Ide bergerak menelusuri berbagai puing-puing kehidupan dan peradaban manusia tanpa mengenal waktu dan kelu sedikit pun. Terkadang tak dikenali asalnya dan juga tak terduga alirannya hendak pergi ke mana dalam begitu peliknya euforia kehidupan ini.
Aku berlari sambil membawa buku biru itu dalam pelukanku. Aku melihat sekitar sambil mencari benda-benda yang kuharapkan terlihat. Sepeda hitam yang cukup tinggi itu kulihat terparkir rapi di sana.Â
Hatiku sangat lega dengan melihat sepeda yang menandai hidupku pada dunia menulis. Mata indahnya awalnya tak terlihat olehku yang sedang mengatur nafas. Aku hanya mampu melihat cahaya bintang yang menerangi malam itu. Ia memanggil namaku sambil menengadah ke langit dengan nada suara santai.
Ia tak beranjak dari tempatnya, maka aku mendekatinya. Kuarahkan buku biru itu ke arah tangannya yang sangat besar itu. Ia hanya memandangku tanpa menggambil buku itu sambil tersenyum lembut. Aku menarik kembali buku itu dan membukanya tepat aku menyelipkan ilalang kering di dalamnya.Â
Pada halaman itu terdapat gambar sebuah desa yang dialiri sungai. Gambar pada halaman itu membuat hatiku terasa tenang dan aku bisa menemukan banyak makna dari gambar itu. Ia hanya melihat sebentar halaman itu dan melihat ke arah menara di seberang jalan. Ia pernah mengatakan padaku bahwa menara itu adalah lambang revolusi hidupnya.
Aku memanglah tak pernah memahami karakter dan sifat yang dimilikinya. Setiap pembicaraan dan perkataannya bagaikan jalan raya yang penuh dengan mobil. Meskipun begitu, aku tetap kagum dengan berbagai karyanya yang dimuat di koran. Semua tulisannya sangatlah indah, bahkan tanda baca seperti koma pun sangat menarik jika ia yang menulis. Kurasa jika ia menulis dengan tinta darah dan kertas dari daun, tulisannya akan tetap indah.
Aku kembali mengamatinya membalik halaman buku biru itu. Tangannya berhenti bergerak pada halaman yang penuh dengan lingkaran warna merah. Sepertinya itu halaman kesukaannya yang sama sekali tak kumengerti maksud dan artinya. Ia menghabiskan waktu yang lama membaca halaman itu tanpa terlewat satu titik pun. Sesekali ia minum air dari botol unik yang selalu dibawanya. Ia juga memegangi rantai kacamatanya yang menandakan ia sedang fokus. Selera dan gayanya memang sangat unik dan tak masuk akal, tapi aku tetap kagum padanya.
Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan menggeretku menuruni tangga. Aku bingung hendak ke mana ia akan membawaku pergi malam ini. Ternyata, ia membawaku ke sebuah ruangan dengan jendela besar yang memperlihatkan menara seberang dengan jelas. Ia menyuruhku duduk di kursi yang menghadap jendela yang sangat besar itu dan memberiku selembar kertas kosong.Â
Akhirnya aku melihat dan mengetahui alasan menara peradaban manusia itu menjadi lambang revolusi baginya. Aku kemudian memandangnya yang sedang membawa gelas bergambar panah. Aku menyadari gayanya memang aneh dan misterius, tapi ia sangatlah jenius dan ahli dalam menulis dan membuatku terpesona.
Â
*WHy-Michi
**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.Â
***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H