Mohon tunggu...
Don Martino
Don Martino Mohon Tunggu... Penulis - Hanya seorang hamba

Seorang warga dari Keuskupan Agats Asmat, Papua. Mencoba menginspirasi orang-orang terdekat lewat doa dan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Teman dari Eritrea

16 Agustus 2019   19:15 Diperbarui: 26 Agustus 2019   21:11 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paus Fransiskus saat mengunjungi pengungsi di pelabuhan Mytelene, Lesbos, Yunani (Foto: Reuters).

Sesampainya di Eropa, saya melihat hidup di Eropa pun tidak mudah. Saya harus berjuang keras mencari sesuap nasi dan rejeki, bahkan di negeri di luar Italia. Saya bersyukur saat ini karena mendapatkan pekerjaan di kebun sayur di kota Scafa, Italia.

Pengungsi di Italia dan Eropa

Kisah Daud adalah gambaran tentang jutaan pengungsi yang membanjiri benua Eropa dekade belakangan ini. Eropa menjadi destinasi bagi para pencari suaka dan pengungsi, baik yang dilengkapi dokumen resmi maupun tidak.

Kebanyakan mereka datang untuk menyelamatkan diri dari situasi geopolitik di negaranya. "Tentu saja saya memilih ke Eropa karena berharap kehidupan yang lebih baik. Eropa aman, tetapi saya juga harus bekerja keras karena hidup tidak mudah," tutur Daud.

Sekelompok pengungsi yang diselamatkan di lautan Lampedusa (Sumber: Reuters, 16 April 2016)
Sekelompok pengungsi yang diselamatkan di lautan Lampedusa (Sumber: Reuters, 16 April 2016)
Arus migran lainnya kebanyakan berasal dari Suriah, Irak, dan Afganistan. Situasi dan kondisi sosial ekonomi serta pelanggaran hak asasi manusia juga turut mendesak orang-orang dari negara-negara lainnya seperti Eritrea, Pakistan, Maroko, Iran, dan Somalia meninggalkan negaranya. Mereka berharap memulai suatu kehidupan baru di negara Ekonomi stabil seperti Jerman, Belanda, Swedia, Austria atau Inggris.

Sepanjang tahun 2018, sebanyak 2,275 orang mati atau hilang saat menyeberangi laut Mediterranea, yang menjadi jembatan singkat namun berbahaya dari dan ke Eropa.

Sekalipun menurut Filippo Grandi, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, yang mengatakan bahwa menyelamatkan nyawa di laut bukanlah pilihan, bukan masalah politik, tetapi kewajiban utama, tetapi angka resiko atas kematian tetap saja tinggi. Pada tahun 2015, pada tanggal 27 Agustus, ditemukan sekitar 500 migran tenggelam setelah meninggalkan Zuwara, Libya. Atau tragedi di Lampedusa, Italia, yang merenggut nyawa sekitar 800 orang. Masih panjang litani duka lainnya, hanya karena keinginan mulia: mencari hidup yang lebih layak sebagai manusia.

Menurut laporan PBB, sekitar 5000 jiwa hilang saat menyeberang laut Mediterania. Tercatat pula di tahun 2017, sekitar 3100 nyawa pun melayang. Di tahun berikutnya sekitar 1600 meninggal atau hilang di lautan yang sama.

Mencari Hidup yang Lebih Baik

"Hidup di manapun tidak mudah. Saya pun harus bekerja keras dan mengirimkan sedikit pada keluarga Ibu saya. Syukurlah saya masuk ke Italia dengan dokumen resmi dan diterima dengan baik," kata Elizabeth warga Kamerun yang saya temui di Stasiun kota Sulmona.

"Saya dulu adalah seorang pegawai negari di Kamerun," kata Elizabeth, yang sedang bekerja di Sulmona selama musim panas. Situasi politik yang tidak stabil di negaranya memaksa dia dan ribuan orang lainya menyasar benua Eropa dan Amerika. Berbeda dengan Daud yang bercita-cita ingin membawa keluarganya ke Italia atau salah satu negara Eropa, Elizabeth justru ingin kembali hidup dan bekerja di negaranya jika situasi politik di Kamerun sudah aman.

Suara David, Elizabeth dan pengungsi lainnya, adalah suara dari komunitas yang terpinggirkan oleh situasi politik atau sosial ekonomi. Mereka sungguh tidak berdaya ketika berhadapan dengan suasana ini. "Kita dipanggil untuk bersolider dengan para pengungsi dengan menanggapi banyak tantangan yang dikaitkan dengan migrasi ini," demikian seruan Paus Fransiskus pada Hari Migran Migran dan Pengungsi Sedunia ke-104.

Paus Fransiskus saat mengunjungi pengungsi di pelabuhan Mytelene, Lesbos, Yunani (Foto: Reuters).
Paus Fransiskus saat mengunjungi pengungsi di pelabuhan Mytelene, Lesbos, Yunani (Foto: Reuters).
Seruan Paus ini untuk mengatasi dinamika sosial yang terjadi di tengah komunitas manusia, yang cenderung membangun tembok pemisah antara kelompoknya dengan para pengungsi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun