Dua putera mahkota beradu argumentasi tentang siapa yang kiranya layak menduduki tahta kerajaan jika Sri Baginda wafat nanti. Debat yang dibarengi dengan kekerasan bersenjata ini, berujung pada tertikamnya sang ayah yang kebetulan sedang berusaha memisahkan kedua putera-nya, dengan sebilah keris. Sesaat sebelum meninggal dunia beliau mengumpulkan anak-anaknya dan berbicara dengan sekuat tenaga, memanfaatkan sisa udara yang memenuhi rongga paru-parunya. Dengan terbata-bata dia berkata:
'Anak-anakku...kalian tahu, Ayahmu ini sudah tidak sanggup lagi.
Maafkan ayah karena tidak meninggalkan harta bagi kalian di dalam surat wasiat.
Semua harta telah Ayah bagikan kepada masing-masing keluarga di wilayah kerajaan ini.
Kalian bisa mendapatkan harta itu kembali dari rakyat, jika kalian sanggup menciptakan kedamaian.
Hanya dengan hal ini kalian dapat selamat dan menaklukkan dunia'.
Anak-anaknya pun menangis karena kehilangan sosok Ayah. Mereka juga merasa sedih karena mendapatkan sebuah wasiat dan warisan yang berharga, tetapi terasa sangat berat, yaitu menciptakan kedamaian diantara mereka. Sebuah wasiat yang mudah diucapkan dan dilaksanakan, jika mereka dapat melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Tapi apa itu kedamaian?
Kedamaian adalah keharmonisan atau keteraturan dan ketiadaan ketegangan dan konflik. Namun kenyataannya, dalam sejarah dunia hampir selalu terjadi kisah perang yang memilukan dan gangguan kekerasan. Kedamaian duniawi ini, bagaimanapun, secara konkret bukanlah sungguh-sungguh perdamaian tetapi sebuah pasifisme.
Dalam konteks pasifisme ini seseorang akan berusaha semaksimal mungkin untuk merasa baik, dengan memberikan dirinya atau kelompoknya setiap kenyamanan. Kehadiran orang atau kelompok lain tidaklah terlalu penting.
Hal ini jelas bertentangan dengan ide kaum Pasifis, dimana mereka sungguh-sungguh menentang kekerasan, terutama peperangan, tanpa menghiraukan alasannya. Seorang pasifis akan menolak mengangkat senjata dengan alasan hati nurani atau keyakinan agamawi.
Dengan memahami hal ini, kita akan dibantu untuk memperjuangkan sebuah ide tentang perdamaian berdasarkan kebenaran yang bersumber pada naluri logis kemanusiaan.
Realitas dunia dewasa ini menggambarkan suatu ketidakseimbangan serius yang muncul di tengah masyarakat. Ada orang-orang yang dengan cara yang unik memperkaya dirinya. Tidak sedikit juga yang demi posisi (yang dibelakangnya tersembunyi niat mengeruk harta) memilih untuk mencintai kedamaian palsu.
Ada juga yang, karena keserakahan para pemimpin atau calon pemimpin, mengakibatkan sakit hati bagi orang lain, tidak dapat hidup dalam kedamaian, dan tidak sedikit yang mati kelaparan.
Pesan Paus Fransiskus tentang Politik dan Perdamaian
Mengawali tahun 2019 ini, Bapa Suci Paus Fransiskus pada perayaan hari perdamaian dunia ke-52, pada tanggal 1 Januari 2019, juga menitipkan pesan perdamaian yang berhubungan dengan politik.
Dikatakan bahwa politik yang baik adalah untuk pelayanan perdamaian. Sebagaimana Yesus mengutus murid-muridnya untuk pergi bermisi, Yesus memberi pesan kepada mereka: "Jikalau kamu memasuki sebuah rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini. Dan jikalau di situ ada orang yang layak menerima damai sejahtera, maka salammu itu akan tinggal atasnya. Tetapi jika tidak, salammu itu kembali kepadamu".
Membawa kedamaian tentu tidak harus menjadi murid murid Kristus, karena semua agama mengajarkan hal yang sama. Kedamaian itu ditawarkan kepada semua pria dan wanita dimanapun di belahan dunia, yang merindukan perdamaian di tengah tragedi dan kekerasan yang menandai sejarah manusia.
Lebih lanjut dikatakan bahwa "Rumah" yang dibicarakan Yesus adalah setiap keluarga, komunitas, negara, dan benua, dalam semua keanekaragaman dan sejarah. Ini adalah yang pertama dan terutama bagi setiap orang, tanpa perbedaan atau diskriminasi. Tetapi ini juga berarti "rumah bersama" kita: dunia tempat Tuhan menempatkan kita dan kita dipanggil untuk merawat dan mengolah.
Kedamaian adalah seperti harapan setangkai bunga halus yang berjuang untuk mekar di tanah berbatu kekerasan, kata penyair Charles Pguy.
Kita tahu bahwa kehausan akan kekuasaan dengan harga berapa pun mengarah pada pelanggaran dan ketidakadilan. Politik adalah bentuk pengabdian kepada masyarakat secara keseluruhan, itu bisa menjadi sarana penindasan, marginalisasi dan bahkan kehancuran. Ajaran Yesus memberi tahu kita bahwa, "jika ada orang yang menjadi yang pertama, ia harus menjadi yang terakhir dari semua pelayan".
Dengan menghormati agama masing-masing, mampukah kita berjuang untuk menjadi ‘yang terakhir’?.
Tak dapat kita sangkal bahwa politik bersama dengan kebajikannya, juga memiliki andil yang buruk jika berada di tangan orang yang tidak mampu atau berada di tangan lembaga atau sistem yang lemah.
Jelas, bahwa dampak dari hal ini adalah berkurangnya kredibilitas kehidupan politik secara keseluruhan, termasuk otoritas, keputusan, dan tindak tanduk dari mereka yang terlibat di dalamnya. Keburukan-keburukan ini, yang melemahkan cita-cita demokrasi otentik, membawa aib bagi kehidupan publik dan mengancam keharmonisan sosial.
Muara dari semua hal ini adalah korupsi dalam berbagai bentuknya: penyalahgunaan sumber daya publik, eksploitasi individu, hak-hak hukum yang dikebiri, pembenaran kekuasaan dengan kekuatan atau penolakan permohonan untuk melepaskan kekuasaan. Kita juga bisa menambahkan xenophobia, rasisme, kurangnya kepedulian terhadap lingkungan alam, penjarahan sumber daya alam demi keuntungan cepat, dan pengungsian.
Pasca adu politik Indonesia: Apa yang diwariskan padamu?
Kembali kepada cerita di atas. Seandainya kita adalah anak Sang Raja, apakah yang bisa kita lakukan sebagai anak pasca mendapatkan warisan ini?. Sebagai orang muda yang berada di luar arena politik, saya melihat ada beberapa hal yang dapat kita pelajari bersama berangkat dari situasi politik yang terjadi sambil berkiblat pada pesan Paus Fransiskus diatas.
Jika sebuah kekuatan politik tidak ditunggangi dengan baik, yaitu hanya demi segelintir orang yang memiliki hak istimewa dan berduit, maka masa depan dapat dengan mudah dikompromikan. Komunitas milenial pun dapat tergoda untuk kehilangan kepercayaan, karena terdegradasi ke pinggiran masyarakat tanpa kemungkinan membantu membangun masa depan.
Akan tetapi ketika politik benar-benar memupuk bakat anak muda dan aspirasi mereka, kedamaian tumbuh dalam pandangan dan wajah mereka.
"Aku percaya padamu dan denganmu aku percaya", adalah sebuah ekspresi yang hendak menegaskan bahwa kita semua bisa bekerja sama untuk kebaikan bersama, khususnya demi menciptakan arena berpolitik yang damai. Politik adalah layanan perdamaian jika menemukan ekspresi dalam pengakuan atas potensi dan kemampuan masing-masing individu. Bersama dengan hati yang besar dan kecerdasan kita, tangan kita juga bisa menjadi sarana dialog ", demikian kata Paus Fransiskus.

Idealnya setiap partai politik atau setiap orang dapat menyumbangkan bahan bangunan untuk membantu membangun 'rumah bersama', sebuah rumah yang hangat bagi seluruh penduduk Indonesia.
Sudah saatnya kita meniupkan aura kehidupan politik yang otentik, yang didasarkan pada hukum dan dalam hubungan yang jujur dan adil antara individu, pengalaman, dan pembaruan. Kami juga percaya bahwa di dalam rumah perdamaian ini, setiap wanita dan pria yang lahir dari generasi berikutnya akan lebih kuat dalam mengembangkan politik yang relasiolnal, intelektual, berakar pada budaya, dan spiritual yang baru.
Kepercayaan semacam itu akan tidak mudah dicapai, karena telah diwariskan oleh iklim ketidakpercayaan, rasa rendah hati, sulitnya mengakui keunggulan atau kelebihan orang lain, gengsi untuk bekerja sama, atau kecemasan berlebihan jika diangkat menjadi seorang pemimpin. Saat ini, lebih dari sebelumnya, masyarakat Indonesia membutuhkan "pengrajin perdamaian" yang bisa menjadi utusan dan saksi otentik Sang Pencipta, yang akan menjadi kebaikan dan kebahagiaan manusia.
Kesimpulan
Perdamaian adalah sebuah proyek raksasa. Perdamaian ini adalah buah dari proyek politik yang dilandaskan pada tanggungjawab bersama masing-masing orang.
Hal ini juga menjadi tantangan, yang membutuhkan pertobatan hati dan jiwa secara pribadi dan komunal. Mulailah berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan orang lain, dan berdamai dengan semua ciptaan.
Semua ini wajib kita lakukan agar dapat tercipta warga Indonesia baru, yang sehat akal, yang mendiami nusantara.
Berhentilah tergoda dengan desisan ideologi keliru, yang berusaha menunggani politik bangsa kita. Kembalilah, dan berjuanglah untuk warisan Sang Baginda yaitu kedamaian, agar kelak kita pun berbahagia, entah kini atau nanti.
Marilah kita belajar dari Martin Luther King, Jr, bahwa “Membalas kekerasan dengan kekerasan akan melipatgandakan kekerasan, menambahkan kekelaman yang lebih mendalam kepada malam yang sudah tidak berbintang. Kekelaman tidak dapat menghalau kekelaman: hanya terang yang dapat melakukannya. Kebencian tidak dapat menghalau kebencian: hanya cinta kasih yang dapat melakukannya. Kebencian melipatgandakan kebencian, kekerasan melipatgandakan kekerasan, dan ketegaran melipatgandakan ketegaran dalam lingkaran kehancuran yang kian mendalam ... Reaksi berantai dari kuasa jahat - kebencian melahirkan kebencian, peperangan menghasilkan lebih banyak lagi peperangan - harus dipatahkan, atau kita akan terjerumus ke dalam liang pemusnahan yang gelap.
Kata Paus Paulus VI, untuk memiliki kedamaian sejati, kita harus memberinya jiwa. Jiwa damai adalah cinta. Berdamailah untuk Indonesia yang baru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI