Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Seri untuk Negeri (2): Kedalaman Humaniora dalam Pendidikan

18 Maret 2021   04:04 Diperbarui: 18 Maret 2021   04:22 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Carpe Diem. medium.com

Pendidikan adalah proses membangun kebiasaan baik untuk membentuk manusia seutuhnya, seimbang secara akal, nurani, dan tindakan. 

Pendidikan tidak melulu berorientasi pada materi yang begitu menumpuk dan merepotkan anak didik. Pendidikan semestinya membangun pondasi mentalitas hidup lewat pembiasaan-pembiasaan yang bermanfaat untuk hidup jangka pendek, menengah, dan panjang.

Belajar dari cara mendidik anak-anak seusia TK di Selandia Baru, mereka tidak dilatih membaca, menulis, berhitung seperti lazimnya anak-anak di Indonesia, tetapi mereka dibiasakan untuk duduk, membuka buku, dan menutupnya kembali. 

Anak-anak dilatih untuk terbiasa duduk dengan posisi yang tepat sehingga tidak mudah lelah. Selain itu, mereka dilatih berkonsentrasi membuka berlembar-lembar halaman buku dengan cara yang benar, menyisipkan kertas penanda di halaman tertentu, menutup buku dengan benar, dan mengembalikannya ke rak buku dengan rapi. Aktivitas itu diulang-ulang secara terus-menerus setiap hari tanpa membacanya sama sekali.

Pola pendidikan yang diterapkan di Selandia Baru itu benar-benar mengedepankan pentingnya kebiasaan baik bagi anak-anak sebagai modal belajar hidup. 

Kebiasaan duduk, membuka buka, dan menutup buku itu bukan berorientasi pada materi baca-tulis layaknya di Indonesia, tetapi kebiasaan itu untuk membangun pondasi yang kuat bagi anak-anak dalam menghadapi kehidupan nyata, seperti nilai-nilai hidup (life value) kebugaran, kesabaran, ketekunan, dan ketelitian. Hal ini sejalan dengan Grants Wiggins dan Jay McTighe (2005) dalam Understanding by Design yang menegaskan bahwa segala proses pembelajaran seharusnya berhubungan dengan dunia nyata dan berguna bagi kehidupan anak didik secara nyata.

Belajar Kehidupan

Ketika pendidikan yang berfokus pada proses membangun kebiasaan dan mengolah nilai-nilai kehidupan bagi anak-anak sangat baik dan berguna maka sudah layak dan sepantasnya bahwa paradigma kurikulum pendidikan kita tidak berorientasi pada pencapaian ketuntasan materi yang cenderung membebani. Pembelajaran bukan lagi sebagai sebuah ajang pemahaman materi belaka, lebih dari itu menjadi sebuah proses pembiasaan nilai-nilai kehidupan. 

Ada tiga aspek yang harus dilihat kembali dalam pengembangan pendidikan yang mengarah pada kebiasaan dan nilai hidup itu, yakni: tujuan, indikator, dan strategi.

Tujuan (goal) pembelajaran menjadi kompas penting dalam mengarahkan pembelajaran. Tujuan ini tidak sekadar mengarah pada pencapaian materi namun tujuan pembelajaran mengarah pada kemampuan refleksi dalam memaknai pengalaman belajar yang erat kaitannya dengan kehidupan nyata. Tujuan belajar dewasa ini sudah seharusnya memampukan anak didik menghadapi kehidupan nyata yang begitu pesat informasi sekaligus menuntut kekokohan nurani. Belajar di sekolah bukan sekadar bergelut dengan teori-teori dan berbagai tes, tetapi sudah waktunya bergulat dengan kehidupan nyata dan merefleksikannya.

Indikator atau bukti keberhasilan (evidence) lebih mengarah pada kedalaman humaniora. Kedalaman humaniora benar-benar diusahakan untuk mengembangkan anak didik menjadi pribadi yang utuh, yang berkembang secara akal (head), nurani (heart), dan perilaku (hand). Kedalaman humaniora ini menjadi sebuah bukti pencapaian pendidikan, yakni manusia yang utuh dalam aspek intelektual, pengolahan rasa/hati, dan komitmen pada kebenaran hidup yang hakiki. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia menuju taraf insani yang terindikasi dalam kedalaman humaniora.

Strategi (strategy) dalam pembelajaran memegang peranan penting dalam mendukung keberhasilan belajar anak didik. Strategi yang baik tentunya mampu meng-cover gaya belajar siswa, yakni audio, visual, dan kinestetik. Strategi belajar sangatlah kontekstual sesuai dengan kondisi anak didik. Tidak ada anak yang bodoh di dunia ini, tetapi yang ada adalah anak yang kurang beruntung karena tidak mendapat pendidikan yang tepat. Pendidikan yang baik akan mengusahakan berbagai cara untuk mengoptimalkan anak didik dalam mengembangkan potensinya.

Alexander Solzhenitsyn, seorang penulis dan pemenang hadiah nobel, pernah berkata,"Makna hidup bukanlah meraih kemakmuran melainkan mengembangkan jiwa." 

Hal ini ingin menegaskan bahwa dalam hidup ini sangat penting untuk mengusahakan pengembangan jiwa karena di dalam kualitas jiwa itu tercermin karakter seseorang. Dan, pastinya karakter seseorang sangat menentukan siapa sesungguhnya diri orang tersebut. Oleh karena itu, belajar kehidupan sesungguhnya adalah proses pembiasaan dalam mengembangkan jiwa menuju manusia utuh dengan kedalaman humaniora.

Kurikulum Keluarga

Sesungguhnya karakter dan mentalitas baik anak didik sangat dipengaruhi oleh keluarga, sedangkan sekolah menjadi komunitas pendukung dalam mengolah pribadi. Keluarga sesungguhnya pendidikan utama bagi anak didik dan sekaligus menjadi komunitas utama dalam pembentukan kebiasaan baik. Keberhasilan anak dalam proses belajar di sekolah sangat dipengaruhi oleh budaya dan kebiasaan keluarga.

Kebiasaan baik dalam keluarga menjadi pondasi dasar pendidikan seorang anak yang akan menjadi modal penting dalam pendidikan formal di sekolah. Dengan kata lain, kegagalan pendidikan di lembaga formal bukanlah akibat dari ketidakmampuan lembaga formal mendidik anak-anak tetapi kebiasaan keluargalah yang sangat menentukan. Oleh karena itu, sekolah perlu dukungan besar dan seutuhnya dari keluarga asal anak didik.

Seperti kisah pendidikan anak di Selandia baru tentang belajar duduk, membuka, dan menutup buku, kebiasaan "Tolong, Maaf, Terima kasih" dalam keluarga juga memberikan dampak besar pada karakter anak. Dengan belajar dan membiasakan mengatakan "Tolong" dalam setiap kali meminta bantuan, seorang anak akan belajar tentang kesantunan dan rasa rendah hati dengan sesama. Bahkan ketika seorang anak siap mengatakan "Maaf" pada orang lain, dia belajar tentang jiwa ksatria, sportif, jujur, dan tulus. 

Begitupula dengan mengatakan "Terima kasih", berarti seorang anak benar-benar mampu mengekspresikan dirinya tentang apresiasi pada orang lain. Kebiasaan ini benar-benar membentuk karakter dan mentalitas anak ke arah yang positif dan membangun. Ketika hal ini menjadi kebiasaan di keluarga, maka akan sangat membantu sekolah dalam mengembangkan sisi humaniora anak.

Sudah saatnya sekolah, pemerintah, dan pihak yang terkait dalam memajukan pendidikan bangsa ini mengedepankan pendidikan keluarga karena keluarga menjadi akar karakter pribadi, masyarakat, dan bangsa. Kurikulum pendidikan nasional harus memberikan porsi yang lebih besar untuk bersinergi dengan keluarga. 

Sehebat-hebat dan sebagus-bagusnya kurikulum nasional tanpa memberikan peluang pada pengolahan keluarga pada akhirnya akan sia-sia belaka. Kini, saatnya kurikulum pendidikan keluarga hadir dalam kurikulum pendidikan untuk membangun pendidikan yang mengarah pada kedalaman humaniora. Carpe Diem. Seize the Day, Make Your Lives Extraordinary!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun