Mohon tunggu...
Martino
Martino Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Freelance Writer

Gemar Menulis, Penimba Ilmu, Pelaku Proses, Penikmat Hasil

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Mandiri Jogja Marathon, Memacu Raga Memadu Rasa

21 Mei 2019   23:56 Diperbarui: 22 Mei 2019   00:09 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Romantisme kota-kota di Indonesia kerapkali digambarkan lewat ungkapan adagium. Bandung misalnya, disebut diciptakan kala Tuhan sedang tersenyum. Meminjam sudut pandang itu untuk kota lainnya, maka bisa jadi Jogja diciptakan kala Tuhan sedang meniupkan rasa rindu. Tentu tak berlebihan menyebutnya demikian. Sebab Jogja selalu menjadi kota yang mahir menciptakan kenangan. Adalah keindahan bentang alam, keunikan konfigurasi kota-desa yang bersisian, kearifan masyarakat dan keluhuran budaya serta eksotisme peninggalan peradaban lampau yang memanifestasikan rindu itu. Maka siapa yang singgah sekali, niscaya menyimpan kenang yang sewaktu-waktu memanggil kembali.

Jogja memang istimewa, demikian ia disebut. Coba tengok kondisi geografisnya, dibagian selatan terbentang Laut Selatan sementara di Utara menjulang Gunung Merapi. Keduanya menjadi simpul garis imajiner filosofis Kota Jogja yang menjadi kesatuan konsep tata ruang dengan Keraton Yogyakarta sebagai pusatnya. Objek lain yang berada pada dalam garis ini adalah Tugu Golong Gilig dan Panggung Krapyak yang mengapit Keraton. 

Uniknya, beberapa objek ini dihubungkan secara nyata berupa jalan jika ditarik garis lurus. Keraton Yogyakarta pun diapit enam sungai secara simetris yaitu sungai Code, Gajah Wong, Opak Winongo, Bedhog dan sungai Progo. Semua tersebut objek dan konfigurasi mengandung makna dan filosofis tertentu sekaligus tumbuh menjadi objek wisata yang menarik.

Cara paling populer untuk menikmati keindahan Jogja adalah dengan berwisata. Baik secara khusus dalam balutan liburan ataupun disela-sela waktu ketika sedang berkunjung ke kota ini untuk kegiatan tertentu. 

Jogja memang menawarkan objek wisata yang tak ada habisnya. Wisata alam, budaya, sejarah, kuliner dan belanja adalah pilihan yang ditawarkan. Itu sebabnya Jogja tak pernah sepi dari kunjungan, apalagi kala akhir pekan dan musim liburan. Begitu banyaknya objek menarik yang ditawarkan, keindahan Jogja tak selesai hanya dalam satu kali kunjungan. Bahkan seringkali penikmatnya harus melakukan spesialisasi kunjungan agar dapat mencicipi ragam keindahan Jogja dalam satu waktu.

Objek wisata di Yogyakarta dapat digolongkan menjadi dua. Pertama, objek yang muncul secara alamiah karena konfigurasi alam, warisan sejarah dan arkeologi. Kedua, objek yang dibangun dan dikembangkan dengan nilai-nilai kreatifitas, seni, budaya dan citarasa yang ada pada masyarakat. Kedua jenis objek wisata tersebut tumbuh sama  banyaknya, bahkan terus menerus diperbarui. 

Beberapa tumbuh menjadi menjadi ikon wisata Jogja, diantaranya Wisata Merapi, Monumen Jogja Kembali, Keraton Jogja, Malioboro, Benteng Vredeburg, Taman Sari, Gembira Loka, Pantai Parangtritis, Hutan Pinus Mangunan, Candi Prambanan, dan masih banyak lagi.

Banyak pilihan cara menikmati berbagai keindahan Jogja. Dari sederet pilihan tersebut, hadir sebuah pendekatan baru dalam memaknai wisata di Jogja lebih dari sebelumnya. Bertajuk Mandiri Jogja Marathon , sebuah gelaran kompetisi lari marathon yang dikemas unik dan berbeda dengan mengusung konsep sport tourism dalam harmoni alam dan budaya. Mandiri Jogja Marathon memadupadankan kegiatan berolahraga sambil berwisata dalam satu kesempatan lewat pemilihan rute yang melalui pedesaaan dan destinasi wisata di wilayah Prambanan, Selaman. Konsep ini diterapkan tanpa sedikitpun menurunkan kadar kualitas kompetisi olahraganya.

Mandiri Jogja Marathon tahun 2019 ini melombakan empat nomor, yaitu full marathon, half marathon, 10K dan 5K. Tercatat sekitar 7500 pelari turut serta dalam ajang ini. Pada kategori full marathon, peserta akan menempuh jarak sejauh 42 kilometer, yang melewati 13 desa serta tiga lokasi wisata ikonik yaitu Candi Prambanan, Candi Plaosan, serta Monumen Taruna. 

Ajang ini menjadikan rute lari, iklim kompetisi, keterlibatan masyarakat serta berbagai kegiatan pasca lomba yang dihadirkan menjadi faktor pembeda dan daya pikat. Ibarat pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Mandiri Jogja Marathon menghadirkan timbal balik yang memikat sekaligus menguntungkan tidak hanya  pesertanya, tetapi juga masyarakat sekitar serta lokasi tempat penyelenggaraan.

Peserta Mandiri Jogja Marathon akan berpacu cepat sambil menikmati pemandangan alam, keasrian pedesaaan, kekayaan peninggalan sejarah, serta kearifan kultur dan kehangatan masyarakat Yogyakarta. 

Peserta begitu dimanjakan sejak awal start yang mengambil tempat pelataran Roro Jonggrang Candi Prambanan. Pada kilometer ke 13 hingga 15, peserta akan mulai menatap indahnya julangan pemandangan Gunung Merapi yang menjadi salah satu sumbu imajiner Jogja. Dari sudut ini, para pelari akan melihat sisi utara salah satu gunung paling aktif di Indonesia yang tampak begitu gagah.

Pelari akan terus melaju menyusuri tiap kilometer yang hangat akan keasrian dan kehangatan alam desa yang terus menyemangati sekaligus memberikan energi positif untuk berpacu dengan waktu. Tiba di kilometer 26, pelari akan disambut dengan Monumen Taruna Perjuangan atau yang populer disebut Monumen Pelataran. Pada titik ini, para pelari diajak untuk melintas serta mengenang sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Monumen Plataran terletak di Dusun Plataran, Desa Selomartani memiliki luas 7500 persegi dan pada bagian inti monumen memiliki tinggi 10 meter ini. Monumen ini didirikan untuk mengenang para taruna Akademi Militer yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda tahun 1949 pasca agresi militer kedua.

Sepanjang rute, masyarakat menyambut hangat dan memberikan dukungan pada setiap pelari yang melintas. Senyum ramah dan keriuhan yang tersaji menjadi pembangkit semangat bagi tiap pelari yang mulai dihinggapi rasa lelah. Namun pada kilometer 37 hingga 39 sekali lagi alam jogja menunjukan keragaman keindahannya. Peserta akan menjumpai Candi Plaosan dan Plaosan Kidul yakni situs purbakala yang dibangun sekitar abad ke-9 Masehi.  Candi ini merupakan peninggalan peradaban budha yang terletak di Dusun Plaosan, Desa Bugisan. Selain keindahan arsitektur dan reliefnya, komplek candi ini juga terkenal akan sunset yang begitu menawan di sore hari.

Mendekati garis finish, para peserta masih akan menikmati satu sajian peninggalan situs arkeologi lainnya yakni Candi Sewu dan Candi Bubrah. Tepatnya berada pada kilometer 40 sepanjang rute perlombaan. Kedua candi tersebut terletak di Dusun Bener, Desa Bugisan. Lanskap keduanya masih berada pada gugusan yang sama dengan Candi Prambanan yang menjadi tempat start dan finish ajang Mandiri Jogja Marathon.  Nama Candi Sewu berarti seribu dalam bahasa Jawa, menunjukkan candi tersebut tergabung dalam gugusan Candi Sewu tersebut jumlahnya cukup besar, walaupun sebenarnya tidak mencapai 1000 buah. Adapun Candi Bubrah dinamakan demikian karena keadaan candi yang rusak ketika ditemukan. Kedua candi ini diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Hamparan candi-candi ini begitu memikat mata untuk sedikit melupakan lelah yang menggelayut.

Tiba di garis finish, rasa lelah yang semakin terasa oleh para peserta dengan segera dilipur oleh berbagai sajian yang telah disiapkan di area Candi Prambanan. Kesenian lokal dan berbagai kuliner tradisional. Sajian seperti jajan pasar, kuliner khas keraton, kuliner favorit seperti Gudeg, Bakmi Djowo, Sate Klatak, Ayam Goreng, turut dihadirkan sebagai bagian upaya melestarikan kuliner khas Jogja dan menggerakan ekonomi masyarakat. Inilah yang menjadikan ajang bertema sport tourism ini semakin terasa istimewa karena dalam satu waktu, begitu banyak hal yang dapat dinikmati oleh para pesertanya. Mulai dari bentang alam, kesenian lokal, peninggalan sejarah, hingga kuliner tradisional.

Hal yang juga tidak kalah penting selain berbagai keuntungan dan dampak positif yang didapatkan oleh para pesertanya, ajang Mandiri Jogja Marathon menjadi bentuk nyata kolaborasi nyata lewat pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan sebuah ajang yang menarik pengunjung untuk hadir menikmati Jogja. Antusiasme penduduk 14 Desa terasa sangat positif dalam bentuk partisipasi menyiapkan wilayahnya untuk menjadi destinasi serta menampilkan berbagai kesenian, antraksi dan kuliner untuk menyukseskan perhelatan ini.

Dari sini kita dapat menarik sebuah pesan penting, bahwa sesungguhnya sebaik-baiknya aktifitas wisata ataupun perhelatan ditengah masyarakat, tidak lain adalah kegiatan yang memberikan kemanfaatan seluas-luasnya dan seadil-adilnya bagi alam dan manusia yang menghuninya. Kegiatan yang tidak hanya memacu raga, tetapi juga membangun dan mengharmonikan rasa seluruh pelaku yang terlibat didalamnya. Hingga patutlah dikemudian hari konsep penyelenggaraan Mandiri Jogja Marathon dikembangkan dan direplikasi secara rutin setiap tahun dengan menggali tempat-tempat eksotis lainnya. Tidak hanya di Jogja, mungkin juga daerah lainnya di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun