kepercayaan, tantangan, dan dukungan kepada orang lain, kepada anak Anda, kepada karyawan Anda. Jangan terlalu cepat mengambil alih permasalahan mereka, karena itu secara tidak langsung akan menjadikan mereka seorang yang berkepribadian passenger. Mereka akan menghindari segala jenis resiko. #Berikanlah
Masa kecilku hingga usia 7 tahun selalu sakit-sakitan, sehingga hampir setiap bulan dekat dengan obat, jarum suntik, perawat, mantri (belum ada dokter di desaku), dan puskesmas. Kesabaran bapak dan ibu dalam mendampingku adalah kunci dari kesehatanku di kemudian hari. Bahkan sempat terlintas di benak bapak dan ibu untuk mengganti namaku. Orang di desa seringkali percaya bahwa anak yang sakit-sakitan disebabkan oleh nama yang diberikan tidak pas, bahkan terlalu berat untuk si anak. Untunglah, seorang pastor londo (asalnya: Belanda) melarang karena menurutnya nama tidak ada hubungannya dengan kesehatan.
Setelah 7 tahun, aku memasuki masa-masa sekolah SD dan mulai menikmati sebagai anak-anak dengan segala pengaruh lingkungan yang ada. Namun aku tumbuh menjadi anak yang terlalu dimanja oleh orang tua dan saudara-saudaraku. Segala sesuatu selalu dimudahkan. Prakarya sekolah seperti membuat sapu lidi atau sulak kemoceng dari rafia selalu dibuatkan bapak. Segala kegiatan di rumah selalu di-handle orang tua atau kakak. Dalam banyak hal aku dibantu, mungkin orang tua kasihan atau sebaliknya tidak sabar dengan ketidakmampuanku melakukan banyak hal sehingga lebih baik diambil alih bapak, ibu, atau kakak. Tumbuhlan aku menjadi anak yang manja dan penuh bantuan hingga lulus SD.
#Orang-orang yang bermental passenger umumnya hidup dalam salah satu dari ketujuh karakter ini, sehingga mereka tidak mengekspos diri pada risiko. Ketujuh hal itu adalah: kurang gigih, kurang tekun, suka mencari pembenaran, tidak belajar dari kesalahan, tidak disiplin, bersifat fatalistik, dan tidak percaya diri.
Masa-masa di bangku SD adalah masa-masa di mana aku tidak belajar dari kesalahan. Semua jalan kehidupan dimudahkan dan dilancarkan. Bahkan di sekolah pun mendapat kemudahan yang sangat dipaksakan. Sewaktu kenaikan kelas ke kelas 2, rata-rata nilai raporku: 6,0. Pada waktu itu, seorang murid bisa naik kelas kalau nilai rata-rata caturwulan ketiga tidak kurang dari 6 atau minimal 6. Padahal nilai rata-rata raporku di caturwulan 1 dan 2, keduanya di bawah 6.
Hingga kelas 3 aku selalu mendapatkan nilai rata-rata rapor kenaikan kelas dengan skor 6, padahal di caturwulan 1 dan 2 selalu di bawah 6. Para guru di sekolah benar-benar mengambil alih kesempatanku untuk gagal dalam belajar. Bisa jadi, mereka tidak enak dengan ibu yang juga guru SD di sekolah tetangga dan juga merasa takut dengan bapak yang juga pemuka masyarakat.
Namun aku bersyukur dengan teman-teman sebaya dan sepermainanku yang tidak memperlakukan aku secara khusus. Aku bisa merasakan perjuangan di saat berpetualang di ladang atau sungai.
Aku bisa merasakan sulit dan sakitnya belajar sepeda dengan teman-teman, sampai berulang kali menabrak (sapi, kambing, pohon, gerobak, dan masih banyak lagi). Bahkan bisa merasakan kalah saat main lompat tali, engklek, sepak bola, petak umpet, kasti, kelereng, wayang, dan lainnya.
Rhenald Kasali dalam BAPER (Bawa perubahan) menegaskan:
#Perubahan belum tentu membuat sesuatu menjadi lebih baik. Namun, tanpa perubahan, tidak akan ada pembaruan, tidak akan ada kemajuan.