Mohon tunggu...
MARTIN DAVIDSIANTURI
MARTIN DAVIDSIANTURI Mohon Tunggu... Administrasi - ADVOKAT

Terus berkarya dan dapat menjadi berkat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Putusan Mahkmah Konsitutusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020

30 Desember 2023   17:15 Diperbarui: 30 Desember 2023   17:16 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Analisis Hak Uji Materil Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 

Pengesahan Undang-Undang Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020 menimbulkan pro dan kontra yang sangat luar biasa di Indonesia berupa aksi demo besar-besaran dari beberapa elemen masyarakat Indonesia termasuk kalangan para buruh dan kalangan mahasiswa di beberapa kota. Pengesahan undang-undang cipta kerja sendiri bertujuan untuk menarik investor agar tertarik untuk berinvestasi di Indonesia sehingga menambah lapangan kerja di Indonesia. Undang-Undang yang memicu pro dan kontra tersebut dikarenakan menurut masyarakat dianggap lebih Pro kepada Investor daripada ke buruh. Padahal sudah jelas diterangkan bahwa undang-undang ini ditujukan untuk menarik investor.

Undang-undang omnibus law ini dengan mengatur beberapa klaster dalam perundang- undangan ini menuai banyak pro dan kontra dari berbagai pihak. Salah satunya pada Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang mana bahwa banyak pihak menilai dengan adanya rancangan Undang-Undang tersebut nantinya akan mengakibatkan kerugian pada masyarakat kecil, dengan kekhawatiran bahwa hak-hak dari para tenaga kerja tersebut tidak tertuang dalam Undang-Undang tersebut. Sedangkan, seperti halnya yang telah di ketahui bersama bahwasanya dalam pembentukan Undang-Undang harus didasarkan pada kepentingan masyarakat yang mana harus sesuai dengan cita-cita bangsa agar dapat dijadikan suatu aturan yang mengikat dan pandangan hidup yang sejalan dengan norma- norma masyarakat yang ada.

Proses legislasi Undang-Undang Cipta Kerja yang menuai banyak polemik dari sejumlah kalangan di anggap buruk. Hal itu disebabkan karena pada proses legislasi Undang-Undang Cipta Kerja dilakukan oleh lembaga yang berwenang atau dalam hal ini pemerintah di anggap tidak transparan dan tidak partisipatif dengan mengabaikan asas demokrasi dan terlalu tergesa-gesa. Jika menilik kebelakang bahwasanya pada saat mengesahkan rancangan Undang-Undang Cipta Kerja masih banyak penolakan dari berbagai pihak.

            Dalam suatu negara demokratis konstitusional tidaklah dapat dipisahkan antara tujuan yang hendak dicapai dengan cara yang benar dalam mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini, upaya untuk mencapai tujuan tidak bisa dilakukan dengan melanggar tata cara yang pasti dan baku. Pada prinsipnya pembentukan Undang-Undang antara teknis dan substansi (formil dan materil) tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Mahkamah Konstitusi (MK) meciptakan sejarah baru dalam pengujian undang-undang  pada 25 November 2021 dengan mengabulkan pengujian formil Undang-undang melalui Putusan Nomor : 91/PUU-XVII/2020 tentang pengujian formil Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang CiptaKerja (UU CK). Sebelum ini belum pernah ada satu pun pengujian formil UU yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan Nomor : 91/PUU-XVII/2020 tersebut dibacakan pertama oleh Mahkamah Konstitusi, kemudian diikuti dengan pembacaan sepuluh putusan lainnya yang mendasarkan pada Putusan Nomor : 91/PUU-XVII/2020,yang juga berkaitan dengan pengujian formil dan/atau pengujian materiil Undang-undang CiptaKerja.  

Bahwa isi dari Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor : 91/PUU-XVII/2020 sebagaimana berikut :

  • Pembentukan UU No. 11/2020 bertentangan dengan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan;
  • Undang-undang No. 11 tahun 2020 masih tetap berlaku sampai dengan dilakukannya perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana telah ditentukan dalam putusan ini;
  • Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu itu tidak dilakukan perbaikan, maka Undang-undang No. 11 tahun 2020 menjadi inkonstitusional secara permanen;
  •  Apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU No. 11/2020, maka undang- undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU No. 11/2020 dinyatakan berlaku kembali;
  •  Menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang bertentangan dengan UU No. 11/2020

            Pengujian formil (procedural review) menitik beratkan pengujian terhadap kesesuaian prosedur pembentukan suatu UU. Tetapi, dalam perkembangannya terdapat perluasan terhadap makna pengujian formil, yakni meliputi pengujian terhadap kesesuaian prosedur pembentukan suatu UU (pengujian formil dalam artian sempit) dan juga berkaitan dengan segala hal yang bukan pengujian materiil (pengujian formil dalam artian luas.

Aspek prosedural ini untuk mewujudkan tiga fungsi utama, yakni penegakan hukum  (lawen forcement  functions), pelaksanaan dan penerapan hukum (law applying function), dan pembuatan atau pembentukan hukum (law making functions),termasuk didalam nya menjaga partisipasi masyarakat (Jimly Asshidiqqie, 2020). Sehingga, fungsi formil ini tidaklah kalah pentingdengan fungsi materiil suatu UU.

 Oleh karenanya, keberadaan nya harus dipatuhi oleh pembentuk UU. Menurut prosedurnya, uji formil suatu UU dapat diajukan bersamaan dengan uji materiil. Akibat dari apabila uji formil dikabulkan ialah dibatal kannya keseluruhan isi dari UU atauUU tersebut batal demi hukum. Berbeda dengan uji materiil, berkaitan dengan pasal-pasal yang didalilkan pemohon akan diputus, selain diterima, ditolak, dan dikabulkan, terdapat jenis putusan lain yakni putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) dan konstitusional bersyarat(conditionally constitutional). Akibat dari apabila uji formil dikabulkan tersebutlah yang kiranya menjadi alasan terbesar MK belum pernah mengabulkan satupun ujiformal selama ini.

Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor : 91/PUU-XVII/2020 bertentangan dengan teori  (judicial restraint) sebagaimana pendapat ahli  James B. Thayer (1893) tentang pengekangan yudisial atau yang disebut (judicial restraint) teori ini dalam "The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional Law" yang memuat pernyataan bahwa pengadilan wajib untuk dibatasi dan menahan diri dari kebijakan yang termasuk dalam wilayah cabang eksekutif dan legislatif. Para ahli ditahun berikutnya terus mengembangkan teori tentang batasan-batasan hukum. Seseorang ahli yang banyak dikutip yang mengembangkan teori ini adalah ahli yang bernama Richard A. Posner. Dalam artikelnya The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint, yang diterbitkan dalam California Law Review (2012), seorang ahli tersebut memetakan beberapa pendekatan teori self-restraint yudisial ke dalam tiga kategori. Ketiga kategori ini: Pertama, legalisme atau formalisme, yang menurutnya hakim hanya mengikuti undang-undang dan tidak membuat undang-undang. Kedua, kerendahan hati, kompetensi kelembagaan, atau yurisprudensi prosedural, yang mensyaratkan hakim untuk menghormati dan tidak mencampuri kekuasaan legislatif atau eksekutif. Ketiga paksaan konstitusional yang membuat hakim sangat enggan untuk menyatakan setiap keputusan atau tindakan eksekutif atau legislatif sebagai inkonstitusional. Oleh karena itu, menurut penulis Mahkamah Konstitusi, putusan tersebut merupakan pembatasan hukum atau  merupakan judicial restraint.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun