Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Reformasi Pembelajaran: Guru yang Utuh dan Nyata

17 November 2015   14:16 Diperbarui: 17 November 2015   14:24 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Anak-anak mestinya belajar dalam sebuah keseimbangan indera dalam membentuk otak mereka, yakni keseimbangan keaktifan mata, telinga, dan mulut anak-anak dalam belajar di sekolah. Ketika guru begitu asyik dengan ceramah bahkan orasi tunggalnya di depan kelas sepanjang jam pelajaran, maka sebuah kepincangan indera dalam membentuk kognitif anak terjadi dengan begitu anarkis.

Mata anak-anak begitu monoton dengan sebuah pandangan lurus ke depan tertuju pada sosok guru saja. Ada pandangan yang membosankan dan menjenuhkan dalam proses pembelajaran itu. Ada begitu banyak informasi masuk melalui telinga anak-anak layaknya sebuah “badai” informasi menghantam gudang pikiran anak-anak. Mengerikan sekali. Bahkan sebuah penyekapan pendapat untuk anak-anak pun terjadi tatkala mulut mereka tidak mempunyai kesempatan bicara sepatah kata pun. Akhirnya pembelajaran itu menjadi sebuah proses derita dan sengsara bagi anak-anak dalam kejenuhan dan kebosanan guru yang monoton.

Beda halnya, tatkala anak-anak belajar dalam sebuah kedinamisan pembelajaran yang didesain dengan begitu variatif. Pembelajaran yang memberi kesempatan mata anak-anak mengeksplorasi banyak hal lewat berbagai sumber, seperti buku, internet, objek tertentu, guru, dan teman sekelas. Bahkan, telinga mereka bisa mendengarkan banyak hal yang bervariasi dari berbagai sumber sesuai dengan minat mereka untuk menunjang pemahaman mereka. Hebatnya lagi, anak-anak memiliki kesempatan untuk bertanya, berbagai, dan berpendapat sebagai sebuah bentuk ekspresi. Tentunya pembelajaran model ini begitu menggairahkan semangat anak-anak untuk belajar.

Kolaborasi mata, telinga, dan hati telah melahirkan sebuah pembelajaran yang antusias dan bermakna. Kolaborasi itu telah membantu pembentukan kognitif anak-anak secara menyenangkan sekaligus lengkap karena anak-anak bisa memperoleh input secara beragam, tidak monoton. Tentunya kolaborasi organ tubuh dalam pembelajaran tidak akan berhenti sampai disitu saja.
Perkembangan afeksi sudah seharusnya menjadi perhatian bagi dunia pendidikan secara implementatif, bukan hanya sekedar teori atau kebijakan formal belaka. Aspek afektif ini sangat berkaitan dengan perkembangan hati nurani setiap anak. Bagaimana pendidikan mampu memberi ruang dan peluang bagi anak-anak untuk mengembangkan nurani adalah sebuah tuntutan yang harus ada. Bagaimana pembelajaran mampu mengembangkan aspek nurani ini juga menjadi sebuah keharusan untuk mendidik anak-anak bangsa ini menjadi insan yang humanis.

Desain pembelajaran yang membuka diri akan kenyataan masyarakat pada umumnya adalah sebuah desain pembelajaran humanis dan sekaligus kontekstual. Sebuah analisis sosial akan keadaan masyarakat dapat menjadi media dalam sebuah pembelajaran apapun. Topik penulisan paragraf dalam pelajaran Bahasa Indonesia dengan mudah menggunakan topik kehidupan masyarakat dengan membuat sebuah observasi awal terlebih dahulu sebagai media pengumpulan data. Bahkan, pelajaran Ekonomi pun dapat menggunakan wawancara sosial untuk menganalisis persepsi masyarakat tentang periklanan yang ada. Masih banyak hal di masyarakat yang bisa digunakan sebagai media pembelajaran untuk semua mata pelajaran.

Lewat desain pembelajaran yang variatif dan kreatif, anak-anak perlahan-lahan akan menyadari betapa beragam dan kompleksnya hidup ini. Sebuah kekuatan refleksi akan masuk dalam spirit pembelajaran itu sehingga secara bertahap akan mempertajam hati nurani mereka. Bahkan, pembelajaran variatif dan kreatfi pun akan mengasah hati nurani guru itu sendiri untuk selalu mengedepankan kebutuhan belajar anak demi masa depan mereka.

Selain itu, pendidikan bangsa ini jatuh pada maraknya sebuah euforia pendidikan yang hebat lewat pembelajaran yang menuntut serba bisa dalam berbagai hal sehingga anak-anak dituntut mengetahui banyak. Hal itu tercermin dari banyaknya mata pelajaran dan menumpuknya materi. Tatkala tuntutan itu tak terelakkan lagi maka peran pendidik sebagai “sutradara” pembelajaran harus dimainkan. “Film” pembelajaran harus tetap berjalan demi masa depan anak-anak namun desain film itu harus dimodifikasi menjadi sebuah pembelajaran yang taktis, estetis, dan bermakna. Anak-anak belajar di kelas (sekolah) selayaknya bermain peran dalam sebuah film sehingga akan ada kemauan, niat, semangat, tujuan, dan alur cerita yang jelas.

Merujuk sebagai sebuah contoh, sang guru mencoba sebuah pendekatan yang mengedepankan aspek koneksi dengan kehidupan nyata. Anak-anak belajar diarahkan pada keyakinan bahwa apa yang mereka pelajari berguna dalam kehidupan nyata. Pendekatan inilah yang akhirnya mendorong sang guru untuk menghindari sebuah pembelajaran yang berorientasi materi. Hal ini bukan berarti meniadakan materi yang menjadi tuntutan standar namun membuatnya menjadi sebuah media, bukan “nyawa”-nya pembelajaran."Apa manfaat materi "X"dalam kehidupan nyata?" Begitulah pernyataan yang selalu dilontarkan dalam proses pembelajaran.

Materi sebagai nyawa dalam pembelajaran berarti menempatkan materi sebagai pusat atau fokus bagi anak-anak sehingga mereka akan secara intensif memahami materi yang ada. Akhirnya, pembelajaran terjebak pada menghafal materi belaka yang lebih membidik aspek kognitif semata. Namun, ketika materi menjadi sebuah media maka pembelajaran akan menjadi lebih fleksibel dan berwarna-warni nuansanya sehingga guru dan anak-anak bisa belajar lebih luas, tidak sekedar kognitif belaka namun juga pengolahan hati nurani dan kepedulian juga.

Pembelajaran hendaknya memberi ruang dan peluang bagi anak-anak beraktivitas dalam ekspresi, imajinasi, refleksi, dan juga aksi akan kehidupan nyata ini. Pembelajaran bukan menjadi “penjara” bagi anak-anak lewat “trali teori” yang membentuk “kurungan” materi dalam pembelajaran anak-anak. Biarlah anak-anak menghirup angin segar pendidikan dalam pembelajaran yang nyata dalam dan bagi hidup mereka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun