Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (4): Aku Termenung Miris Karenanya

27 Januari 2021   07:07 Diperbarui: 27 Januari 2021   07:22 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sakit hati seringkali membuahkan dendam yang bergejolak menembus akal dan rasa manusiawi yang menjadi kebrutalan zaman. Saatnya, zaman mendamaikan akal dan rasa dalam perdamaian pribadi pada diri sendiri sehingga terlahir buah-buah hidup: kasih dan harapan baik.

Hidupku sehari-hari harus mengantarkan kucing kesayanganku ke sekolah. Sekolah itu terletak di Jalan Wortel dan bernama "Sekolah Langit". Aku menggendong Star dan menaiki sepeda hitamku. 

Aku mulai mengayuhnya menuju jalan yang cukup sepi karena hari itu masih sangat pagi. Mata Star terlihat sayu karena masih mengantuk karena harus bangun pagi. Star menggendong tas pinknya yang berisi buku dan pensil kesayangannya. Bulu Star berwarna abu-abu gelap terlihat sangat bersih setelah ia mandi pagi ini.

Perjalananku cukup panjang untuk sampai ke sekolah Star. Kami harus menyeberangi jembatan di atas sungai yang cukup deras airnya. Banyak rumputan dan ilalang di sepanjang sungai yang juga dihiasi dengan batu-batu besar. Hatiku sangat senang melihat Star yang semenjak bersekolah telah berevolusi menjadi kucing yang lebih baik. Walaupun setiap pulang sekolah ia masih pergi ke desa sebelah untuk bermain bersama teman-temannya di bawah sebuah menara. Aku memikirikan banyak hal hingga tidak sadar aku sudah sampai.

Star turun dari sepeda lalu berlari masuk sekolah untuk bertemu dengan teman-teman. Setelah itu aku pergi menyeberangi jalan raya untuk duduk di kafe kecil sambil membaca koran. Pelajaran Star hanya berlangsung selama 2 jam dan diselingi dengan koma. 

Saat istirahat aku melihat Star bermain agak jauh di sebuah ayunan, lalu tiba-tiba seseorang di balik dedaunan menculik Star. Star yang merasa diserang lalu mencakarinya beberapa kali sehingga banyak darah penculik itu yang tertetes. 

Penculik itu sudah pergi sebelum aku sempat datang untuk mencegahnya. Aku yang merasa sangat bingung hanya mengambil kertas dan mulai menulis dengan bolpoin bertinta hitam. Aku menuliskan sebuah pengumuman bahwa sudah terjadi penculikan dan meminta tolong jika ada yang menemukan Star.

Aku mulai panik setelah mengetahui hal itu, aku hanya bisa menggenggam halaman- halaman kertas yang sudah kutulis. Aku melihat botol minum Star yang tergeletak di tempat kejadian itu. Aku mulai mencari petunjuk di manakah pencuri itu mengambil Star. 

Aku membuat denah berbentuk lingkaran kemungkinan-kemungkinan tempat tersembunyi baginya. Aku menemukan tetes-tetes darah di mana pencuri itu pergi. Aku mengikuti tetes-tetes darah itu lalu aku melihat rumah berwarna putih dengan titik-titik cat pada pintu rumahnya. Aku terkejut ketika melihat banyak lantai-lantai besi bernoda merah layaknya darah di pekarangan rumah itu.

Kucoba untuk mendobrak pintu rumah itu dan kulihat Star duduk di sebuah kursi diikat dengan tali. Manusia bertubuh kecil datang dengan membawa pecahan gelas lalu memasukkannya ke leher Star di depan mataku. 

Aku benar-benar terkejut dan sedih saat kulihat hal itu. Orang itu adalah anak kecil yang dulunya ingin menjadikan Star kucingnya tetapi ia ditolak Star. Ia pun merasa sakit hati dan membunuh Star dengan kejam. Aku benar-benar terkejut mendengar cerita itu sehingga kertas-kertas yang kubawa berserakan di lantai. Anak itu lalu pergi membawa mainan panahan miliknya, aku hanya bisa terdiam dan berpikir bahwa aku ada di peradaban di mana manusia menyakiti saat ia disakiti. Aku termenung miris karenanya.

*WHy-Dya

**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini. 

***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun