Mohon tunggu...
Marthinus Selitubun
Marthinus Selitubun Mohon Tunggu... Penulis - Hanya seorang hamba

Seorang warga dari Keuskupan Agats Asmat, Papua. Mencoba menginspirasi orang-orang terdekat lewat doa dan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari Pedalaman

22 November 2019   20:07 Diperbarui: 22 November 2019   20:16 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aktifitas umat di paroki Bayun Keuskupan Agats *dok.pribadi. 


 
Kata banyak orang, pedalaman adalah tempat pembuangan. Inilah salah satu rahasia umum yang sering kita dengar. Parahnya, hal ini bukan saja terjadi di kalangan pegawai pemerintahan, tetapi juga isu ini juga seringkali kudengar di kalangan anggota gereja. Apakah benar ditempatkan di pedalaman karena dibuang atau karena dia mampu ? By the way, apa yang membuat seseorang dipandang mampu untuk ditempatkan bekerja di pedalaman ?. 

Terlepas dari alasan politis yang bertendensi tertentu, pada prinsipnya seseorang ditempatkan di pedalaman karena kemampuannya dibutuhkan di tempat tersebut. Kalau ditanya, apakah saya mau ditempatkan di pedalaman ? Jawaban saya adalah ya. Saya pernah bekerja dan mungkin akan ditempatkan lagi di beberapa tempat di pedalaman, tepatnya di wilayah Keuskupan Agats, Papua. Ada lokasi yang yang berjarak 3-4 jam, ada juga yang berjarak 10 jam dari kota kecil kami, Agats. Apa sih menariknya bekerja di pedalaman ?

Suka Duka Berpastoral di Pedalaman
Menjadi petugas pastoral di pedalaman telah menjadi bagian dari perjalanan hidup yang berharga bagi saya. Pada awal ditempatkan di sana, Uskup saya mengatakan, "kamu bisa. Ini kesempatan berharga bagi-mu". Pada awalnya saya merasa sedih karena harus berpisah dengan teman-teman, suasana kota, jaringan telepon, atau warung-warung makan yang dapat dengan mudah ditemui di sudut jalan di kota kami yang kecil. Bagaimana dengan keadaan disana? Kios ada gak? bagaimana kalau sakit nanti ?. Lucunya, bahkan ada teman dari luar kota pernah bilang, aku gak bisa hidup tanpa tempe, bagaimana bisa bekerja kalau tidak ada tempe di sana? (pertanyaan-pertanyaan ini rasanya melelahkan ya ... haha). Menjadi lebih menantang lagi karena, akan ada tanggungjawab besar yang harus saya pikul sebagai pastor paroki pada saat itu. Terbayanglah sudah litani kesulitan yang akan saya hadapi. Banyak hal yang harus diurus di sana, mulai dari komunitas orang muda katolik, lahan yang luas, kios paroki, Ibu-ibu, dewan, stasi, balai pengobatan, lapangan terbang misi, bahkan sekolah. Semua harus terpadu di bawah koordinasi Pastor Paroki. Lupakan malaria atau ombak yang tinggi karena itu hal wajib di tempat kami. Sulit juga ya ?


Hal sederhana pertama yang saya buat adalah berkunjung ke rumah umat. Mulai dari memperkenalkan diri, mendengarkan, dan sesekali membuat kegiatan kecil bersama para dewan. Hampir semua hal dibuat dengan pertimbangan beberapa anggota dewan gereja dan tokoh umat. Kalau ada tantangan, langsung cari teman-teman untuk sekedar sharing dan meminta pendapat mereka.


Pada awalnya ada rasa ragu. Jangan-jangan apa yang saya buat keliru atau tidak sesuai dengan kebiasaan setempat.  Tak jarang saya bertanya pada anggota dewan gereja yang sangat aktif atau punya pengalaman pelayanan yang lama di tengah umat.  Masukan atau pendapat dari mereka selalu ada dan didengarkan. Bukan saja masukan di otak tentang ide-ide, tetapi perut saya juga ikut mendapat 'asupan' berupa sagu, ikan, sayuran, kepinting, dan udang. Sungguh menyenangkan. 

Kebetulan stasi tempat saya tinggal adalah tempat yang cukup subur untuk ukuran daerah Asmat yang berlumpur. Dikarenakan kondisi unik ini,  maka bisa dipastikan hampir selalu ada sayuran di meja makan kami ! Percayalah, dedaunan yang bisa dimakan ini menjadi barang mewah di wilayah Asmat yang sembilan puluh persen berlumpur ini. Tak jarang teman pastor dari paroki tetangga mengirimkan nota SOS kepada saya, yang isinya: 

"bro, tlg saya ... sayur 3 ikat, kelapa 5 butir, cabe harga Rp. 20.000,-, ntar ktm sa bayar", demikianlah isi tulisan ala sms-an di secarik kertas dari teman pastor, yang tinggal berjarak tiga sampai empat jam berjalan kaki. 

Saya pun melakukan hal yang sama, dengan menuliskan nota SOS balasan yang isinya sederhana, 

"bro, saya rindu masakan ayam kampungmu", dan begitulah seterusnya dengan isi catatan yang selalu berbeda dan menyenangkan. 

Oya, kami memang tinggal di pesisir pantai, tetapi saat musim ombak tiba, kami akan kesulitan mendapatkan ikan. Lebih parah lagi jika pada saat yang sama, kami kehabisan stok beras, mie instant, gula, atau minyak tanah dan bensin yang memang sangat mahal pada masa itu. Bekerja pun tidak bergairah karena perut tidak terisi dengan maksimal. Di meja pastoran sudah bisa dipastikan ada singkong atau pisang rebus dan sedikit mie dengan seember kuah. Jika ada umat yang lewat di depan rumah, biasanya saya titipkan candaan pertanyaan kepada komunitas susteran tetanggaku,

 "tadi saya pesan kue dari desa sebelah tetapi belum juga tiba di sini. Apakah mereka menitipkannya di susteran ?". 

Biasanya mujizat terjadi sejam kemudian.  Para suster menuju pastoran dengan kue atau sepotong ikan asin sambil mentertawakan isi pesan saya. Bahkan mereka pun tidak segan-segan mengirimkan pesan balasan jika kehabisan bahan makanan enak.

Persaudaraan sangat kental terasa. Saling berkunjung dan menguatkan adalah salah satu syarat mutlak saat bekerja di pedalaman. Pintu rumah kita harus terbuka sebisa mungkin.  Teras pastoran yang luas, menjadi tempat umat berkumpul, sekedar mampir atau berlindung saat panas dan hujan. Anak-anak sangat ramah, bahkan beberapa dari mereka akan meminta sesuatu dengan sopan kepada kita. Banyak anak muda pun akan meminta ijin jika ingin sekedar duduk di teras pastoran. 

Kepada umat saya pun melakukan yang sama. Saya merasa bebas untuk mengatakan apa yang saya perlukan jika dibutuhkan. Jika saya ingin ikan, saya bisa ke pantai, bertemu ibu-ibu yang sedang menjaring dan hanya bilang, "mama, minta ikan sedikit ya..!". 

Kisah Unik di Gereja


Seribu hari lebih saya habiskan di tempat ini dan terukir pula ribuan kisah menarik di tempat ini dan tidak bisa hilang dari memoriku. Saya teringat kembali bahan persembahan di Gereja berupa sayuran, sagu bakar, bahkan singkong rebus. Bahan-bahan persembahan yang sudah dimasak biasanya kami makan bersama-sama setelah mengikuti perayaan Ekaristi. Adapun bahan makanan yang mentah dijualkan ke para guru, susteran, perawat, atau pastoran. Memang harus dijualkan supaya memenuhi kebutuhan gereja lainnya misalnya lilin, minyak untuk membabat rumput, membeli sapu, permen untuk anak-anak sekolah minggu, dan lain-lain. 

Pada suatu hari raya, seorang bapak yang rajin ke gereja membawa persembahan berupa ayam yang masih hidup. Ayam itu diikat di tiang lilin kecil di dekat altar, dan talinya terlepas. Alhasil, seisi gereja menjadi heboh karena ayam menjadi incaran manusia dan anjing di saat bersamaan. Di saat-saat tertentu, saya juga rindu kepolosan beberapa orang tua yang berani tampil untuk membaca bacaan liturgi di Gereja sekalipun terbata-bata. Kalau diikuti, setiap hari selalu menarik. 

Syukuri harimu karena setiap hari itu unik 

Dalam pelayanan, sekalipun di pedalaman dan bertemu dengan orang-orang yang sama, kita tidak akan menemukan dua hari yang persis sama dalam kehidupan kita. Begitu pula dalam pelayanan harian. Tidak sedikit dari kita justru terjebak dalam hal ini, dalam rutinitas dan parahnya kita menyakini bahwa semua hal adalah biasa dan hampir sama. Dalam hidup seorang imam pun, harus disadari bahwa kita sedang berhadapan dengan hari, pribadi-pribadi dan jenis pelayanan sakramen dan sakramental yang berbeda. Semua hal ini tentu membantu kita dalam pelayanan yang bertujuan untuk keselamatan jiwa setiap pribadi, sehingga kita tidak terlena dalam belenggu rutinitas. Santo Paulus mengatakan, "Aku telah menjadi segalanya bagi semua orang, supaya aku dapat memenangkan beberapa jiwa di antara mereka." (1 Kor 9: 22b) Memang, seorang imam dipanggil untuk menjadi segalanya bagi semua orang karena ia bekerja untuk keselamatan jiwa.

Hal yang ingin saya katakan bahwa sejak hari saya ditahbiskan sebagai imam Yesus Kristus, saya memiliki hak istimewa dan kesempatan untuk hadir dalam kehidupan orang-orang dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya di jalan kehidupan lainnya, dan untuk berkat itu, saya sangat menghargai. Benar bahwa, ada saat-saat ketika misi imamat  yang kita bawa nampak tidak realistis atau berlebihan, tetapi pada saat-saat itu, Kristus selalu menemukan cara untuk mengisi apa yang kurang dalam diri kita masing-masing, dan untuk mengingatkan kita bahwa itu bukanlah kita, imam, yang dicari orang-orang. , tetapi Kristus, dalam pribadi imam, yang dicari orang.

Setiap hari pun Kita dipanggil untuk membaharui hidup imamat kita dengan beberapa aspek penting ini diantaranya aspek Manusia, Spiritual, Akademik, dan Pastoral, bahkan di beberapa tempat lain ditambahkan aspek kesehatan --- hal ini merupakan kombinasi yang mungkin berbeda dari waktu ke waktu.

Saya percaya bahwa Tuhan menganugerahkan satu hari baru kepada anda dan saya dengan sebuah maksud. Untuk saya, saya memulai hari tersebut dengan doa dan mengakhiri hari saya dengan doa. Hal ini adalah hal yang tidak bisa dinegosiasikan. Doa adalah kunci untuk memenuhi misi Kristus dan Gerejanya sebagai seorang imam, dan setiap imam membuat komitmen untuk berdoa harian, yang merupakan doa kuno Gereja yang berdoa lima kali sepanjang hari.  Selain doa-doa harian, seorang imam harus berakar dalam doanya sendiri, yang merupakan bahan bakar untuk hubungan pribadi seseorang dengan Tuhan.

Doa, tentu saja merupakan fondasi Spiritual, tetapi di luar doa, ada kebutuhan untuk bekerja di kebun anggur Tuhan, yaitu untuk melakukan pelayanan. Pelayanan ini yang sering kita sebut aspek Pastoral. Setelah saya memulai hari saya dengan doa, saya kemudian membersihkan rumah, menulis, menginput data babtis, atau bertemu dengan siapa pun yang berkunjung. Saya kemudian merancang hal apa yang bisa saya buat besok, dan kemudian memasak. Di hari-hari tertentu saya mengunjungi rumah umat atau membersihkan kebun kecil di pekarangan bersama beberapa anggota umat yang lain. Perayaan Ekaristi harian dirayakan ada pagi atau sore hari, di pastoran tempat tinggalku, susteran, atau bersama anak-anak sekolah di Gereja.  

Di malam hari, setelah melaksanakan semua aspek pelayanan yang harus dihadiri seorang imam, saya meluangkan waktu untuk rekreasi pribadi atau bersama-sama anggota rumah lainnya,  yang kita simpulkan dalam aspek Manusia. Kadang-kadang ini berupa kunjungan tetangga jika mereka ada di rumah, main kartu, bernyanyi atau menonton film bersama-sama karena fasilitas ini hanya ada di tempat tinggal saya. Intinya, apa pun masalahnya, saya mencoba menyesuaikan waktu untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi.

Akhirnya, area kehidupan seorang imam yang seringkali paling sulit untuk diluangkan waktu tetapi juga yang paling berhasil adalah aspek Akademik. Saya mencoba untuk membaca buku atau majalah dengan berbagai topik, baik tentang topik teologis atau topik spiritual atau peristiwa dunia. Saya juga berusaha berlatih menulis dan membagikannya kepada orang lain, dengan harapan bisa menginspirasi banyak anak muda.

Percayalah, tidak ada hari yang sama.

Apa yang 

Saya percaya bahwa semua tempat, entah di kota besar atau di pedalaman terpencil di manapun, memiliki tantangan yang unik dan berbeda. Misalnya ada teman saya yang berasal dari India, harus berhadapan dengan realitas kemiskinan atau isu-isu tentang kasta dan kesetaraan gender. Ada juga teman saya dari salah satu negara di Afrika yang pernah berceritera bahwa di tempatnya bekerja, dia harus berjalan kaki beberapa hari di padang pasir untuk mengunjungi umat yang ia layani. Atau ada juga kisah lain dimana para pastor di beberapa keuskupan di Afrika hanya diberi uang saku sangat kecil, setara kurang dari dua puluh ribu rupiah dalam sebulan. Bahkan tantangan  pun ada di antara para imam di  gereja-gereja  di benua Eropa atau di tempat lain. Puji Tuhan, bahwa di dalam keterbatasan seperti ini pun, mereka tetap setia dalam melayani Tuhan dan umat beriman dengan sukacita. 

Tentu saja, tidak setiap hari kita dapat berjumpa dengan kegembiraan, dan tidak setiap saat pula kesulitan itu datang. Hal penting yang dapat kita lakukan adalah menyadari dengan penuh syukur bahwa kasih Tuhan itu ada di mana-mana. Akan tetapi dibutuhkan kerendahan hati untuk tetap teguh dalam menghadapi segala sesuatu dan tetap setia di tempat dimana kita diutus. Dengan cara ini, kita akan semakin membumi, menjadi saudara di tempat di mana kita layani. 

Saya percaya inilah cara Allah memperkaya diri saya. Saya justru 'disekolahkan' Tuhan di tengah umat yang polos dan sederhana, yang tinggal di pendalaman. Saya pun selalu bersyukur untuk pengalaman berharga ini.  Jadi, jangan takut belajar dari pedalaman, bro dan sis, karena pedalaman bukan tempat pembuangan, tetapi tempat penuh rahmat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun