Kami adalah sebuah kesatuan hati dan budi antara aku dan dia. Kami menjadi tanda perginya ego dalam diriku dan dirinya. Kami mengisyaratkan terbentuknya puzzle kehidupan antara aku dan dia yang saling mengisi kekosongan. Kami adalah jembatan rasa dan asa dalam untaian jiwa dan raga.
Pagi hari untuk memulai hari yang indah dalam hidup. Kayuh sepeda dan bunyi kicauan membuat mataku memandang langit penuh bintang yang semu. Buku kehidupanku kumulai di hari itu dengan awal yang indah. Kebanyakan buku bercerita tentang dia, namun aku ingin berbicara tentang kami. Tatap mata kami membuat semuanya hidup dan indah untuk dirasakan. Tak tahu mau apa tetapi aku senang di saat kami berada di bawah langit yang sama.
Sebelum itu, apakah kalian tahu siapa diriku yang sebenarnya? Tak perlu tahu, tetapi mengertilah kisahku karena terkadang menara runtuh saat kita saling tahu. Kehidupan terkadang berubah-ubah, tetapi bagi kami revolusi bukanlah sebuah halangan untuk saling jatuh hati. Dia tidak spesial tetapi sempurna untuk menjadi pendamping liku kehidupanku. Dia tidak cukup ber-uang dan tidak mampu memberiku sebuah perhiasan mahal, namun aku hanya butuh ilalang. Aku sudah cukup indah dan dia tahu hal itu. Tak ada yang lebih indah dari senja saat dia menyematkan lingkaran ilalang di jari manisku.
Ceritaku sangat indah bukan untuk didengarkan dan diimajinasikan dalam khayalan? Iya, khayalan yang membuatku lupa akan kenyataan kisahku. Koma menjadi wakil dari jeda kehidupan yang tak pernah kubayangkan. Tak kusadari bahwa daun berguguran menjadi tetes darah yang kulihat darinya. Kepergiannya yang tanpa jejak menjadi terjejak dalam goresan tinta duka dalam koran. Kabar dukanya mampu mengheningkan keramaian jalan raya hatiku yang menantinya untuk kembali. Tumpahan merah darah terasa mengalir tanpa henti di tanganku dan menutup semua kenanganku. Dia memilih pergi dan apa dayaku saat daun tak bisa kembali ke batang dan dia tak bisa kembali padaku.
Bagiku titik sudah menjadi akhir dari rantai kisah jatuh hatiku padanya. Lekuk hati yang telah kami bentuk menjadi tanda titik darah pada halaman buku terakhirku. Kematiannya menjadi rahasia terbesar di dalam hidupku. Asalkan kalian tahu, sebenarnya buku itu sudah berakhir sejak lama saat dia meminum botol pembius. Gila dan gila itulah yang menghubungkan perjalanan di antara kami. Lingkaran ilalang sudah bukan lagi tanda cinta, melainkan tanda kegilaan kami. Terlalu berat arti kata kami dalam hidupku dan dia. Warna mata yang tak menunjukan rasa bersalah membuatku tak segan untuk merasa tak bersalah.
Perlu apalagi untuk menahannya membuatku menjadi tergila-gila padanya? Tumpahan rasa sakitku sudah tak bisa dibendung bagaikan gelas yang pecah saat dibanting. Goresan telah kuukir pada kertas lembaran kulitku yang rapuh. Aku hanya ingin menjadi manusia putus asa yang menghilang dari peradaban. Selayaknya kursi tak boleh patah sebagian saja, harus selalu ada kata "kami" di antara aku dan dia. Panah yang menembus tak cukup untuk mengartikan kata kami yang terhubung dalam lingkaran ilalang. Tinta duka telah menjadi saksi arti kata kami dan aku tak menyesali darahnya yang mengalir. Darah yang telah kugores dan menjadi akhir dari aku dan dia, kami.
*WHy-aVER
**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value)Â dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.Â
***Setelah Senja:Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H