Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bangsa yang Beradab, Bukan Biadab

8 Maret 2018   08:08 Diperbarui: 8 Maret 2018   10:06 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.muslimahzone.id

"Saya senang datang ke Indonesia karena alamnya begitu indah dan orangnya ramah-ramah". Itulah ungkapan para pendatang asing dari berbagai negara di era 70-an hingga 90-an. Indonesia bak surga dunia yang selalu menjadi tempat idaman  untuk dikunjungi. Akan tetapi, semua itu berbalik saat era reformasi hingga sekarang. Indonesia menjadi tempat yang gaduh dalam banyak bidang, seperti keadaan politik, keamanan, kemasyarakatan, bahkan dunia pendidikan juga..

Dalam kebudayaan barat, akal budi (kecerdasan) dipandang sebagai kunci yang mampu membuka semua ruang tertutup. Budaya Yunani telah menjadi embrio pemilihan orang barat atas akal budi, yang memungkinkan manusia mengembangkan ilmu dan membebaskan manusia dari mitos-mitos. Dari kesemuanya itu, melahirkan keteraturan yang rasional dengan konsep-konsep yang jelas dan tegas sehingga lahirlah apa yang sering disebut hukum.

Pada sisi lain, Timur lebih menekankan intuisi daripada akal budi. Akibatnya, hatilah yang mempersatukan akal budi dan intuisi, intelegensia dan perasaan. Tampak jelas bagi orang timur, tujuan utama belajar adalah menjadi bijaksana. Dengan kebijaksanaan orang akan menghayati hidup lebih baik dan sempurna karena hidup merupakan seni yang sulit dan membutuhkan refleksi sepanjang hidup.

Perjalanan ke Timur (Asli: The Journey to The East) merupakan karya terbaik Hermann Hesse. Dia lahir di Jerman lalu pindah ke Swiss karena selama Perang Dunia I dia bergabung dengan organisasi perdamaian Romain Rolland untuk menentang perang dengan menulis beberapa skenario film antiperang dan novel. Dalam novel ini digambarkan sang narator (penulis) mengembara melintasi ruang dan waktu demi mencari kebenaran tertinggi.

Perjalanan ke timur adalah perlambang dari sebuah ranah kesadaran akan suatu kebijaksanaan dalam sketsa kebenaran sejati. Perjalanan itu menembus semua zaman, tidak hanya masa kini tetapi juga zaman pertengahan bahkan renaisans. Satu titik bidik Hermann Hesse adalah membawa pembaca untuk bergerak menuju perkembangan spiritual.

Kata kunci yang dapat dipegang dari novel itu adalah kata "Timur". Timur sangat identik dengan sesuatu yang baik, nyaman, tenteram, damai, atau dalam bahasa Hesse identik dengan perkembangan spiritual manusia. Tentunya perkembangan menuju arah yang lebih baik dan humanis dalam kebenaran dan kebaikan. 

Membangun Bangsa

"Sekarang itu banyak orang pintar tapi orang jujur sulit dicari". Begitulah ungkapan seorang bapak keluarga di daerah pedesaan. Tepatnya saat saya sedang mendampingi para siswa live in di daerah pedesaan. Pernyataan ringan dan polos dari seorang bapak yang SD saja tidak lulus tapi sungguh mendalam dan juga satir untuk masyarakat Indonesia, para pemimpin khususnya.

Tidak boleh dipungkiri bahwa kebrutalan dan anarkisme telah terjadi di bumi pertiwi ini. Alam pun tak kuasa melihat semuanya itu dan menghentak bumi pertiwi dengan berbagai bencana yang mengerikan dan memilukan. Bahkan rasa "ketimuran" kita sudah luntur di mana perasaan dan kasih sayang tinggal kenangan saja. Semua itu tergantikan dengan rasionalitas dan sadisme pribadi atau golongan. Ada banyak berita-berita anarkis di berbagai media dan juga banyak kegaduhan dalam berbagai bidang yang menghambat kemajuan dan kemakmuran masyarakat. Belum lagi sikap "brutal" para pemimpin kita terhadap kepentingan masyarakat lewat aksi korupsi yang merajalela dan krisis keteladanan.

Melihat keadaan bangsa ini tentunya sangatlah jauh dari kebijaksanaan atau dengan bahasa Hesse: jauh dari perkembangan spiritual bangsa. Yang terjadi adalah materi (baca: uang) membutakan semuanya dan parahnya membunuh nurani. Kita tidak hanya krisis moneter tetapi lebih dari itu, krisis moral dan krisis kebijaksanaan. Mengerikan sekali, jangan-jangan antara manusia dan binatang sulit dibedakan. Atau peran dan karakter itu akan terbalik di mana akan terbentuk komunitas manusia yang binatang dan binatang yang manusiawi.

Sepakat dengan ide dan sharing pengalaman Stephen R. Covey dalam buku bestseller-nya, The 8th Habit -- Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan, perlunya menemukan suara diri dan mengilhami orang lain untuk menemukan suara mereka. Suara itu dapat merujuk pada suara kemerdekaan jiwa atau panggilan hidup. Pada akhirnya, keagungan itu memerlukan kerendahan hati untuk mendengarkan nurani dan melakukan segalanya dengan kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun