Kata yang  tepat diucapkan kepada para pendidik di masa pandemi yakni bijaksana. Para pendidik menghadapi anak-anak usia sekolah  3-13 tahun dalam situasi pandemi ini perlu memiliki kebijaksanaan dalam sikap dan kata-kata. Hal ini menjadi perhatian dalam psikososial perkembangan kepribadian Erikson. Ia menegaskan pada ada fase ini, krisis utama yang dialami adalah rasa percaya diri dan rendah diri. Rendah diri terutama ketika berada dalam kelompok sebaya. Hal ini juga didasari oleh fakta bahwa pihak yang sangat berperan adalah sekolah dan tetangga, dimana komunitas anak tersebut sudah meluas dan tidak terbatas pada anggota keluarga lagi.
Rasa percaya diri yang seharusnya dikembangkan dalam lingkungan sekolah tidak mungkin dilaksanakan menyebabkan anak-anak stress. Situasi yang sering tidak disadari para pendidik bahwa anak-anak usia sekolah  tingkat SD dan SMP mengalami situasi stress selama belajar di rumah. Mereka tidak bisa berinteraksi dengan temannya, dengan dunia luarnya karena pembatasan sosial.Â
Situasi stres terjadi karena segala potensi yang harus dikeluarkan untuk pembuktian dan mendapat pengakuan dari orang lain terpendam. Pada masa pandemi situasi orangtua maupun guru sering menempatkan diri sebagai pribadi yang stress. Â Orangtua harus dipaksa menguasai IPTEK, orangtua dipaksa menguasai semua ilmu agar bisa mendampingi anaknya.Â
Selain itu orangtua maupun guru  bergumul dengan sikap, perilaku, kedisiplin dan etika anak yang semakin hari mengabaikan peran orangtua dan guru. Anak cendrung tidak mendengarkan orangtua, tidak disiplin dengan waktu dan kegiatannya sekolah.  Berjam-jam mereka menikmati games online. Pada saat mereka sedang asyik dengan dunia games online, tiba-tiab hadirlah suara-suara pengganggu pasti mendapat reaksi penolakan. Inilah dampak dari situasi pandemi yang dirasakan orangtua dan guru dengan perubahan perilaku memprihatinkan. Lantas kita bertanya apakah ini salahnya anak? Jawabannya tidak karena mereka adalah korban yang tidak dipahami pendidik. Â
Menghadapi situasi psikologi anak usia SD dan SMP, tentunya pertama-tama orangtua termasuk guru memosisikan siswa sebagai korban dari situasi pandemi. Selanjunya perlu gerakan pertobatan dari dalam diri orangtua dan guru bahwa pendekatan kepada siswa dalam situasi belajar di masa pandemi ini tidak dengan kekerasan verbal, tidak dengan kata kata ancaman. Â
Orangtua, guru menghadapi anak yang berusia 3-13 tahun harus menjadi orangtua, guru yang bijak. Bijak dalam arti masuklah dalam dunia anak. Bergabunglah bersama mereka. Dari dalam situasi itu,  berusahalah berdialog dengan situasi mereka lalu perlahan-lahan memberikan nasihat tentang pentingnya belajar. Jika yang terjadi hanyalah instruksi dari luar, perintah dan larangan maka yang terjadi adalah perang mulut di dalam rumah. Jika anak semakin dipersalahkan ,maka timbul sikap  melawan, memberontak. Hal ini terjadi karena saatnya ia harus berada dalam fase pengaktualisasian diri dengan dunia luarnya yang dibatasi.
Bijak berarti memberikan ruang kepada anak untuk eksplorasi diri dibidang apapun yang mereka suka. Tidak hanya pada tugas-tugas sekolah. Arahkan diri siswa untuk melakukan kegiatan dalam rumah maupun sekolah yang membuatnya merasa dicintai dan diperhatikan. Interaksi sosial dalam suasana keakraban, kerukunan, kenyamanan, membantu anak mengembangkan psikososialnya.Â
 Situasi harus diciptakan oleh orangtua maupun guru. Segala yang bersifat pengekangan perlu dihindari selama anak-anak masih dalam pembatasan sosial. Guru maupun orangtua harus menciptakan permainan dalam pembelajaran yang memungkinkan peserta didik membangun relasi yang lebih luas dengan teman-temannya melaui diskusi, kerja kelompok, debat  secara virtual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H