Masih segar diingatan kita tentang hebohnya kasus Merpati dan kasus Indosat-IM2 yang terdengar sarat dengan issue kriminalisasi. Belum cukup sampai disitu, lalu masuk kembali kasus yang ditangani gedung bundar yang menghebohkan karena penuh kejanggalan dan ada kesan sangat dipaksakan untuk masuk dalam ranah hukum pidana (tindak pidana korupsi). Kasus tersebut adalah kasus bioremediasi yang melibatkan PT Chevron Pacific Indonesia, perusahaan minyak asing asal Amerika Serikat dan 2 kontraktor yang terlibat dalam kegiatan bioremediasi, PT Sumigita dan PT Green Planet. Ketiga kasus tersebut memiliki benang merah yang sama, yaitu tercium kuat aroma kriminilisasinya. Jika memang ini terbukti kriminilisasi maka akan sangat mencoreng wibawa hukum di Indonesia dan berpotensi mengganggu kepercayaan investor akibat ketidak pastian hukum.
Kasus bioremediasi ini kurang populer di tengah-tengah masyarakat karena tertutupi dengan kasus-kasus heboh lainnya yang lebih sexy seperti kasus LHI, Fathanah, Century, atau bahkan perdebatan antara Eyang Subur dan Adi Bing Slamet. Sehingga penulis berpendapat diperlukan upaya lebih untuk menampilkan fakta-fakta yang ada tentang kasus ini kepada masyarakat. Terinspirasi dari kutipan Sdr Gede Manggala dalam surat terbukanya, “Yang diinginkan oleh kuasa jahat untuk berkuasa hanyalah jika orang-orang baik diam tidak berbuat apa-apa” (Edmun Burke)
Penulis menjunjung tinggi proses hukum yang berlangsung tanpa bermaksud melakukan intervensi atau penghasutan, apa yang ditulis disini adalah opini pribadi berdasarkan data-data dan fakta informasi dari persidangan yang diliput di media cetak ataupun elektronik.
Bioremediasi
Merujuk ke literature (http://ei.cornell.edu/biodeg/bioremed/) , pengertian bioremediasi adalah penggunaan mikroorganisme untuk menghilangkan polutan di media tanah ataupun media air. Berdasarkan lokasi dilakukannya remediasi, teknologi bioremediasi tersebut terbagi 2 yaitu insitu dan exsitu. Insitu adalah proses remediasi di lokasi pencemaran dan sebaliknya exsitu yaitu proses remediasi di luar lokasi pencemaran, artinya tanah yang terkontaminasi dikumpulkan dan ditransportasikan di lokasi lain untuk pemrosesan lebih lanjut. Bioremediasi bisa berlangsung secara alami ataupun dibantu pemberian nutrisi sebagai makanan mikroorganisme tersebut.
Bioremediasi di Indonesia
PT CPI termasuk perusahaan di Indonesia yang mengawali proses bioremediasi dalam skala besar. Merujuk situs www.chevronindonesia.com , PT CPI mengoperasikan 9 (Sembilan) fasilitas bioremediasi di provinsi Riau, dengan kapasitas gabungan sekitar 42,000 m3 tanah setiap siklusnya. Dalam sejarahnya, proyek ini dimulai sejak tahun 1994 dalam skala lab kemudian tahun 1997 disimpulkan dari uji skala lapangan atau pilot project yang menyatakan bahwa bioremediasi exsitu dengan metode land farming merupakan proses yang terbukti efektif untuk membersihkan tanah terkontaminasi. Akhirnya tahun 2002 Kementerian Lingkungan Hidup mengabulkan izin operasi bioremediasi di PT CPI dan sejak tahun 2003, PT CPI telah meremediasi tanah terkontaminasi minyak sekitar setengah juta meter kubik tanah, atau setara 200 kolam renang ukuran olimpiade. Tahun 2011, Kementerian Lingkungan Hidup menganugerahi peringkat PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) “Biru”, karena PT CPI berhasil mematuhi standar manajemen lingkungan.
Penelitian tentang proses bioremediasi ini sudah masuk kedalam jurnal-jurnal internasional dan dipresentasikan dalam symposium skala internasional. Hal tersebut bisa dilihat di tautan berikut:
http://archives.datapages.com/data/ipa/data/023/023002/361_ipa023b0361.htm
http://www.onepetro.org/mslib/servlet/onepetropreview?id=SPE-95323-MS
Kontrak Bagi Hasil/ Production Sharing Contract
Dalam aktivitas eksplorasi dan produksi, PT Chevron Pacific Indonesia dan kontraktor MIGAS lainnnya bekerja di bawah sistem kontrak bagi hasil. SKKMIGAS ditunjuk secara khusus bertanggung jawab untuk mengelola dan mengawasi operasi PSC, artinya segala aktivitas kontraktor, baik itu anggaran proyek atau anggaran kegiatan rutin harus melalui persetujuan dan izin dari SKKMIGAS. Produksi minyak akan dibagi dalam porsentasi tertentu antara Negara dan Kontraktor setelah dikurangi biaya operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor. Pengembalian biaya operasi inilah yang disebut sebagai cost recovery. Jadi seluruh biaya investasi awalnya berasal dari kantong kontraktor dan seluruh asset yang dimiliki kontraktor adalah milik Negara. Dengan bahasa sederhana, Negara tidak perlu mengeluarkan modal dan tidak terbeban resiko investasi jika proses eksplorasi gagal, Negara akan menerima hasil sesuai dengan persentasi bagi hasil yang disepakati. Banyak perdebatan tentang plus minus sistem bagi hasil ini, namun pada kenyataannya sistem bagi hasil merupakan penemuan jenius yang sangat berperan menyumbang pendapatan Negara. Proses pengelolaan migas di Indonesia saat ini termasuk sangat ketat jika dibandingkan Negara lain, hal ini terlihat dari proses persetujuan yang berjenjang berlapis-lapis, belum lagi proses pre audit dan post audit yang dilakukan. Jika terdapat dispute (misal terdapat penagihan cost recovery yang nilainya tidak wajar), maka hal tersebut bisa diselesaikan secara perdata antara SKKMIGAS dan kontraktor melalui persidangan arbitrase. Proses penangguhan cost recovery tersebut masih bisa berlangsung sampai masa akhir kontrak bagi hasil, contoh untuk kasus PT CPI, kontrak untuk blok Rokan sampai tahun 2021, artinya perselisihan pembagian hasil masih bisa diselesaikan sampai tahun 2021. Caranya bagaimana? Misal kontraktor “menagih berlebih” maka SKKMIGAS bisa mengurangi “jatah” kontraktor untuk produksi tahun berikutnya.
Timeline proses kasus bioremediasi PT CPI
Untuk mudahnya memahami “sejarah” kasus bioremediasi. Penulis mengutip timeline ini dari Majalah Tempo edisi 19 Mei 2013:
· Juni 2011: PT Green Planet dan PT Sumigita berhasil mendapat tender proyek bioremediasi Chevron. Mereka termasuk mengalahkan PT Putra Riau Kemari yang diwakili oleh Edison Effendi (saksi ahli dari Kejaksaan yang diduga memiliki konflik kepentingan yang mengawali munculnya kasus ini)
· Februari 2012 : Rombongan penyidik kejaksaan agung mengunjungi lokasi bioremediasi di Chevron Riau, terlihat dalam rombongan Edison Effendi
· Maret 2012 : Penyidik menyatakan proyek bioremediasi adalah proyek fiktif, tujuh orang ditetapkan tersangka.
· April 2012: Penyidik kembali mengambil sampel di 2 fasilitas (dari total 9 fasilitas yang dimiliki PT CPI), Edison kembali hadir dalam rombongan
· Juni 2012: Penyidik dengan bantuan Edison melakukan uji sampel, hasil uji ini menyatakan hasil bioremediasi negative
· September 2012: Enam dari tujuh tersangka ditahan
· November 2012: Hasil audit BPKP menyebutkan adanya kerugian Negara
· Desember 2012: Penyidik melimpahkan kasus ini ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta
· April 2013: Tersangka dari kontraktor PT CPI yaitu Sdr Herland dituntut 15 tahun dan Sdr Ricksy 12 tahun penjara
· Mei 2013: Vonis dijatuhkan, Sdr Herland mendapat vonis 6 tahun penjara berikut denda dan Sdr Ricksy 5 tahun penjara berikut denda. Total denda yang ditagihkan adalah Rp 450 juta dan kerugian Negara yang harus dikembalikan $9.9 juta dolar. Kedua tersangka menyatakan banding dan kejaksaan pun menyatakan banding.
Sampai saat ini proses persidangan untuk 4 tersangka dari PT CPI masih berlangsung dan vonis akan dibacakan kira-kira bulan Juni 2013.
Kejanggalan-kejanggalan selama proses kasus bioremediasi
Korupsi adalah extra-ordinary crime dan penulis sepakat bahwa pelaku korupsi harus dihukum seberat-beratnya. Perang melawan korupsi harus dilakukan dengan sangat serius, mengingat penyakit korupsi di Indonesia sudah termasuk kategori kronis, karena telah menggerogoti seluruh elemen, baik itu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Yang perlu dicatat disini, keseriusan melawan korupsi tidak berarti penanganan kasus yang serampangan dengan main hajar sana-sini, atau bahkan memaksakan kasus untuk masuk korupsi dengan alasan semata-mata memenuhi score card yang dicanangkan Presiden dan DPR. Yang sangat dikhawatirkan adalah, jika ada orang-orang yang tak bersalah dijebloskan dalam penjara hanya semata-mata untuk orientasi karir penegak hukum atau pencitraan semu di mata publik.
Berikut ini penulis melampirkan hal-hal yang terlihat sangat janggal dalam proses penyidikan dan persidangan bioremediasi PT CPI
Indepedensi dan Kredibilitas Saksi Ahli Sangat diragukan
Penyidik melibatkan saksi ahli yang memiliki konflik kepentingan, yaitu Sdr Edison Effendi. Telah terbukti dipersidangan bahwa Sdr Edison pernah mewakili beberapa perusahaan untuk proses tender di PT CPI dan seluruhnya mengalami kalah tender. Kredibilitasnya pun dipertanyakan, dalam proses persidangan terungkap bahwa Sdr Edison tidak pernah mengikuti symposium internasional ahli bioremediasi ataupun menulis jurnal yang dipublikasikan secara internasional tentang bioremediasi. Bahkan lucunya, Sdr Edison sebagai seorang ahli belum pernah membaca satu pun penelitian tentang bioremediasi yang dilakukan di Minas, yang sudah dipublikasikan di symposium skala internasional (lihat kembali ke pranala luar yang penulis tulis di atas).
Tidak kalah lucunya, dalam keterangannya sebagai dasar penuntutan, Sdr Edison memberikan keterangan yang bertentangan dengan peraturan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 128 Tahun 2003.
Sdr Prayitno yang ditunjuk sebagai saksi ahli kedua dari penyidik juga membuat geger, karena pengakuannya bahwa penerapan bioremediasi untuk mengelola limbah tidak perlu mengacu pada ketetapan pemerintah yang tertuang di KepMen KLH No 128 tahun 2003. Tidak cukup disitu kelucuan yang ditampilkan saksi ahli penyidik, ternyata Sdr Prayitno baru melakukan penelitian bioremediasi skala lab dengan menggunakan media tanah terkontaminasi minyak jelantah.
Kejujuran adalah hal yang utama dalam persidangan dan sekali lagi Sdr Edison mencederai hal tersebut, karena terungkap di pengadilan bahwa dalam keterangannya di BAP (yang dilakukan dengan sumpah), dia mengaku pendidikan formal S1nya di ITB, padahal kenyataannya sesuai fakta persidangan Sdr Edison alumni S1 dari USU.
Kelucuan dalam metoda sampling
Sdr Edison nampaknya sudah menjadi dewa ahli bioremediasi. Namun lucunya, dalam simposium ahli bioremediasi yg diadakan di ITB beberapa minggu lalu, tidak ada pakar-pakar disana yang mengenal atau recognize prestasi Sdr saksi ahli ini.
Apa kelucuan metoda sampling? Dalam keterangan di sidang ternyata pengambilan sample dilakukan oleh saksi ahli dan pengetesan juga dilakukan oleh saksi ahli tanpa pengawasan pihak 3 yang terakreditasi. Bahasa kerennya, All in services by saksi ahli. Dari total 9 fasilitas pengolahan exsitu, sampling hanya diambil di 2 lokasi namun data tersebut menjadi basis untuk klaim seluruh 9 fasilitas pengolahan limbah PT CPI adalah fiktif. Buat pembaca yang belum pernah ke fasilitas PT CPI, lokasi dari satu fasilitas ke fasilitas lainnya, bisa puluhan kilometer. Kelucuan Sdr saksi ahli tidak berhenti sampai disitu, pertanyaan dari majelis hakim yg menanyakan jika saya ambil sampel di rasuna said (jakarta), apakah itu bisa mewakili sampel tanah di Riau? Saksi ahli menjawab "menurut Kepmen boleh". Suatu pernyataan yg menurut saya melecehkan keilmuan yang kita pelajari dari bangku SD sampai perguruan tinggi.
Kelucuan dalam perhitungan kerugian Negara
BPKP ditunjuk penyidik untuk menghitung kerugian Negara. Dalam fakta persidangan terungkap, Sdr saksi dari BPKP melakukan perhitungan kerugian Negara semata-mata berdasarkan keterangan dari saksi ahli Edison Effendi semata dan dari bukti-bukti invoice yang diserahkan PT CPI kepada penyidik. Saksi menghitung kerugian Negara berdasarkan menjumlahkan invoice yang sudah ditagihkan ke PT CPI, dalam pledoinya bahkan terdakwa menyindir BPKP melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan seorang anak SMP. Perhitungan kerugian Negara sama sekali tidak memperhitungkan sistem kontrak bagi hasil yang berlaku antara kontraktor dan Negara. Lebih lucu lagi, terungkap BPKP tidak mengkonsultasikan hal ini lebih mendalam lagi dengan pihak SKKMIGAS yang mengawasi proses cost recovery. Bisa dilihat lagi penjelasan tentang kontrak bagi hasil dan cost recovery pada bagian tulisan di bagian atas.
Hal ini diperkuat oleh keterangan dari Humas SKKMIGAS Sdr Elan Biantoro, yang mempertanyakan tuntutan hakim untuk mengganti kerugian Negara sebesar $9.9 juta USD, karena belum ada tercatat ada kerugian Negara karena semua pengeluaran dan pembiayaan bioremediasi belum dimasukkan dalam account cost recovery SKKMIGAS. Artinya seluruh biaya masih ditanggung oleh kontraktor. Elan pun menjelaskan, berdasarkan prinsip kontrak kerja sama migas atau yang dikenal dengan Production Sharing Contract (PSC) jika memang terbukti ada permasalahan dalam pelaksanaan kontrak, mestinya masuk ranah hukum perdata.
Sekarang saya meminta pembaca untuk membayangkan jika anda dalam posisi kontraktor. Anda mengikuti tender, setelah proses tender berlangsung dan sesuai dengan peraturan yang berlaku maka perusahaan anda mendapatkan kontrak. Anda menyediakan jasa (alat-alat berat, manpower, dsb), jasa tersebut diterima oleh yang empunya fasilitas, dan anda mendapatkan pembayaran. Lalu karena kasus ini anda dituntut membayarkan kembali seluruh jasa yang telah anda berikan. Sangat tidak masuk logika dan akal sehat.
SKKMIGAS dan Menteri KLH menyatakan tidak ada masalah di proyek bioremediasi
Ketidakpastian hukum juga sangat disoroti dalam penanganan kasus bioremediasi. SKKMIGAS dan Menteri Lingkungan Hidup yang ditunjuk sebagai lembaga resmi pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan operasi kontraktor migas dan proyek lingkungan hidup telah menyatakan tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh PT CPI maupun kontraktornya. Dalam vonisnya, majelis hakim menjelaskan terdakwa melanggar peraturan karena tidak memiliki izin dalam mengelola limbah. Untung saja salah seorang hakim anggota jeli melihat ini, dalam dissenting opinionnya hakim Sofialdi menyatakan yang wajib mengantongi izin adalah PT CPI sebagai pemilik lokasi pengolahan limbah, dan bukan kontraktor PT Green Planet dan PT Sumigita. Pendapat hakim ini selaras dan diamini oleh kementerian lingkungan hidup.
Dalam proses pengadaan kontrak jasa pun SKKMIGAS menyatakan tidak ada pelanggaran, PT CPI telah menempuh proses pengadaan sesuai dengan pedoman PTK-007 yang menjadi dasar acuan setiap kontraktor migas di tanah air.
Imparsialitas Majelis Hakim diragukan
Dalam proses persidangan, penyidik diberikan kesempatan 3.5 bulan untuk menghadirkan 40 saksi, sedangkan pihak terdakwa (Ricksy dan Herlan) hanya diberikan kesempatan 2 minggu untuk menghadirkan saksi. Hal ini sangat melukai prinsip kesetaraan dan hak terdakwa di pengadilan. Terdakwa harus diberikan kesempatan yang seadil-adilnnya untuk membela diri.
Gerakan Solidaritas, Pembuatan Petisi, Surat kepada Presiden, Dukungan KY dan KOMNAS HAM
Fakta-fakta yang gamblang yang sudah saya sebutkan di atas akhirnya sampai juga ke simpul-simpul ikatan alumni. Termasuk didalamnya ikatan Alumni ITB, UI, dan IPB (kebetulan beberapa tersangka adalah alumni dari universitas-universitas tersebut). Kaukus Ikatan Alumni menyerukan keprihatinannya atas proses peradilan sesat yang dialami rekan-rekan mereka. Tidak ketinggalan pula pihak keluarga tersangka juga telah melapor ke KY dan Komnas HAM mengenai ketidak adilan hakim dalam memproses kasus ini. KY dan Komnas HAM merespon positif dan menindak lanjuti laporan tersebut.
Petisi online sudah dibuat oleh aksi solidaritas bioremediasi, antara lain bisa dilihat di tautan berikut:
http://www.change.org/id/petisi/batalkan-dakwaan-fiktif-dan-bebaskan-rumbi-dkk
Tidak berhenti sampai disitu, para rekan kerja dan keluarga terdakwa juga mengemis keadilan kepada Presiden RI lewat surat yang ditandatangani 3000 orang. Segala usaha dilakukan dalam koridor yang tidak melanggar hukum dan sesuai konstitusi
Kesimpulan
Proses peradilan yang telah terjadi ini menjadi tamparan keras dalam usaha Negara kita memberantas korupsi, alih-alih mengembalikan kerugian Negara, yang ada malah dugaan kriminilisasi yang efek dominonya sangat besar, antara lain ketidak percayaan investor dan menimbulkan ketakutan bagi setiap professional dalam mengambil keputusan yang benar (karena terintimidasi kekhawatiran akan dikriminalisasikan jika membuat kecewa seseorang atau suatu badan yang dekat dengan aparat atau penguasa). Namun apa yang terjadi di peradilan Indonesia terkadang tidak bisa ditebak, contohnya saja dengan fakta-fakta yang sangat gamblang di atas, terdakwa tetap saja divonis penjara dan denda ratusan juta termasuk ganti rugi USD 9.9 juta. Hal yang sulit diterima akal sehat.
Efek berikutnya adalah keresahan professional migas di Indonesia khususnya di PT CPI Sumatera. Dalam upaya pemerintah yang serius untuk meningkatkan lifting migas, maka sangat naïf jika kita berpikir para rekan kerja terdakwa tidak terganggu fokus dan konsentrasinya dalam bekerja. Alasannya kenapa? Karena bisa saja mereka diciduk sewaktu-waktu atas pekerjaan yang sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Jika sudah demikian maka target produksi migas bisa terganggu.
Pada kesimpulannya, penulis berpendapat TUHAN Yang Maha KUASA pasti tidak akan tinggal diam, walaupun di dunia ini segala sesuatunya bisa diputar balikkan, maka masih ada peradilan hakiki yang akan dilalui setiap kita insan manusia, yaitu peradilan Tuhan itu sendiri.
Segala sesuatu yang tertuang di atas tidak ada unsur membela korporasi Chevron, melainkan perjuangan melawan ketidak adilan yang menimpa rekan-rekan Chevron, Sumigita, dan Green Planet. Sebagai professional dimana pun Anda berada, tanyakan kepada diri Anda, jika rekan-rekan tersebut bisa mendapat cobaan seperti ini, maka bukan tidak mungkin Anda bisa dalam posisi yang sama dengan mereka.
Penulis menyerukan mari kita lawan ketidak adilan ! Bersihkan hukum Indonesia ! Merdeka !!! Mari kita dukung pemberantasan korupsi dengan cara yang bersih, cermat dan seadil-adilnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H