Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menghapus "Perbudakan Intelektual" dengan Budaya Bertanya

5 April 2018   13:14 Diperbarui: 6 April 2018   02:48 2700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Pertumbuhan sama dengan perubahan. Maxwell menegaskan pernyataan itu dalam bukunya The 21 Indispensable Qualities of a Leader dalam kerangka pengembangan diri sebagai seorang pemimpin diri dan orang lain yang siap untuk selalu berubah dan meningkat. 

Perubahan dan peningkatan itu dapat terjadi tatkala orang mau mendedikasikan waktu dan energinya pada hal-hal baru yang berkaitan dengan bidang kekuatannya, bukan fokus pada kelemahannya.

Manusia yang hidup sudah seharusnya mengembangkan dirinya untuk kehidupan yang lebih baik. Dalam kehidupan zaman yang serba cepat berubah menembus ruang dan waktu ini, prioritas dan konsentrasi menjadi pegangan hidup yang bisa diandalkan. 

Logikanya, orang yang mengetahui prioritas yang harus dikerjakan tetapi kurang konsentrasi, hanya tahu apa yang harus dikerjakan namun tidak pernah mampu menyelesaikannya. Demikian pula, orang memiliki daya konsentrasi tetapi tidak ada prioritas, ia memilki keunggulan tetapi tanpa ada kemajuan. Jika orang memiliki dan menggunakan keduanya, ia berpotensi mencapai hal-hal besar dalam hidup.

Logika kepemimpinan diri tersebut sangat baik pula jika diterapkan dalam dunia pendidikan. Anak-anak negeri tercinta ini terlalu dituntut dengan beban yang sangat besar, yakni  mereka harus belajar sebanyak-banyaknya tanpa ada prioritas sehingga mengacaukan konsentrasi belajar mereka. 

Yang terjadi setiap harinya di bangku sekolah adalah kekhawatiran akan ketidakmampuan menguasai tuntutan yang begitu besar itu. Pendidikan kita sangat jauh dari kedalaman intelektual dan nurani karena beban-beban belajar itu telah mendangkalkan semangat belajar anak-anak sejak dini.

Yang terjadi, anak yang hebat adalah anak yang peringkat tiga besar dan memenangkan berbagai perlombaan sehingga piala tertata rapi berjajar di ruang tamu rumah dan ruang prestasi sekolah. 

Anak yang digadang-gadang dapat dibanggakan dan berguna bagi bangsa dan negara adalah mereka yang berhasil mengharumkan nama bangsa lewat berbagai olimpiade pelajaran di tingkat regional maupun internasional. Inilah awal dan kelanjutan dari sebuah tragedi pendidikan di negara kita. Pendidikan dijadikan sebagai mesin penghasil piala-piala sebagai tanda harga diri dan kualitas.

Pendidikan hendaknya mengedepankan prioritas dan konsentrasi dalam desain kurikulum dan dinamika praktisnya sehingga anak-anak mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal. 

Hal ini sekaligus mereformasi pola pendidikan kita yang jatuh pada transfer ilmu dan evaluasi belaka. Kebanggaan sebuah pendidikan sejatinya bukan pada piala-piala yang didapat tetapi justru pada kebiasaan-kebiasaan dan tradisi baik yang dilakukan anak-anak di sekolah dan dalam keseharian.

Kebiasaan bertanya dengan baik dan logis patut diusahakan dan dikembangkan dalam proses pembelajaran di sekolah. Rupanya bertanya belumlah menjadi kebiasaan yang membumi bagi anak-anak di negeri ini.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun