Tubuhnya bak kapas, melayang mengikuti arah angin, sorot matanya sayu, seakan menyampaikan bahwa ia lelah. Hari berganti bulan berganti tahun ia habiskan dengan lamunan, diamnya kini menjadi kekhawatiran bagiku, sebab tubuhnya dimakan perlahan oleh pikirannya yang berisik. Kala sore menjelang, dia selalu duduk di teras rumah, menatap nanar sinar matahari yang perlahan meredup, dengan bangku kosong di sebelahnya, tempat duduk almarhum. Kadang ku dapati dirinya bergumam sendiri entah apa itu, kadang pula ku dapati dirinya tengah menangis sembari memanggil-manggil nama kekasihnya.Â
Hingga pada suatu malam yang tenang, selepas makan, dengan lembut ku tuntun tubuhnya yang ringkih menuju kamar. Selepas ku baringkan, ku ciumi kedua kelopak matanya, "Selamat malam Oma, tidurlah yang nyenyak" ucapku. Dia tersenyum begitu tipis, hampir tak tertampak mata, "Oma sayang adek" ungkapnya dengan tangan terulur menarik tengkukku untuk ia ciumi pelipis ku. Dan tanpa ku sangka, malam itu menjadi momen terakhir aku bersamanya, sebab keesokan harinya, dia tak kunjung terbangun dari tidurnya. Panik langsung ku larikan ke rumah sakit. "Beliau koma" Ungkap dokter, lalu dua hari setelahnya dia dinyatakan meninggal dunia. Ya, bahagiaku di renggut juga untuk kesekian kalinya.
Kini tiap malam berbulan, aku dengan senyum hambar selalu menebak dimanakah kedua malaikat ku berada di tengah ribuan gemintang dilangit. Bahagia selalu kasihku, Tuhan pun tahu betapa kuatnya ikatan cinta kalian hingga akhirnya memilih untuk mempersatukan kalian kembali di alam baka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H