Carut-marut dunia pendidikan saat ini, sudah waktunya menuntut adanya paradigma baru dalam segala pengembangannya. Dunia pendidikan sudah seharusnya menumbuhkembangkan paradigma baru dalam membantu implementasi pendidikan yang humanis dan pastinya reflektif. Humanisme dan refleksi ini adalah pilar sekaligus roh penting untuk mempertahankan eksistensi pendidikan dalam kerangka pendidikan yang mengacu pada learning for life.
      Paradigma baru sejatinya bukan hanya menghadirkan sesuatu yang belum ada menjadi ada, tetapi paradigma ini mencoba mengingatkan dan mengembalikan esensi pendidikan yang sesusungguhnya. Jika pendidikan erat kaitannya dengan manusia dan kehidupannya, maka esensi pendidikan juga hendaknya mengarah pada proses memanusiakan manusia menuju taraf insani dengan selalu mempertimbangkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Ketika proses pendidikan tidak lagi lekat dengan harkat dan martabat manusia berarti proses itu bukan lagi sebagai edukasi, tetapi sebuah kolonialisasi terhadap peradaban manusia atas nama pendidikan.
Krisis Pendidikan
      Pendidikan di negeri tercinta ini seringkali sibuk dengan nuansa politis dan psikologis. Pergantian dan bongkar-pasang kurikulum hanya menjadi kesibukan politis yang tidak ada ujungnya, ganti menteri-ganti kurikulum. Dinamika pergantian itu  sesungguhnya hanya menjadikan sekolah dan khususnya anak didik sebagai korban. Proses pembelajaran dan evaluasi tidak berjalan dengan terencana dan terukur dengan baik. Belum lagi, sekolah disibukkan dengan berbagai program pelatihan dan administratif yang tidak tentu arahnya.
      Sebenarnya yang paling dirugikan dari ketidakjelasan dan kesemrawutan sistem pendidikan ini adalah anak didik dan orang tua. Dampak psikologis begitu kental dirasakan oleh mereka, kekhawatiran yang begitu akut akan nasib anak untuk mendapat pendidikan yang layak, berguna, dan menggembirakan. Nasib generasi muda bangsa ini terus-menerus diombang-ambingkan oleh kebijakan politik yang jauh dari bijak.
      Sekolah serasa menjadi "penjara" bagi anak-anak di negeri ini. Pergi ke sekolah sama dengan pergi menuju penderitaan dan beban berat sehingga jauh dari situasi yang menyenangkan dan menggairahkan. Susah rasanya menemukan suasana sekolah Tomo Gakuen seperti dalam kisah Totto Chan, di mana anak didik dapat belajar dengan menyenangkan dan penuh motivasi tanpa harus dibebani banyak pelajaran dan materi.
Anak-anak di negeri ini sangat disibukkan dengan banyak pelajaran dan menumpuknya materi yang harus dipelajari. Celakanya lagi, sepulang sekolah mereka masih harus pelajaran tambahan atau les berbagai pelajaran demi mendukung standar ketuntasan. Mengerikan.
Kontekstualiasi
      Fokus proses pendidikan atau sekolah sudah waktunya beralih dari orientasi materi menjadi orientasi kemanusiaan. Sudah terlalu lama bahwa pendidikan di negeri tercinta ini hanya sibuk mengolah masalah nilai (skor) atau berbagai standar ketuntasan nilai. Akibatnya, belajar di sekolah hanya sibuk menghafal dan memahami materi dengan berbagai teori dan dalil namun melupakan aspek kegunaan dan keberterimaan di dalam kehidupan nyata. Yang paling mengerikan adalah kadangkala anak-anak tidak tahu "mengapa dan untuk apa mereka belajar materi itu?" Ini adalah sebuah tragedi serius dalam dunia pendidikan kita.
      Orientasi kemanusiaan dalam pendidikan erat kaitannya dengan pengembangan dan implementasi sisi humanis dalam setiap aktivitas. Seiring dengan dunia yang semakin canggih dalam tehnologi dan komunikasi yang menembus batas ruang dan waktu, humanisasi dalam pendidikan menjadi sebuah keharusan. Harus diterima sebagai sebuah kenyataan bahwa dunia pendidikan merupakan komunitas manusia, bukan pabrik atau juga robot. Oleh karena itu, sisi humanis harus menjadi dasar sekaligus pilar dalam proses pendidikan.
      George Carlin, seorang penulis sekaligus komedian, menyerukan sebuah kritik sosial tentang pentingnya humanisasi, "... we haven't learned how to care for one another". Hal ini mengingatkan dunia pendidikan akan pentingnya mengedepankan sisi-sisi humanis demi membentuk dan mempersiapkan generasi yang lebih manusiawi.