Mereka ini berasal dari rentang usia yang berbeda. Bahkan beberapa terlihat masih muda belia, salah satunya adalah Francesco, asal Swiss. Anak SD yang menguasai bahasa Perancis, Italia, dan Jerman ini bertugas mendampingiku sebagai misdinar atau pelayan altar saat misa pagi keesokan harinya.
Hari berikutnya dibuka dengan perayaan Ekaristi kudus tepat didepan gua penampakan Bunda Maria kepada Santa Bernadette. Saya merasakan suatu pengalaman berrahmat yang luar biasa, dimana saya dapat merayakan ekaristi di altar kudus gua ini dalam bahasa Indonesia.Â
Tampak hadir juga para peziarah bangsa lain mengikuti misa kudus ini dengan hikmat. Setelah itu, kegiatan kami dilanjutkan dengan mandi air suci yang diyakini mampu memberikan kesembuhan, baik secara fisik maupun secara mental.
Setelah makan siang, ziarah kami dilanjutkan dengan mengenangkan kisah sengsara Tuhan Yesus melalui ibadat jalan salib di sebuah bukit di Lourdes. Kami bersyukur karena diberi kesempatan oleh Tuhan karena dengan cuaca yang baik. Padahal sebelumnya kami diuji dengan hujan dan angin ketika hendak memulai prosesi ini.Â
Mungkin inilah cara Tuhan menantang kami, apakah kami setia mengikutiNya, sekalipun dihalangi sejenak oleh cuaca. Puji Tuhan, godaan cuaca yang hanya sebentar, berubah menjadi cerah, dan kami pun tetap antusias untuk menyelesaikan doa kami. Tuhan sungguh baik kan?.
Pengalaman lain yang luar biasa pada sore hari itu adalah, kami boleh mengikuti adorasi sakramen mahakudus dan pemberkatan orang sakit. Kapel tempat adorasi, Pio X, yang mampu menampung sepuluh ribu orang dan terletak di bawah ini, dipenuhi ribuan orang untuk berdoa dan memuji Tuhan dengan nyanyian. Pada malam harrinya, sekalipun hari masih terang karena musim panas, kami pun menyempatkan diri untuk berdoa dan mengikuti prosesi patung Bunda Maria.Â
Prosesi patung ini dibarengi dengan perarakan lilin yang bertujuan untuk menghalau kegelapan dosa. Malam itu, kisah Herlina, banyak peziarah dari berbagai negara berbaur menjadi satu. Kasih Tuhan sungguh terasa saat itu.Â
Mereka mendaraskan doa Salam Maria dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Kami juga berkunjung ke situs-situs penampakan Bunda Maria kepada St. Bernadette Soubirous, seperti rumah masa kecil St. Bernadette dan penjara, tempat keluarga tinggal saat kesulitan ekonomi terjadi.
Kendati hanya dua hari di Lourdes, kami merasakan kedamaian yang berlimpah. Para peziarah datang dari berbagai negara, tetapi seakan disatukan oleh Tuhan. Meski berbicara dengan bahasa isyarat tetapi seakan-akan kita mengerti. "Saya senang karena dapat disapa oleh Tuhan", kata salah seorang peserta.