Alat Elektronik Abadikan Kronik Perjalanan
Nobody is perfect atau dengan Bahasa Indonesia berarti, tidak ada manusia yang sempurna. Kalimat ini tentu tidak asing ditelinga pun bagi diriku sendiri. Masih teringat jelas. Adalah orang tua wabil ibu yang mengatakan kalimat itu pertama kali kala aku masih duduk di sekolah dasar di mana beliau melengkapinya dengan memperdengarkan padaku tentang wejangan atawa nasehat terkait tentangnya; kesempurnaan hanya milik Tuhan dan semua manusia pasti memiliki kekurangan.
Diksi atau kata kekurangan inilah yang aku ingat nan coba terus aku 'ingat.' Nah terkait kata ingat, menurutku, ingatan manusia merupakan bagian dari kekurangan yang memiliki potensi besar dimiliki seseorang-siapa pun kita, tentu termasuk saya.
Maka bagiku, tak heran rasanya Pramoedya Ananta Toer mengatakan yang seolah mengingatkan kita untuk menulis. Menurutnya, menulis adalah bekerja untuk keabadian; karena ketika kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin akan abadi sampai jauh, jauh di kemudian hari.
Seiring berkembangnya teknologi khususnya alat-alat elektronik, menurutku (mohon izin ya Alm Pramoedya-sungkem), jika Pramoedya masih hidup, tentu ia tak sekadar mengingatkan kita untuk menulis. Manfaatkan beragam alat elektronik untuk membuat karya. Ya menurutku meski sekadar untuk diri sendiri atau orang-orang yang kita kenal. Syukur-syukur bisa bermanfaat nan menginspirasi orang lain.
Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, ingat antara lain didefinisikan sebagai: 1. berada dalam pikiran; tidak lupa, 2.timbul kembali dalam pikiran, 3.sadar; siumam, 4. menaruh perhatian; memikirkan akan. Sementara di sisi lain, kronik adalah catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Jadi menurutku, bagaimana mungkin kita memiliki kronik jika kita tidak ingat?
Berada disuatu daerah tertentu yang amat ingin didatangi, baik bersama dengan seseorang tertentu maupun tidak. Rasanya tentu tidak ada orang ingin melupakan kenangan yang aku mengartikan kronik, ya kronik indah tersebut. Bahkan jika dalam foto maupun video yang kita buat, hanya berisi wajah kita, bukankah gambar-gambar dalam perjalanan itu akan dengan sendirinya mengantar kita pada tempat serta orang yang mengabadikan moment kita tersebut?
Dalam setiap perjalanan keluar kota terutama yang memiliki destinasi wisata, bahkan tak kala kepergian itulah adalah tugas kantor, tetap saja menurutku harus dinikmati dan tentu diabadikan. Bisa datang ke daerah yang ingin kita datangi meski untuk bekerja, bukankah berarti kita mendapatkan blessing in disguise? Terlebih jika perjalanan itu merupakan bagian dari yang direncanakan bukankah sayang jika tidak diabadikan?
Pertanyaan demi pertanyaan di atas, sejatinya adalah untuk diri saya sendiri. Ya hingga kemudian saya memiliki pembenaran baik foto ataupun membuat video dengan sebatas kemampuan yang saya bisa adalah bagian dari rasa bersyukur saya; meski lebih tepatnya agar saya tidak pernah lupa akan sebuah perjalan karena setiap perjalanan mengunjungi daerah baru dan terlebih jika daerah itu termasuk yang ingin saya datangi adalah kenangan sekaligus bagian anugerah indah dari Semesta.
Bagian dari perjalanan yang memang teringat dalam ingatan tapi akan semakin jelas ingatan itu ketika melihat foto-foto maupun video perjalanan tersebut kembali, adalah perjalanan ke Aceh. Bersyukur, setelah sekian tahun hanya bisa berharap, pada tahun ini (2016) Semesta langsung memberi saya dua kali kesempatan datang ke Aceh.
Pertama, travelling singkat bahkan sesingkat-singkatnya ke Aceh pada awal Agustus; Situs Tsunami Aceh, Pantai Lampuuk, dan Puncak Geurute, destinasi wisata Aceh yang untuk pertama kalinya bisa saya datangi. Kemudia kedua, mengunjungi kembali sejumlah destinasi wisata di atas ditambah Pulau Weh bahkan Pulau Breueh, kesempatan tersebut diberikan Semesta kepada saya pada pada 24 hingga 29 Oktober.
Maka jangan ditanya berapa banyak moment yang saya abadikan baik dalam bentuk foto dan dilengkapi dengan video. Dua kesempatan dengan 'misi' berbeda tentu beda juga peralatan bak akan berperang yang saya bawa.
Pada perjalanan pertama ke Aceh, bersama rekan dari kantor kami membawa kamera Nikon dan Canon. Sementara pada perjalanan kedua, saya berbekal Fuji Film, Go Pro, Canon, dan Fuji Polaroid. Beragam merek kamera ini juga disediakan Electronic City bahkan jika kamu memiliki keterbatasan waktu untuk datang ke salah satu dari 20 store and outlet-nya yang ada di Jakarta, kamu cukup membuka laman www.electronic-city.com atau menekan nomor telepon 15000-32.
Terlebih, bagian dari memperingati 15 Tahun Electronic City Melayani Kamu, diberikan secara cuma-cuma alia free shipping jika masih berada dalam daerah Jabodetabek. Bagaimana soal harga? Cobaan besar karena sedang ada diskon setidaknya 20% untuki semua produk bahkan plus plus untuk produk tertentu; handpone, camera, dan pritilan yang terkait dengannya, pun tengah diberi diskon. Ya, sejatinya tidak hanya alat elektronik di atas yang disediakan Electronic City. Pelbagai produk yang dikelompokkan dalam; audi, video, television, gadget, information technology, camera, accessories, dan office equipment. Khususnya untuk perjalanan kedua, hasil jepretan dan materi video dari beragam merek camera yang kami bawa, kemudian saya dan teman olah menggunakan mobile phone Lenovo oleh saya dan via Xiaomi oleh teman perjalanan saya yang kebetulan asli orang Aceh. Mana hasilnya? Bisa dilihat dilaman akun twitter maupun instagram @martinaprianti
Lebih lanjut soal teman perjalanan, menurut saya hal ini adalah bagian dari 'berkat tersembunyi' yang rasanya tidak sembunyi lagi, saya terima. Dari setiap perjalanan. Ya, dalam setiap perjalanan mendatangi daerah demi daerah khususnya di Indonesia saja, bukan saja membuat saya semakin mengenali diri saya sendiri tapi juga saya mendapatkan teman, sahabat, bahkan keluarga baru. Indah.
Kami berdua menyadari bahwa ada moment yang tidak bisa terulang. Maka selain membawa alat pengisi daya batre, kami juga tidak lupa membawa batre cadangan untuk segala jenis kamera. Sedia payung sebelum hujan, wejangan ini juga kami terapkan soal alat eletronik yang kami bawa saat melakukan perjalanan atau yang kini keren dengan kata travelling. Oh iya, saya juga tidak pernah lupa membawa aksesoris listrik khususnya steker cadangan dan kabel listrik.
Pelbagai persiapan yang dibawa sendiri saat melakukan perjalanan tak lain juga untuk memudahkan kita untuk bisa lebih menikmati nan nyaman. Entah saat tengah berbincang asik dengan masyarakat sekitar atau pun saat kita dalam diam menikmati segala panca indra terbius keindahan alam, budaya, hingga kuliner, setempat sambil tangan sibuk mengambil gambar atau sekadar membiarkan mata hanyut tenggelam lalu sesaat kemudian jemari melompat-lompat entah di netbook ataupun mobile phone.
Dan kembali bicara soal Aceh, saya ingin kembali. Bukan sekadar ingin ikut memperingati 12 tahun musibah tsunami Aceh pada 26 Desember 2016 nanti. Bukan sekadar ingin melihat secara langsung bagaimana dampak musibah gempa Aceh khususnya Pidie pada 7 Desember 2016. Saya ingin kembali ke Aceh untuk mengucap syukur secara langsung pada Tanah Rencong dengan memberikan senyuman dan pelukan hangat kepada orang tua dan anak-anak yang menjadi korban, untuk membantu teman-teman di Aceh yang peduli pada sektor pendidikan dan segala sektor kehidupan lainnya, untuk melakukan apa yang saya lakukan meski sekadar ya mungkin hanya sekadar menulis kembali tentang Aceh atau membuat video perjalanan.
Bencana bisa saja kembali datang tapi segala duka juga akan berlalu. Aceh dengan alam serta tentu masyarakatnya, akan bersama daerah lain di Indonesia, kembali bangkit kemudian berkembang. Maju serta indah.
“Don’t tell me how educated you are; tell me how much you traveled.” Demikian dikatakan Nabi Muhammad SAW mengenai travelling atau perjalanan.
#TravellingBersamaElectronicCity
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H