Mohon tunggu...
Martina Dosy
Martina Dosy Mohon Tunggu... -

Saya dan ide, itu saja..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan - perempuan luka (bag. 1)

10 September 2013   11:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:06 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AWAL ADALAH AKHIR

Eva

“Jiwa mungkin manifestasi manusia yang akan tetap tinggal di bumi ketika ruh diangkat keatas..”

Tas yang tergeletak diatas meja rias itu disambarnya tanpa menoleh sedikitpun kearah cermin, dia janji menemui klien tepat pukul 7 pagi, itu berarti tiga puluh menit lagi tanpa memperhitungkan kemacetan ibukota sedang semalaman dia terjaga membuat proposal penawaran hingga pukul 2 dini hari, hidup perempuan berumur tiga puluh tahun ini teramat dinamis, semua orang men-cap nya sebagai si ambisius, dan dia men-cap dirinya sendiri sebagai si pengecut, tidak memiliki keberanian menerima kenyataan bahwa Andre tidak pernah mencintainya.

“Mamaaa... Aku pergi dulu yaa, uda telaaat..”, dia berlari keluar kamar.

Mobil sedan bewarna hitam itu dipacunya cepat, melewati beberapa belokan di kompleks perumahan hingga lupa menyapa satpam di pos depan yang selalu hormat ketika Eva akan keluar gerbang. Sepuluh menit sudah berlalu dan dia masih bergerak sejauh 500 meter dari rumah, pikirannya mulai panik. Berulang kali memeriksa telepon genggam dan menimbang-timbang apakah dia akan menelepon pak Widjaja, klien istimewa yang berencana akan meminta Eva membuat iklan televisi produk mie instant yang baru dia produksi.

“Pak Widjaja, saya mungkin akan terlambat.. Macet sekali”, kata Eva di telepon genggam, raut mukanya terlihat cemas.

“Baik, pak.. Saya tidak akan lama kok, maaf”, kali ini dia benar-benar tampak tidak tenang, beberapa kali membunyikan klakson, menelikung dari sisi kiri jalan dan dimaki-maki banyak pengendara motor.

Dia meraih laci dashboard mobil dan mengambil sekeping CD yang selalu diputarnya setiap berangkat kerja, pulang kerja, pergi ke mall, mengantar mamanya ke swalayan, pergi beli sate madura cak Thoyib di ujung gerbang kompleks, singkat kata dia hanya ingin mendengarkan sebuah lagu di CD itu dan melupakan sembilan lagu lainnya. Jemarinya lembut memutar pengatur volume di CD Player lalu menekan klakson lagi dan ngomel sendiri. Tapi lagu ini seolah teluh yang membuat jiwanya lungkrah hingga amarah serta kerisauan menguap entah kemana, selalu memberi enam menit paling tenang selama hidupnya.

I gave up coffee and cigarettes I hate to say it hasn’t helped me yet I thought my problems would just dissipate And all my pain would be in yesterday

Pikiran Eva melayang kesebuah tempat beberapa detik sebelum seorang  pengendara bajai memotong lajurnya, tempat dimana Andre memberikan seikat mawar dan seucap kata selamat tinggal.

I poured my booze all down the kitchen drain And watched my bad habits get flushed away I thought that that would keep my head on straight And all my pain would be in yesterday But it’s true I’m still blue But I finally know what to do I must quit, I must quit, you

(Michele Featherstone – Coffee and cigarettes)

Eva larut didalam melodi lagu itu, denting piano dan tawa renyah Andre setiap kali  Eva mengatakan “I love you” diakhir pembicaraan mereka via telepon, Jakarta dan Bali memang bisa ditempuh hanya dalam waktu sekitar 1 jam 15 menit, tapi jarak antara dua hati kekasih yang sudah menjalin kisah selama empat tahun itu beberapa minggu lalu menjadi seolah lebih jauh daripada jarak Jakarta – Timbuktu.

Restoran tempat Eva bertemu dengan pak Widjaja tinggal 4 kilometer lagi dan kemacetan tampaknya sudah bosan bersenang-senang mengacaukan pagi semua orang di salah satu jalan di kota metropolitan ini. Eva memutar lagi lagu itu untuk kedua kalinya, dia butuh suasana hati yang tenang sebelum meyakinkan klien bahwa dia bisa membuat iklan produk mie instant yang konsepnya adalah cinta. Begitu multifungsinya cinta, tidak hanya bisa membuat hati kebat-kebit tetapi juga menjadi sumber inspirasi Eva untuk meraih bonus dobel akhir tahun ini jika dia bisa membuat pak Widjaja mempercayakan Eva untuk mengumbar persuasi kelezatan berbalur cinta dari seporsi makanan yang kurang sehat itu.

Laki – laki botak yang mengenakan kemeja berwarna biru muda dengan motif garis melambai kearah Eva setelah menuangkan kopi kedalam cangkir, Eva menghampiri dan menjabat tangannya sambil beberapa kali mengucapkan kata maaf karena membuat si klien menunggu selama 30 menit.

“Maaf, pak Widjaja, macetnya keterlaluan..”, lagi-lagi dia mengucapkan maaf seolah keterlambatannya membuat pelantikan presiden tertunda.

“Hahaha... iya-iya, tidak apa-apa, i suka menunggu disini, roti kayanya enak sekali..”, si bos mie instant geli melihat tingkah Eva.

Roti kaya di restoran ini adalah makanan yang tidak ingin lagi disentuh oleh lidah Eva, meskipun roti kaya itulah yang menjadi alasan Eva untuk selalu membuat janji dengan klien di restoran ini. Andre sangat menyukai roti kaya dan menurutnya restoran ini memiliki roti kaya paling enak sejagad raya, mereka terbiasa menghabiskan sabtu sore di tempat ini, sekedar melahap seporsi roti khas melayu dan satu teko teh tarik serta beberapa topik pembicaraan yang membosankan, tetapi menghabiskan waktu bersama Andre tidak pernah membosankan bagi Eva, tidak pernah.

“Kenapa tidak dimakan roti kayanya, mbak Eva ?. You mesti coba, enak sekali”, pak Widjaja melirik kearah piring Eva yang masih penuh dua tangkup roti kaya. Saatnya menikmati makanan mereka karena pembicaraan bisnis sudah selesai, pikirnya.

“Saya sudah sarapan tadi, pak. Maaf, saya lupa bilang..”, kata maaf lagi-lagi terucap dan Widjaja lagi-lagi terkekeh.

“Hahaha... You tidak usah selalu minta maaf ke i, i pasti akan memakai jasa perusahaan you untuk iklan. Kalau roti kayanya tidak you makan, sini biar i makan.. haha”, si bos mie instant itu tampaknya memang agak rakus tapi Eva dengan semangat menyodorkan piringnya.

Girang hati Eva mengetahui bahwa bonus dobel di akhir tahun sudah pasti akan menambah angka di buku tabungannya, dia mengemudi sambil bernyanyi, tentu saja lagu yang sama. Tanpa menekan klakson atau harus menelikung dari arah kiri, tanpa maki-maki pengendara motor dan raut muka cemas. Eva melirik jam tangannya, dua jam melebihi jam masuk kantor, tapi tentu saja ini keterlambatan yang akan disambut senyum oleh direktur pemasaran, seorang klien besar berhasil dijerat oleh ide brilian Eva karena cinta. Lagu itu habis dan dia meraih tombol pemutar balik di CD player, ketika intro lagu terdengar, Eva seketika tak lagi melihat apa-apa, gelap....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun