Mohon tunggu...
Marthinus Selitubun
Marthinus Selitubun Mohon Tunggu... Penulis - Hanya seorang hamba

Seorang warga dari Keuskupan Agats Asmat, Papua. Mencoba menginspirasi orang-orang terdekat lewat doa dan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Implementasi Sebuah Doa

5 Mei 2019   02:44 Diperbarui: 5 Mei 2019   02:50 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yesus yang meminta (https://pastortimothy.org )

  

Roma, 27 Februari 2018. Seorang tua renta berdiri di didepan gereja katedral. Tubuhnya ditopang oleh sebatang ranting tua, tangan kanannya memegang sebuah kaleng bekas yang terlihat kusam. Arah tatapan matanya terus bergerak penuh harap pada umat yang menaiki tangga gereja. Sepintas, semua orang sibuk bergegas masuk ke dalam gereja, mengingat kencangnya angin yang bertiup disertai  salju.  

Panel elektrik pada toko elektronik di depan gereja menegaskan dinginnya saat itu, minus delapan derajat Celsius. Para pria dan wanita, juga anak-anak berlari masuk gerbang gereja tanpa sedikitpun menoleh kearah si pengemis tua yang sedang gemetaran di disamping pintu gereja. 

Hari ini merupakan hujan salju terberat mendera Roma dalam enam tahun terakhir. Musim dingin yang menusuk sum-sum tulang ini mengakibatkan semua aktifitas di kantor dan sekolah diliburkan.  

Meski demikian, fenomena alam ini tidak menghalangi para pencinta salju untuk menikmati piazza atau alun-alun yang kini berubah karena berbalut baju serbaputih. Gedung-gedung tua seperti Colosseum dan gereja-gereja bak negeri dongeng. Konon, hal ini dikarenakan sistem cuaca di dataran Siberia yang dinamai "Beast from the East" atau "Binatang dari Timur". Eropa setengah dilumpuhkan oleh suhu di bawah nol derajat celcius. 

Pengemis itu kedinginan karena bajunya yang compang camping tidak mampu menghalau kencangnya angin yang bertiup. Tangannya erat memegang kaleng kosong yang belum terisi sama sekali. Bola matanya nanar, terus menatap penuh harap pada sejumput recehan demi mengganjal isi perut. Seorang anak kecil diseret oleh ibunya mendekati pintu gereja, karena badai salju makin kencang. 

Ketika melewati si pengemis, anak kecil ini terpaku dan menatap karena tidak pernah melihat seorang pengemis beraksi di musim dingin seperti ini.  Ada rasa iba di hatinya, tapi ibunya cepat menarik lengannya untuk masuk gereja untuk merayakan misa kudus atau ekaristi. Akhirnya tidak ada sepeserpun yang didapat. Si pengemis tetap diam dalam kesedihan. 

Ketika lonceng ketiga dibunyikan sebagai tanda perayaan ekaristi segera dimulai, semua orang berbalik ke belakang, untuk menyambut arak-arakkan para imam dan para misdinar atau pelayan altar. Nyanyian pembuka pun dimulai.  Memasuki bait kedua dari lagu, keluarlah rombongan pembawa lilin, dan sang imam. Semua orang di jejeran bangku belakang terdiam sejenak. 

Ada yang membelalakan mata, ada yang mulutnya menganga, dan tidak sedikit yang tertunduk. Mereka menatap tak percaya pada sosok yang berdiri di belakang para misdinar:  Seorang tua bertongkat, berpakaian compang camping, tidak bersyal, dan bersendal jepit. Orang itu hanya mengenakan selembar stola putih melingkari bahunya, berjalan maju dengan pandangannya tenang, dan setipis senyuman kedamaian menghiasi langkahnya. 

Gedung gereja yang dipenuhi nyanyian kudus ini, perlahan-lahan kehilangan gemanya.  Satu persatu memutuskan untuk berdiam. Terlihat orang tua-tua berusaha menyelamatkan wajahnya dibalik kepala orang lain. Semua orang mengenal sosok ini sebagai pastor kepala dari biara tua dibelakang gereja. Dia adalah orang yang sangat sederhana. 

Tidak terasa banyak dari umat berpegangan tangan menahan sesak di dada karena menahan rasa malu, sedih, dan rasa bersalah. Pengemis yang kita acuhkan adalah pemimpin kita. Semua orang tersentuh hatinya karena sang pengemis ini pernah mengajarkan cinta kasih, saling menghargai, bahkan tolong menolong  saat mereka masih kecil, bahkan masih terlibat dalam pembinaan anak-anak mereka di Gereja. 

Setelah doa dan mendengarkan bacaan-bacaan, tibalah saat homili atau renungan. Tidak sedikit orang yang tertunduk bahkan menangis.  Dengan senyumnya yang bijaksana sang pengemis berkata, "Saudara-saudari, hari ini tidak ada homili. Kalian sudah mengalami pelajaran berharga dan berat hari ini. Tuhan memberkatimu selalu".

Saudaraku terkasih, kisah diatas hendak menggambarkan kepada kita bagaimana cinta kasih itu seharusnya  diwujudkan dalam hidup bersama. Cinta kasih itu terkadang menjadi bahan diskusi atau wacana semata, ibarat gunung yang kehilangan daya erupsinya. Ibarat seekor burung yang seharusnya terbang dengan gembira tetapi patah kedua sayapnya. 

Cinta Kasih dan perhatian yang kita berikan kadangkala ditentukan oleh faktor kedekatan (dia sahabatku) atau kareana status (wah, posisinya bagus di kantor...mari kita dekati...!). Semakin dekat atau semakin tinggi status  seseorang, maka semakin banyak semut mengerubutinya. Kasih yang seharusnya murni tanpa pamrih digeser oleh loyalitas semu. Umat di gereja tadi memandang, pengemis adalah pengemis, seorang asing. Seseorang yang mungkin memanfaatkan kemelaratannya sebagai nilai plus dalam mengais rejeki. Memang ada benarnya juga.  Tapi, ketika pengemis ini menggunankan stola dan memasuki gereja, maka ceritanya menjadi lain. 

Dalam hidup sehari-hari pun, kadang kita memperlakukan diri kita seperti "umat yang bergegas masuk ke gereja". Kita menutup mata kepekaan untuk melihat, menilai, dan memberi bobot pada apa yang ada disekitar kita. Hampir semua hal kita pandang sebagai sesuatu yang normal, atau lebih miris menganggap tidak ada apa-apanya, nothing!. 

Kita menempatkan orang lain sekitar kita sebagai yang bukan prioritas. Kita hanya terbuka bagi orang yang kita kenal. Allah mengajak kita membenahi diri, terbuka bagi sesama dan siapa saja dalam kehidupan yang singkat ini. Menghargai, menghormati dan memberi ruang bagi orang lain untuk eksis adalah wujud kepedulian kita membangun dunia dalam lingkaran persaudaraan.

 Jangan membiarkan air mata penyesalan mengalir, hanya karena Allah datang mengambil rupa seorang perempuan tua yang meminta air di pintu rumahmu, lalu engkau mengusir-Nya. Maka lewatlah kesempatan emas menolong Dia, hanya karena Dia sangat dekil, penuh debu, dan bau. 

Jangan membiarkan air mata penyesalan mengalir, hanya karena Allah datang dalam wujud seorang muslim, yang mengetuk pintu rumah seorang nasrani karena tidak mendapat penginapan, lalu engkau mengusir-Nya. Maka lewatlah kesempatan emas menolong Dia, hanya karena Dia bersorban atau berjilbab. 

Jangan membiarkan air mata penyesalan mengalir, hanya karena Allah datang dalam wujud seorang biarawati tua yang hendak memberi jabatan tangan, lalu engkau menolak-Nya secara halus. Maka lewatlah kesempatan emas menjamah Dia, hanya karena Dia berbeda keyakinan dengan anda. 

 

Teman-teman terkasih, Tuhan menciptakan kita dan Dia tinggal di dalam kita, saya dan anda. Inilah salah satu cara yang mungkin untuk menyentuh-Nya secara nyata. Nenekku yang tidak pernah bersekolah pernah berkata, 'ketika kita saling memegang tangan, berarti kita memegang tangan Allah'. Marilah, kita tidak harus menjadi pengemis tua untuk menggugah bangkitnya rasa cinta kasih sesama. Have a blessed day!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun