Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (59): Pelangi Pagi Itu

27 Maret 2021   04:04 Diperbarui: 27 Maret 2021   05:28 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bermalas-malas di pagi hari tak jarang berbuah kekacauan jiwa dalam menapaki hari hingga malam tiba. Menata pagi dengan gembira dan semangat menjadi awal kesiapan diri untuk berekspresi tentang kehidupan: manusia, semesta, dan Pencipta. Kolaborasi pagi adalah awal pelangi kehidupan.

Sore itu, aku sampai di rumah setelah kutempuh 5 km perjalananan menggunakan sepedaku. Tubuhku lelah, kakiku capek, ingin rasanya aku merebahkan diri di kamar. Baru rasanya satu menit aku memejamkan mata, teriakan ibu membangunkanku dan menyuruhku untuk lekas mandi sebelum maghrib. Akhirnya aku segera beranjak mandi, kurasakan air dingin menyegarkan kembali hidupku sore itu. Aku tidak lagi ingin melanjutkan tidurku, aku segera beranjak belajar. Kuambil buku matematikaku dan segera duduk di kasur dan belajar. Kulihat langit mulai gelap dan bintang-bintang mulai menghiasi sepinya malam itu. Aku tersipu dengan indahnya gemerlap bintang malam itu. Kututup lagi bukuku, menatap bintang, dan kembali memejamkan mataku.

Aku terbangun dari tidurku yang amat nyenyak semalam. Aku bermimpi menjadi agen revolusi negeriku di umur 20 tahun nanti. Desa-desa tertinggal akan mulai terjamah dan justru menjadi pelopor kemajuan negeri ini. Menara-menara kaca akan berkurang, tidak lagi menghiasi riwehnya ibu kota. Hatiku terenyuh saat aku lihat anak-anak seumuran adikku masih bisa menikmati sungai yang jernih. Kulihat mereka berlarian di antara ilalang, bahagia, bermain, menikmati indahnya lukisan Tuhan. Betapa beratnya mimpiku semalam, mungkin ini merupakan tugas panggilan, untuk membuat perubahan.

Pagiku terasa indah, kukayuh sepedaku 5 km lagi menuju sekolah. Dedaunan tersapu seiring aku melewati jalanan sepi dekat rumah. Sampailah aku di Jalan Raya pagi itu. Kulihat orang-orang mulai sibuk dengan diri mereka, beranjak ke kantor, mencari nafkah bagi darah daging mereka. Pukul 06.20 kusampai di sekolah berpagar tinggi ini. Kulihat pak satpam yang sedang santai membaca koran. Memang dasarnya sksd, kusapa pak Asep pagi itu. Kuajak dirinya bercerita panjanng lebar, tanpa koma. Kulihat juga guru BK sudah bersiap dengan papan jalan dan selembar kertas putih di tangannya. Ia terlihat sudah siap menuliskan nama-nama pemalas yang menyibukkannya setiap pagi.

Aku berjalan ke kelas dengan senyum lebar membawa botol minum merah di tanganku. Kulihat rantai berkarat itu mulai memeluk pagar tinggi depan sekolahku. Aku memasuki kelas berbentuk setengah lingkaran itu, berhenti dan terdiam sejenak. Dalam hati aku bertanya, ada apa gerangan kelas ini berantakan. Banyak sekali titik-titik air membasahi meja dan lantai. Kutengok halaman hijau lewat balkon di depan kelas. Kulihat air membasahi lapangan kecil di halaman depan kantin. Ternyata, semalam hujan deras melanda ibu kota, derasnya air hujan menembus plafon putih kuat itu.

Hati tergerak untuk membenahi berantaknya kelas pagi ini dengan mengepel air yang mengotori lantai. Kuletakkan barang bawaanku di kursi pojok belakang, tempat biasa menatap diam-diam wanita cantik itu. Wanita bergaya seperti noni-noni anggun di zaman peradaban, cantiknya bukan main. Manusia berparas cantik nan anggun bagaikan bintang gemerlap yang menghiasi malamku malam itu. Aku mulai mencari alat pel yang berada di kamar mandi sebelah kelasku. Namun ketika kubersihkan air-air di lantai itu, kulihat paras cantiknya berlari terburu-buru. Ia hampir saja jatuh terpeleset, namun dengan sigap kuulurkan tanganku menangkapnya. Kakinya terkilir, kuantar ke UKS, dan kubawakan segelas teh hangat. Panah asmara menusukku dalam, kumulai pembicaraan pagi itu. Kutanya apa yang ia cari sampai berlarian tadi. Ternyata ia mencari kertas putih yang kutemukan basah karena hujan semalam. Bahagianya aku pagi itu, pelangiku hadir setelah hujan semalam. Inikah awal dari segalanya??

*WHy-sTeL

**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.

***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun