Pastor kok terang-terangan mendukung salah satu calon Bupati dalam Gereja ? apakah Pastor boleh berpolitik seperti ini ?. Pertanyaan ini seringkali kita dengar di kalangan umat beriman.Â
Dalam hukum Gereja Katolik, para imam dipanggil untuk hidup dalam pelayanan pastoral yang suci dan berfokus pada kesejahteraan rohani umat beriman.Â
Salah satu prinsip penting yang dipegang dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) adalah bahwa imam tidak boleh terlibat dalam politik praktis, kecuali dalam keadaan yang amat mendesak dan atas izin dari otoritas gerejawi yang sah.Â
Ini bertujuan agar para imam tetap menjalankan misinya secara murni dan tidak bercampur dengan kepentingan duniawi yang bisa mempengaruhi kesaksian mereka akan Kristus.
Larangan Terlibat dalam Politik Praktis Menurut Hukum Gereja
Hukum Gereja secara eksplisit mengatur larangan keterlibatan imam dalam politik praktis. Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983, dalam Kanon 287 2, menyatakan: "Para klerikus hendaknya tidak ikut serta dalam partai politik dan mengurus hal-hal duniawi, kecuali jika dalam pandangan otoritas gerejawi yang berwenang hal itu dituntut untuk membela hak-hak Gereja atau demi kesejahteraan umum."Â
Ketentuan ini menunjukkan bahwa politik praktis bukanlah bagian dari peran atau fungsi yang seharusnya diemban oleh imam. Gereja memandang bahwa dengan terlibat dalam partai politik atau kegiatan politik praktis, seorang imam berisiko kehilangan kesaksiannya sebagai pembawa pesan Kristus.Â
Hal ini juga untuk menjaga agar imam tidak terpecah fokus antara misi pastoralnya dan dinamika dunia politik yang penuh dengan pertentangan kepentingan. Ada beberapa alasan teologis mengapa Gereja melarang imam terlibat dalam politik praktis, diantaranya:
- Kesucian Jabatan Imam: Imam diharapkan memiliki komitmen penuh untuk melayani Tuhan dan umat-Nya, mengabdikan hidup mereka sepenuhnya untuk pelayanan spiritual. Politik praktis sering kali memerlukan kompromi dan aliansi dengan berbagai kelompok kepentingan, yang bisa merusak kesucian dan kemurnian komitmen seorang imam.
- Peran sebagai Pembawa Damai dan Netralitas Gereja: Gereja memiliki misi universal untuk menjadi tanda kesatuan dan perdamaian bagi semua umat manusia. Keterlibatan imam dalam politik dapat mengancam posisi netral Gereja, sebab politik praktis cenderung bersifat partisan dan dapat menimbulkan konflik. Para imam dipandang sebagai representasi Gereja yang harus netral dalam perselisihan duniawi dan mempersatukan umat dalam Kristus.
- Bahaya Skandal dan Persepsi Umat: Jika seorang imam terlibat dalam politik praktis, hal ini bisa menimbulkan kebingungan atau bahkan skandal di antara umat beriman. Tindakan-tindakan politik seorang imam bisa dilihat sebagai pendapat resmi Gereja, sehingga menciptakan persepsi bahwa Gereja mendukung satu pihak politik. Ini bertentangan dengan misi Gereja yang harus menjadi saksi kasih universal.
Pengecualian dalam Kasus Mendesak
Meskipun ada larangan yang jelas, hukum Gereja juga memberikan pengecualian dalam situasi mendesak, yaitu jika keterlibatan seorang imam dalam politik diperlukan untuk membela hak-hak Gereja atau untuk kesejahteraan umum (KHK 287 2).Â
Namun, keterlibatan ini tetap harus melalui izin dari otoritas gerejawi yang berwenang, seperti Uskup atau otoritas tertinggi lainnya.
Keadaan yang dapat dianggap mendesak biasanya berkaitan dengan:
Â
- Ancaman Terhadap Hak-Hak Gereja: Misalnya, jika hak Gereja untuk menjalankan tugas pastoralnya secara bebas diancam oleh kebijakan pemerintah atau kelompok politik tertentu.
- Kesejahteraan Umat: Dalam situasi di mana keselamatan atau hak dasar umat beriman berada dalam ancaman yang nyata dan serius, Gereja dapat mempertimbangkan untuk memberikan izin bagi imam terlibat dalam politik praktis untuk melindungi kesejahteraan umat.
Namun, pengecualian ini bersifat sangat terbatas dan harus dipertimbangkan dengan bijaksana serta melalui persetujuan resmi.
Pandangan Dokumen Gereja: Konsili Vatikan II dan Pedoman Pastoral
Konsili Vatikan II menekankan bahwa keterlibatan dalam urusan sosial-politik lebih merupakan tugas kaum awam, sedangkan para imam diharapkan untuk lebih berfokus pada pelayanan rohani. Dalam dokumen *Gaudium et Spes*, Konsili Vatikan II menyebutkan bahwa semua orang beriman memang dipanggil untuk berperan dalam masyarakat, tetapi dengan cara yang sesuai dengan panggilan mereka masing-masing.Â
Dokumen Presbyterorum Ordinis juga memperingatkan imam agar menjaga jarak dari kegiatan politik agar tidak mencederai tugas pastoral mereka. Tugas utama seorang imam adalah membimbing umat dalam iman dan moral serta memberikan sakramen, bukan terjun ke dalam politik praktis.
Implikasi Pastoral bagi Kehidupan Umat
Dalam praktik pastoral, para imam diharapkan tetap menyuarakan ajaran Gereja tentang keadilan sosial, perdamaian, dan hak asasi manusia tanpa memihak secara politik. Mereka didorong untuk menjadi suara bagi kaum miskin, tertindas, dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan secara non-partisan. Namun, ini harus dilakukan tanpa bergabung dengan partai atau gerakan politik tertentu.
Keterlibatan yang non-partisan ini penting untuk menjaga kepercayaan umat dan memperkuat peran imam sebagai gembala yang melayani seluruh umat, terlepas dari pandangan politik atau afiliasi mereka.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, hukum Gereja menetapkan bahwa imam tidak boleh terlibat dalam politik praktis, kecuali jika ada alasan yang sangat mendesak dan mendapat izin dari otoritas Gereja.Â
Larangan ini berakar pada panggilan mereka untuk memfokuskan hidup pada pelayanan rohani dan menghindari konflik kepentingan yang dapat mengganggu kesaksian mereka tentang kasih Kristus.Â
Gereja mendorong para imam untuk berperan dalam masyarakat melalui ajaran moral dan bimbingan spiritual, tanpa menjadi bagian dari perpecahan atau dinamika politik partisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H