Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan yang Masih Terpenjara

28 Maret 2018   13:10 Diperbarui: 28 Maret 2018   13:14 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan di Indonesia selalu mengedepankan keseragaman dalam banyak hal dengan melupakan keragaman yang ada. Keseragaman yang telah berlangsung berpuluh tahun dalam dunia pendidikan di Indonesia sesungguhnya telah membunuh banyak potensi terpendam yang ada dari generasi ke generasi. 

Sekolah-sekolah menjadi tempat pembentukan keseragaman layaknya sebuah tempat pembuatan batubata yang harus sama ukuran dan warnanya. Jika ditemukan batubata yang berbeda sedikit saja, lekas disisihkan dari kumpulannya dan dianggap cacat atau tidak layak digunakan.

Semua anak di kelas menggunakan seragam yang sama, bahkan jika tidak menggunakan seragam yang seharusnya dianggap sebagai sebuah pelanggaran kedisiplinan. Tidak jarang ditemukan dalam pendidikan kita di mana anak-anak dihukum karena tidak berseragam dengan benar dan lengkap. Ketakutan dan kekhawatiran telah bertumbuh-kembang lewat seragam.

Beberapa sekolah di Indonesia yang memberi kebebasan para siswanya untuk "berseragam tidak seragam" alias bebas dengan kepantasan dan kewajaran justru dapat melatih daya pikir dan nalar anak dalam menentukan pakaian yang layak dan pantas dipakai untuk belajar di sekolah. 

Anak-anak diberi kebebasan dengan kerangka norma dan sopan santun tanpa harus menjadi liar dan hedonis. Melalui kebebasan ini, mereka menjadi terlatih dalam mengambil keputusan yang tepat setiap pagi. Inilah yang disebut pendidikan humanis dengan membangun habitus baik secara terus-menerus.

Lebih dari seputar seragam, pembelajaran dalam pendidikan di Indonesia pun sangat kental dengan keseragaman dalam berpikir, berasa, dan bertindak. 

Sekolah tidak jauh beda dengan pabrik pembuat robot dengan segala programnya. Tidak ada kebebasan dalam eksplorasi dan aktualisasi diri secara intelektual, namun semua rutinitas pendidikan jatuh pada instruksi-instruksi yang secara seragam harus dilakukan. Pendidikan bukan lagi menjadi proses memanusiakan manusia tetapi menjadi proses robotisasi manusia. Mengerikan.

Robot-robot pendidikan secara terus-menerus dituntut dengan pelajaran yang begitu banyak, materi yang begitu menumpuk, tugas yang sama, dan pekerjaan rumah yang sama pula sehingga tidak heran jika ketidakjujuran bertumbuh subur di dunia pendidikan. Ketidakjujuran adalah akibat dari pemaksaan intelektual yang menuntut keseragaman dalam banyak hal atas dasar standardisasi semu belaka.

Negera-negara maju bahkan Finlandia yang kualitas pendidikannya terbaik di dunia telah meninggalkan: berbagai beban belajar yang begitu banyak, standardisasi dalam bentuk ujian, dan keseragaman kualitas bagi para siswa. Sekolah-sekolah di sana menjadi sebuah lingkungan belajar yang menyenangkan, bermakna, dan fokus pada keragaman potensi diri. 

Anak-anak dapat belajar berdasarkan potensinya masing-masing dalam pendampingan yang terukur dan teruji. Sekolah benar-benar menjadi tempat belajar tentang hidup dan untuk hidup itu sendiri. Beda dengan pendidikan di Indonesia, yang hingga hari ini pendidikan kita masih begitu lekat dengan pencapaian skor-skor yang berujung pada frustasi dan dikotomi.

Titik lemah dalam pendidikan kita adalah kepemimpinan yang sangat formalitas. Kepemimpinan yang humanis sejatinya perlu dikedepankan dengan cara memandang manusia sebagai manusia yang layak untuk dihargai potensinya dalam bentuk dan level apapun. 

Dalam buku The 3600 Leader, Maxwell mengisahkan tentang seorang eksekutif yang berkali-kali salah menempatkan orang padahal ia tahu bahwa stafnya itu adalah orang-orang berpotensi. Akhirnya, setiap tahun ia selalu bertanya pada stafnya, "Jika Anda dapat mengerjakan hal lain, apa kira-kira pekerjaan itu?" Dari jawaban mereka, ia memperoleh petunjuk tentang siapa saja yang mungkin telah diberi peran keliru.

Berusaha menempatkan orang yang tepat pada pekerjaan yang tepat pula sangat membutuhkan banyak waktu dan energi. Begitupula mengusakan pendidikan yang tepat bagi anak-anak muda bangsa ini juga membutuhkan banyak waktu dan energi. Keragaman potensi anak-anak dalam dunia pendidikan pastinya menuntut pengorbanan dan perjuangan pendidik dan pemimpin bangsa ini setiap saat. Anak-anak perlu dimengerti potensi dan ambisinya dalam belajar dan hidup.

Sekolah Tomoe Gakuen dalam kisah terkenal di Jepang, Totto-Chan, sangat memberikan inspirasi bagi dunia pendidikan. Totto-Chan sempat belajar di sekolah yang menuntut keseragaman dalam berbagai bidang dan hasilnya adalah kacau dan frustasi.

Sekolah Tomoe Gakuen, sebuah SD di Tokyo yang didirikan oleh Sosaku Kobayashi selama Perang Dunia II, menjadi penyelamat hidup dan masa depan si gadis cilik Totto-Chan. Di sekolah ini segala potensinya berkembang karena sekolah ini memberi kesempatan seluas-luasnya bagi para siswa untuk berekspresi, bereksplorasi, dan mengaktualisasikan segala pikiran dan perasaannya.

Di Indonesia sebenarnya kita memiliki sekolah sejenis Tomoe Gakuen ini, yakni SD Mangunan di Yogyakarta yang dirintis oleh Romo YB. Mangunwijaya, Pr. Sekolah ini sangat kental dengan kemerdekaan belajar yang bersumber pada kehidupan nyata. Proses pendidikan yang didesain adalah proses pembentukan pribadi pembelajar yang eksploratif, kreatif, integral, dan komunikatif. Anak-anak benar-benar dihargai latar belakang dan potensinya dalam belajar.

Lewat kebebasan atau kemerdekaan belajar, anak-anak bangsa ini dapat berkembang secara tepat karena mereka mendapat kesempatan. Hingga hari ini masih banyak anak bangsa yang tidak memiliki kesempatan untuk belajar secara tepat sesuai dengan potensi mereka yang sesungguhnya. Inilah penjara pendidikan yang terjadi puluhan tahun di tanah air tercinta ini. Banyak anak terpenjara akal budi, nurani, dan potensinya oleh monster yang bernama sekolah dengan segala tuntutan belajarnya.

Akhirnya, penjara pendidikan harus segera dirobohkan dan dibangun dengan pendidikan humanis. Pemimpin bukanlah seorang pemimpin ketika menggunakan cara yang sama atau asal beda dalam kurun waktu yang lama dan hasilnya tidak jauh berbeda namun dia santai-santai saja. 

Pemimpin seperti itu tak ubahnya seorang pecundang belaka. Pendidikan kita sesunguhnya mengalami stagnasi akut dan sudah saatnya reformasi edukasi secara total dan menyeluruh. Pendidikan bangsa ini membutuhkan pemimpin-pemimpin yang tepat demi pendidikan yang tepat bagi anak-anak bangsa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun