Kegaduhan pendidikan tak kunjung henti. Dari masalah kurikulum yang selalu berganti-ganti hingga profesionalisme pendidik selalu terjadi kontroversi. Dunia pendidikan di negeri tercinta ini perlahan-lahan menjadi suram dan tak menentu arah tujuannya.Â
Di tataran teratas selalu meributkan wacana reformasi pendidikan yang bermuara pada kerepotan para praksis pendidikan di sekolah dengan segala aturan dan berbagai syarat yang harus dipenuhi atas nama pelatihan dan pengembangan profesionalisme.Â
Ujung-ujungnya anak didik yang menjadi korban atas lika-liku pendidikan yang diombang-ambing ombak reformasi. Bahkan, di saat pandemi seperti ini belum juga ada terobosan edukatif.
Kegaduhan begitu terasa dalam dunia pendidikan, khususnya pada tataran praktis sekolah. Sertifikasi guru demi profesionalisme semu pun telah menyita banyak waktu dan energi pendidik dalam memenuhi persyaratan yang ada seiring dengan kekhawatiran setiap bulan.Â
Ujung-ujungnya, sertifikasi cenderung membawa kemakmuran ekonomi daripada profesionalisme. Kegaduhan ini semakin diramaikan dengan berbagai kebijakan berkaitan dengan kurikulum yang sering berubah-ubah tanpa ada kemapanan pendidikan.Â
Akhirnya, sekolah menjadi korban dari kegaduhan itu yang berimbas pada prose belajar anak didik yang tidak optimal.
Humanisme Pendidikan
Fakta dasar yang harus diakui, kelas merupakan lingkungan dasar dalam pengembangan berbagai aspek kehidupan anak dalam dunia pendidikan.Â
Betapa hebatnya wacana reformasi pendidikan tetapi tidak memudahkan dan mendorong anak didik untuk semangat belajar adalah sebuah kesia-siaan belaka, bahkan bisa dikatakan sebagai kebrutalan pedagogis terhadap sebuah generasi.Â
Oleh karena itu, kelas adalah pusat pemikiran setiap pendidik dalam mengusahakan harkat dan martabat sebuah generasi ke depan. Â