Â
Roma, 27 Februari 2018. Seorang tua renta berdiri di didepan gereja katedral. Tubuhnya ditopang oleh sebatang ranting tua, tangan kanannya memegang sebuah kaleng bekas yang terlihat kusam. Arah tatapan matanya terus bergerak penuh harap pada umat yang menaiki tangga gereja. Sepintas, semua orang sibuk bergegas masuk ke dalam gereja, mengingat kencangnya angin yang bertiup disertai  salju. Â
Panel elektrik pada toko elektronik di depan gereja menegaskan dinginnya saat itu, minus delapan derajat Celsius. Para pria dan wanita, juga anak-anak berlari masuk gerbang gereja tanpa sedikitpun menoleh kearah si pengemis tua yang sedang gemetaran di disamping pintu gereja.Â
Hari ini merupakan hujan salju terberat mendera Roma dalam enam tahun terakhir. Musim dingin yang menusuk sum-sum tulang ini mengakibatkan semua aktifitas di kantor dan sekolah diliburkan. Â
Meski demikian, fenomena alam ini tidak menghalangi para pencinta salju untuk menikmati piazza atau alun-alun yang kini berubah karena berbalut baju serbaputih. Gedung-gedung tua seperti Colosseum dan gereja-gereja bak negeri dongeng. Konon, hal ini dikarenakan sistem cuaca di dataran Siberia yang dinamai "Beast from the East" atau "Binatang dari Timur". Eropa setengah dilumpuhkan oleh suhu di bawah nol derajat celcius.Â
Pengemis itu kedinginan karena bajunya yang compang camping tidak mampu menghalau kencangnya angin yang bertiup. Tangannya erat memegang kaleng kosong yang belum terisi sama sekali. Bola matanya nanar, terus menatap penuh harap pada sejumput recehan demi mengganjal isi perut. Seorang anak kecil diseret oleh ibunya mendekati pintu gereja, karena badai salju makin kencang.Â
Ketika melewati si pengemis, anak kecil ini terpaku dan menatap karena tidak pernah melihat seorang pengemis beraksi di musim dingin seperti ini. Â Ada rasa iba di hatinya, tapi ibunya cepat menarik lengannya untuk masuk gereja untuk merayakan misa kudus atau ekaristi. Akhirnya tidak ada sepeserpun yang didapat. Si pengemis tetap diam dalam kesedihan.Â
Ketika lonceng ketiga dibunyikan sebagai tanda perayaan ekaristi segera dimulai, semua orang berbalik ke belakang, untuk menyambut arak-arakkan para imam dan para misdinar atau pelayan altar. Nyanyian pembuka pun dimulai. Â Memasuki bait kedua dari lagu, keluarlah rombongan pembawa lilin, dan sang imam. Semua orang di jejeran bangku belakang terdiam sejenak.Â
Ada yang membelalakan mata, ada yang mulutnya menganga, dan tidak sedikit yang tertunduk. Mereka menatap tak percaya pada sosok yang berdiri di belakang para misdinar: Â Seorang tua bertongkat, berpakaian compang camping, tidak bersyal, dan bersendal jepit. Orang itu hanya mengenakan selembar stola putih melingkari bahunya, berjalan maju dengan pandangannya tenang, dan setipis senyuman kedamaian menghiasi langkahnya.Â
Gedung gereja yang dipenuhi nyanyian kudus ini, perlahan-lahan kehilangan gemanya. Â Satu persatu memutuskan untuk berdiam. Terlihat orang tua-tua berusaha menyelamatkan wajahnya dibalik kepala orang lain. Semua orang mengenal sosok ini sebagai pastor kepala dari biara tua dibelakang gereja. Dia adalah orang yang sangat sederhana.Â