Mohon tunggu...
Marthinus Selitubun
Marthinus Selitubun Mohon Tunggu... Penulis - Hanya seorang hamba

Seorang warga dari Keuskupan Agats Asmat, Papua. Mencoba menginspirasi orang-orang terdekat lewat doa dan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Teman dari Eritrea

16 Agustus 2019   19:15 Diperbarui: 26 Agustus 2019   21:11 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini terasa sangat panas, apalagi di kawasan seputar stasiun pusat kota Pescara. Kulirik sejenak HP-ku yang bertuliskan 37 derajat celsius.

"Ah, masih ada waktu untuk ke toilet dan beli tiket", gumamku. Tidak lama kemudian, ada pengumuman tentang keberangkatan menuju kota tempat tinggalku tinggal 5 menit lagi. Aku pun berlari kencang ke arah peron di lantai atas.

Kucari tempat duduk yang nyaman. Di bagian belakangku kudengar suara seorang pemuda yang menanyakan arah kereta ini dan nama stasiun tempat dia turun. "Non lo so!" Demikian suara samar-samar orang yang ditanyakan, yang artinya dia pun tidak tahu.

Suara si penanya itu makin mendekat. "Hallo my friend, maaf mengganggu Anda. Saya sedang kebingungan arah kereta ini, dan nama stasiun tempat di mana saya akan turun," ujarnya dengan sopan dalam bahasa Italia. "Ah, saya bisa mengecek di HP..Iya benar... anda tidak salah," jawabku.

"Apakah saya boleh duduk di seberang sana?"
"Ya, tentu saja, engkau pun bebas memilih tempat duduk."

Posisi kami dibatasi oleh dua kursi dan lorong kereta. Diam- diam kuperhatikan pemuda ini. Bertopi, berkulit gelap, dan berambut keriting. Sepatunya bersih. Dia terlihat baru pulang belanja dari supermarket. Tasnya yang sedikit transparan menujukkan isinya berupa bahan makanan. Sebentar-sebentar dia melirik ke arahku, entah ingin menyapa atau bertanya. Kuputuskan segera untuk memasukan HP ke dalam tasku dan memberikan kesempatan kepada dia, mungkin dia ingin menanyakan sesuatu. Dan benar, dia menunggu momen yang tepat untuk mulai bertanya. 

Hallo, Anda berasal dari Mana?
Saya dari Indonesia.
Di Asia?
Ya benar.
Wah, jauh sekali.
Kalau kamu?
Saya dari Eretea di Afrika. Nama saya Daud.

Bagaimana bisa kamu tiba di Italia? Pertanyaanku ini menjadi awal kisah panjang dia selama perjalanan kami.

Negaraku terletak di Afrika, berbatasan dengan Sudan, Etiopia, dan Djibouti, dan laut merah. Nama negara kami diambil dari bahasa Latin, yang berhubungan dengan laut, Mare Erythraeum (merah dalam bahasa Yunani, erythros). Setelah dilanda perang berkepanjangan, dan kemudian merdeka, kami hidup dengan baik. Saya berkuliah sebentar dan memutuskan untuk berhenti karena kesulitan ekonomi.

Target saya kemudian adalah mengumpulkan uang. Saya berpikir untuk menuju ke Eropa, melalui negara Italia. Dengan beberapa teman, kami menggunakan mobil menyeberangi Gurun Sahara. Perjalanan mengerikan itu memakan waktu 21 hari lamanya. Kami menyeberangi lautan pasir yang terlihat tidak berujung, kehausan, badai pasir, kelaparan, dan kehabisan bahan bakar.

Setelah itu, kami harus menyeberangi lautan dengan kapal selama beberapa hari. Sungguh tidak mudah, kami berdesak-desakan dan tidak sedikit yang meninggal di perjalanan ini. Di kapal pun tidak mudah. Nyawa kami menjadi taruhan hanya untuk mencari hidup yang lebih layak.

Sesampainya di Eropa, saya melihat hidup di Eropa pun tidak mudah. Saya harus berjuang keras mencari sesuap nasi dan rejeki, bahkan di negeri di luar Italia. Saya bersyukur saat ini karena mendapatkan pekerjaan di kebun sayur di kota Scafa, Italia.

Pengungsi di Italia dan Eropa

Kisah Daud adalah gambaran tentang jutaan pengungsi yang membanjiri benua Eropa dekade belakangan ini. Eropa menjadi destinasi bagi para pencari suaka dan pengungsi, baik yang dilengkapi dokumen resmi maupun tidak.

Kebanyakan mereka datang untuk menyelamatkan diri dari situasi geopolitik di negaranya. "Tentu saja saya memilih ke Eropa karena berharap kehidupan yang lebih baik. Eropa aman, tetapi saya juga harus bekerja keras karena hidup tidak mudah," tutur Daud.

Sekelompok pengungsi yang diselamatkan di lautan Lampedusa (Sumber: Reuters, 16 April 2016)
Sekelompok pengungsi yang diselamatkan di lautan Lampedusa (Sumber: Reuters, 16 April 2016)
Arus migran lainnya kebanyakan berasal dari Suriah, Irak, dan Afganistan. Situasi dan kondisi sosial ekonomi serta pelanggaran hak asasi manusia juga turut mendesak orang-orang dari negara-negara lainnya seperti Eritrea, Pakistan, Maroko, Iran, dan Somalia meninggalkan negaranya. Mereka berharap memulai suatu kehidupan baru di negara Ekonomi stabil seperti Jerman, Belanda, Swedia, Austria atau Inggris.

Sepanjang tahun 2018, sebanyak 2,275 orang mati atau hilang saat menyeberangi laut Mediterranea, yang menjadi jembatan singkat namun berbahaya dari dan ke Eropa.

Sekalipun menurut Filippo Grandi, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, yang mengatakan bahwa menyelamatkan nyawa di laut bukanlah pilihan, bukan masalah politik, tetapi kewajiban utama, tetapi angka resiko atas kematian tetap saja tinggi. Pada tahun 2015, pada tanggal 27 Agustus, ditemukan sekitar 500 migran tenggelam setelah meninggalkan Zuwara, Libya. Atau tragedi di Lampedusa, Italia, yang merenggut nyawa sekitar 800 orang. Masih panjang litani duka lainnya, hanya karena keinginan mulia: mencari hidup yang lebih layak sebagai manusia.

Menurut laporan PBB, sekitar 5000 jiwa hilang saat menyeberang laut Mediterania. Tercatat pula di tahun 2017, sekitar 3100 nyawa pun melayang. Di tahun berikutnya sekitar 1600 meninggal atau hilang di lautan yang sama.

Mencari Hidup yang Lebih Baik

"Hidup di manapun tidak mudah. Saya pun harus bekerja keras dan mengirimkan sedikit pada keluarga Ibu saya. Syukurlah saya masuk ke Italia dengan dokumen resmi dan diterima dengan baik," kata Elizabeth warga Kamerun yang saya temui di Stasiun kota Sulmona.

"Saya dulu adalah seorang pegawai negari di Kamerun," kata Elizabeth, yang sedang bekerja di Sulmona selama musim panas. Situasi politik yang tidak stabil di negaranya memaksa dia dan ribuan orang lainya menyasar benua Eropa dan Amerika. Berbeda dengan Daud yang bercita-cita ingin membawa keluarganya ke Italia atau salah satu negara Eropa, Elizabeth justru ingin kembali hidup dan bekerja di negaranya jika situasi politik di Kamerun sudah aman.

Suara David, Elizabeth dan pengungsi lainnya, adalah suara dari komunitas yang terpinggirkan oleh situasi politik atau sosial ekonomi. Mereka sungguh tidak berdaya ketika berhadapan dengan suasana ini. "Kita dipanggil untuk bersolider dengan para pengungsi dengan menanggapi banyak tantangan yang dikaitkan dengan migrasi ini," demikian seruan Paus Fransiskus pada Hari Migran Migran dan Pengungsi Sedunia ke-104.

Paus Fransiskus saat mengunjungi pengungsi di pelabuhan Mytelene, Lesbos, Yunani (Foto: Reuters).
Paus Fransiskus saat mengunjungi pengungsi di pelabuhan Mytelene, Lesbos, Yunani (Foto: Reuters).
Seruan Paus ini untuk mengatasi dinamika sosial yang terjadi di tengah komunitas manusia, yang cenderung membangun tembok pemisah antara kelompoknya dengan para pengungsi. 

Tidak bisa dibenarkan hanya karena didasarkan pada ras, warna kulit, agama, atau jenis kelamin. Menurut saya, menjadi manusia yang bersolider berarti menjadi pribadi yang terbuka memperhatikan dimensi pribadi manusiawi. Kita harus merontokkan tembok ketakutan, kecurigaan, kebencian, bahkan ideologis yang ktia bangun sendiri, karena kita adalah manusia. Manusia yang mendiami bumi yang satu dan sama.

Terima kasih Daud dan Elizabeth atas sharing iman yang luar biasa di hari ini. "Tetap semangat dan sampai bertemu entah di mana. Tuhan. God bless you," kataku menjabat tangannya sebelum kami berpisah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun