Paus Fransiskus baru saja menandatangani Motu Proprio, "Assegnare Alcune Competenze", pada tanggal 11 Februari 2022, dan berlaku pada 15 februari 2022. Motu proprio ini berisikan beberapa aturan yang diubah dalam Kitab Hukum Kanonik atau KHK, baik untuk Gereja Katolik Ritus Latin (CIC) maupun Gereja Katolik Ritus Timur (CCEO). Adapun tujuan perubahan ini adalah untuk menjamin kesatuan disiplin Gereja universal, kepada kekuasaan eksekutif Gereja-Gereja dan lembaga-lembaga gerejawi lokal, sesuai dengan dinamika gerejawi persekutuan dan meningkatkan kedekatan. Desentralisasi yang sehat hanya dapat mendukung dinamika ini, tanpa mengorbankan dimensi hierarkisnya.
Dengan demikian, terutama dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa kolegialitas dan tanggung jawab pastoral para Uskup, diosesan/eparkial atau yang berkumpul dalam Konferensi-Konferensi Episkopal atau menurut Struktur Hirarki Timur, serta para superior, dan juga untuk mendukung prinsip-prinsip rasionalitas, efektivitas dan efisiensi.
Perubahan peraturan ini lebih mencerminkan universalitas Gereja yang sama dan plural, yang mencakup perbedaan-perbedaan tanpa menyamakannya, dengan jaminan, dalam hal kesatuan, pelayanan Uskup Roma. Pada saat yang sama, didorong efektivitas yang lebih cepat dari tindakan pastoral oleh otoritas lokal, juga difasilitasi oleh kedekatannya dengan orang-orang dan situasi yang membutuhkannya.
Beberapa perubahan adalah berikut:
Pasal 1
Kan. 237 Â 2, KHK tentang pendirian seminari interdiosesan dan statutanya menggantikan istilah 'aprobasi' (persetujuan) dengan istilah 'konfirmasi' (pengukuhan) sehingga dirumuskan sebagai berikut:
2. Janganlah didirikan suatu seminari interdiosesan kecuali sebelumnya ada pengukuhan dari Takhta Apostolik, baik mengenai hal mendirikan seminari itu sendiri maupun mengenai statutanya; dan juga dari Konferensi para Uskup, bila mengenai seminari untuk seluruh wilayah Konferensi para Uskup itu; kalau tidak, dari para Uskup yang berkepentingan.
Pasal 2
Kan. 242 Â 1 KHKÂ tentang rasio pembinaan calon imam yang dikeluarkan oleh Konferensi Waligereja. Sebelumnya menggunakan kata "ditetapkan", menjadi "dikukuhkan"Â sehingga dirumuskan sebagai berikut:
1. Setiap bangsa hendaknya mempunyai Pedoman Pembinaan Calon Imam yang harus ditetapkan Konferensi para Uskup, dengan memperhatikan norma-norma yang telah dikeluarkan otoritas tertinggi Gereja, dan yang harus mendapat pengukuhan dari Takhta Suci, dan harus disesuaikan dengan keadaan-keadaan baru, juga dengan aprobasi Takhta Suci; dengan Pedoman itu hendaknya dirumuskan asas-asas pokok serta norma-norma umum pendidikan yang harus diberikan di seminari yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan pastoral masing-masing wilayah atau provinsi.
Pasal 3
Kan. 265, KHK mengenai institusi inkardinasi, ada penambahan 'asosiasi publik klerikal' Â yang telah memperoleh fakultas ini dari Takhta Apostolik, sehingga selaras dengan kan. 357 1 CCEO. IPerubahan ini diformulasikan sebagai berikut:
Kan. 265 - Setiap klerikus harus diinkardinasi pada suatu Gereja partikular atau Prelatur personal, atau suatu tarekat hidup bakti atau suatu serikat yang mempunyai wewenang itu, atau bahkan dalam asosiasi publik klerus yang telah memperoleh fakultas ini dari Takhta Apostolik, sedemikian sehingga sama sekali tidak diperkenankan adanya klerikus tanpa kepala atau klerikus pengembara (clericus vagus).
Pasal 4