa "Kamu manusia bernilai segini."
Kepercayaan dan apresiasi dari orang lain seringkali memberikan kekuatan yang tak terduga. Dari tidak bisa menjadi bisa. Dari enggan melakukan menjadi semangat penuh motivasi. Dari pasif berpikir menjadi proaktif dan kreatif. Sejak SD aku hanya suka olah raga lari. Ketika teman-teman bermain bola, aku lebih memilih melihat saja. Pernah suatu ketika aku diminta menjadi kiper karena orangnya kurang satu. Apa yang terjadi? Tendangan pertama ke gawangku dan bola meluncur deras tepat di mukaku dengan kencang, darah mengalir deras dari hidungku. Kejadian itu membuat aku semakin yakin bahwa aku hanya bisa lari, tidak bisa oleh raga lain.
kepercayaan dan apresiasi dengan tepat. Bruder berkata, "Kamu bisa lari, itu artinya kamu kuat. Orang kuat pasti bisa olah raga apa saja. Kamu pasti bisa."Â Di asrama ada berbagai fasilitas olah raga, seperti tenis meja, badminton, basket, sepak bola, dan volley. Berangkat dari kepercayaan dari bruder itu, tiga tahun di asrama aku bisa bermain tenis meja, badminton, basket, dan volley di atas rata-rata. Bruder benar sekali, aku benar-benar bisa.
Bruder Paulus, Bruder kepala asrama, adalah sosok yang berhasil meyakinkan aku bahwa aku bisa berbagai olah raga. Bruder selalu memberiRhenald Kasali dalam BAPER (Bawa perubahan) menegaskan:
#Tiap takaran dan kemampuan manusia berbeda. Kita tak bisa memaksakan seorang ahli lukis untuk hebat berenang, seorang arsitek untuk bisa menjadi bankir, seorang fotografer untuk menjadi dokter, dan seterusnya. Jika kita ingin anak kita menjadi yang paling baik, maka biarkanlah dia menjadi versi terbaik dari dirinya dengan cara memberikan dorongan dan semangat yang positif. Jangan buru-buru menampik bakatnya. Yang bisa saja itu adalah kunci terbesar baginya untuk hidup bahagia dan menjadi orang yang berguna.
Ketika saat ini aku dan istri dikaruniai seorang putera berusia 3 tahun 4 bulan yang sangat kreatif, aktif, cerdas, dan banyak hal di luar dugaan kami. Ada kata-kata yang terucap begitu unik dan cerdas. Ada pertanyaan yang membuat kami sebagai orang tua gelagapan untuk menjawabnya. Ada kemampuan-kemampuan yang tiba-tiba si kecil sudah bisa melakukan dengan baik dan sempurna. Â Kami mencoba mengikuti alur perkembangannya dengan memberi kepercayaan, kebebasan, dan apresiasi.
Kami juga sudah memberinya tanggung jawab kecil yang menjadi kebiasaan. Ketika pulang dari bepergiaan, sudah menjadi tanggung jawabnya untuk menata sandalnya sendiri di depan pintu dengan rapi. Kalau menjelang tidur malam, sudah menjadi tanggung jawabnya untuk menata kembali seluruh mainannya. Semoga dia berkembang dan menjadi versi terbaik dari dirinya. Senyum kembali.