Mohon tunggu...
Bimantara Adi
Bimantara Adi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pemerhati politik dan pemburu kuliner enak

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ujian Integritas Bagi Pemutus Perkara Bioremediasi

31 Mei 2013   19:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:44 1297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang sangat mencolok “pembiaran” yang dilakukan oleh majelis hakim adalahketika sikap Sdr Edison Effendi yang terkesan seenaknya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan Penasihat Hukum. Jawaban “saya lupa, baca saja sendiri”, dsb, jamak terdengar. Alih-alih menegur Sdr Edison agar ntuk menjawab lebih sopan dan baik, malah ketua majelis hakim justru menegur PH yang sudah emosi dengan sikap dan perilaku yang ditunjukkan Sdr EE. Klimaks pembiaran yang dilakukan hakim adalah, ketika proses persidangan terdakwa Rumbi. Saat itu Rumbi diberi kesempatan untuk bertanya pada Sdr Edison,”Apakah Saksi Ahli mengenal saya?”, lalu dijawab Sdr Edison dengan santainya, “Sepertinya kenal, tapi dulu gak seperti sekarang, dulu lebih cantik”. Jawaban kurang ajar seperti itu pun tidak ditegur ketua majelis hakim. Hal yang membuat para pengunjung sidang mengelus-ngelus dada, berhubung Ketua Majelis adalah seorang wanita sama seperti Sdri Rumbi.

Komnas HAM dalam salah satu temuannya menyatakan ada dugaan pelanggaran HAM karena hakim tidak memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi terdakwa Ricksy dan Herlan untuk menghadirkan saksi-saksi yang meringankan. Bayangkan saja, Jaksa mendapatkan kesempatan 4 bulan menghadirkan para saksinya dan terdakwa hanya diberi kesempatan 1 minggu. Lalu dimana rasa keadilan itu? Suatu hal prinsipil yang harusnya ditunjukkan Majelis Hakim yang diketuai Ibu Sudharmawatiningsih dalam usaha mencari kebenaran materiil. Dalam persidangan akhir-akhir ini pun sangat terlihat jelas Ketua Majelis Hakim lebih condong untuk mencari pembenaran atas putusan yang sudah dijatuhkan kepada Ricksy dan Herlan. Jaksa pun tidak perlu repot-repot membuktikan dakwaannya, jika Ketua Majelis Hakim ternyata sudah memiliki pendapat sendiri yang sesuai dengan sudut pandang jaksa.

Pada puncaknya, tim PH yang diwakili Pengacara Terkenal Maqdir Ismail, berani melakukan interupsi kepada hakim, ketika Hakim Sudharmawatiningsih mencecar saksi ahli hukum dari Universitas Padjajajar, Bpk Asep Warlan Yusuf. Dalam protesnya, Maqdir menyatakan Hakim sudah berprasangka dan pada persidangan itu juga akhirnya Hakim melunak dan meminta maaf (http://news.detik.com/read/2013/05/24/210115/2255551/10/ketua-majelis-hakim-kasus-bioremediasi-chevron-minta-maaf)

Apakah benar ada pelanggaran hukum lingkungan?

Salah satu pertimbangan hukum dalam vonis Ricksy dan Herlan adalah karena perusahaan mereka sebagai kontraktor bioremediasi tidak memiliki ijin. Hal ini sudah dibantah oleh Kementerian Lingkungan Hidup, karena sesuai Undang-Undang yang wajib memiliki izin adalah PT CPI sebagai pemilik fasilitas pengolahan limbah

Proyek bioremediasi adalah proyek penyelamatan lingkungan, karenanya proyek bioremediasi ini harus mengikuti peraturan pemerintah yang berlaku yaitu Kepmen 128 tahun 2003. Dalam audit rutinnya, Kementerian LH sebagai regulator proyek lingkungan pun menyatakan tidak ada pelanggaran yang dilakukan PT CPI karena seluruhnya sudah mematuhi peraturan yang berlaku

Dalam keterangannya di persidangan, ahli hukum dari Unpad Asep Warlan Yusuf menyatakan sesuai Pasal 63 ayat 1 huruf aa UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup. "Dalam hal terjadi tindak pidana, penegak hukum harus koordinasi menteri LH”. Hal ini yang ALPA dilakukan oleh penyidik Kejagung. Kewenangan menyatakan ada pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup harus dilakukan oleh Menteri LH, tidak sekonyong-konyong Kejagung bisa menyatakan ada pelanggaran tanpa pendampingan Menteri LH terlebih lagi menggunakan saksi ahli yang tidak kredibel.

Kesimpulan

Penulis merangkum hal-hal berikut yang merupakan kejanggalan dari proses peradilan kasus bioremediasi:

Karena PT CPI bekerja dalam mekanisme Production Sharing Contract, maka menjadikan kasus ini menjadi pidana merupakan bentuk kriminalisasi dari perjanjian perdata antara PT CPI dan Negara. Menjadikan karyawan dan kontraktor PT CPI sebagai terdakwa merupakan kriminalisasi dan melanggar HAM para terdakwa.

Persidangan Bioremediasi adalah kegiatan ilmiah yang pedomannya diatur dalam Kepmen LH No 128 Tahun 2003. Sehingga harus diuji oleh para ahli yang kompeten. Keterangan saksi ahli Sdr Edison Effendi seharusnya tidak boleh digunakan sebagai fakta persidangan, karena dugaan konflik kepentingan dan kredibilitasnya sangat diragukan sebagai saksi ahli. Banyak keterangan Sdr EE bertentangan dengan keterangan yang diberikan oleh saksi ahli dari IPB dan ITB. Diduga Sdr EE memberikan keterangan palsu dan diduga juga melakukan rekayasa kasus. Suatu fakta yang seharusnya ditindak lanjuti pihak penasihat hukum untuk diajukan ke kepolisian.

Kementerian Lingkungan Hidup sampai saat ini tidak menemukan bukti pelanggaran lingkungan oleh PT CPI, PT Sumigita, PT Green Planet, baik itu mengenai izin kerja atau pun pelanggaran lainnya. Kejagung telah melanggar kewenangannya dengan menyatakan ada pelanggaran hukum lingkungan.

Ketua Majelis Hakim diduga cenderung berprasangka dan tidak memberikan prinsip “Equality before the Law” dengan tidak memberikan kesempatan yang sama bagi Sdr Herlan dan Ricksy untuk membawa saksi ahli yang meringankan. Bahkan Sdr Ricksy sempat berlutut di depan majelis hakim memohon diberikan kesempatan untuk menambah saksi, tetapi tuntutan hak dasar ini tidak digubris sama sekali.

Penutup

Sesuai dengan pembuka dalam artikel ini, peran hakim sangat mulia karena menjadi wakil Tuhan di dunia ini. Alangkah baiknya, jika Ketua Majelis Hakim lebih sensitif lagi menggunakan nuraninya untuk menentukan vonis bersalah atau tidak bersalah kepada para terdakwa. Ujian integritas bagi Ketua Majelis Hakim untuk berani menyatakan benar jika benar dan salah jika salah. Walaupun Negara dalam situasi perang terhadap korupsi tidak berarti HARAM menjatuhkan vonis bebas kepada tersangka korupsi, jika memang fakta-fakta persidangan menunjukkan mereka tidak bersalahTerlebih lagi seluruh lembaga pemerintah yang ada baik SKKMIGAS, Menteri KLH, mempunyai pandangan yang bertentangan dengan sudut pandang Jaksa. Jika Hakim tidak berhasil menerapkan perannya sesuai kaidah yang berlaku dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, maka akan sekali lagi mencoreng dunia peradilan di Indonesia dan memberikan rapor merah untuk kepastian hukum bagi masyarakat dan investor.

Harapan besar dari penulis untuk MA, KY, Komjak, Kompolnas, agar LEBIH berperan aktif lagi untuk memberantas mafia hukum dan makelar kasus. Seluruh elemen masyarakat berada dibelakang Anda karena masa depan Indonesia sangat tergantung peran aktif lembaga-lembaga tersebut. Tidak mungkin kita membersihkan korupsi di Indonesia dengan menggunakan sapu kotor.

Salam Perubahan untuk Indonesia yang lebih baik !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun