Hidup harus setulus gula dalam kopi. Saat kopi kurang manis, atau terlalu manis, orang akan menyalahkan gula: "Gulanya kurang! Gulanya kebanyakan!" Namun saat rasanya pas, orang akan berkata, "Kopinya mantab!" Tak penting bagi gula apakah ia diingat atau dilupakan. Asalkan ia telah berhasil meredam pahitnya kopi, baginya itu sudah cukup.Â
(Filosofi Gula -Anonim)
Dulu, sewaktu masih duduk di bangku sekolah, di tahun 1980 hingga 1990an, saya, dan mungkin sebagian besar pelajar yang bersekolah di sekolah-sekolah negeri se-Indonesia, mengira bahwa uang SPP dan sumbangan-sumbangan lain yang dibayarkan ke sekolah adalah untuk membayar gaji para guru dan karyawan sekolah, serta untuk membiayai pembangunan atau renovasi gedung sekolah, membeli sarana-prasarana, berikut pemeliharaannya. Itulah pemikiran saya dulu, yang saya yakin hingga detik ini, masih ada orang yang berpikiran sama seperti saya waktu itu.
Kami berpikiran semacam itu karena belum ada yang memberi tahu kami secara jelas tentang alokasi dana dari pemerintah untuk pendidikan. Baru ketika memasuki jenjang perguruan tinggilah saya mendapatkan pemahaman bahwa sekolah-sekolah negeri bisa membayar gaji guru dan karyawan sekolah, membangun atau merenovasi gedung, membeli perlengkapan sekolah, serta sarana dan prasarana lain karena mendapat kucuran dana, salah satunya, dari Kementerian Pendidikan. Dan Kementerian Pendidikan bisa memberikan dana pada sekolah-sekolah karena memperoleh dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan APBN, komponen terbesarnya, kurang lebih 70 persennya, berasal dari pajak.
Sejak tahun 2009, alokasi anggaran pendidikan selalu mencapai 20 persen dari APBN, dan itu merupakan sektor terbesar ketiga yang mendapat anggaran terbesar dari APBN. Itu karena pemerintah terus berupaya menjalankan amanat konstitusi, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan memenuhi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN. Hal yang mendasarinya adalah bahwa pendidikan menjadi kunci yang menentukan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa.[1]
Sekolah sebagai institusi pendidikan yang merupakan pengguna anggaran, tidak perlu bersusah payah memikirkan bagaimana cara mencapai target penerimaan negara agar APBN dapat terealisasi. Institusi pendidikan cukup memikirkan bagaimana supaya anggaran yang tersedia dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab, agar kualitas sumber daya manusia Indonesia dapat meningkat.
Biarlah Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Bea Cukai, dan institusi pengumpul penerimaan negara lainnya yang bersusah payah merealisasikan target penerimaan negara itu. Namun, alangkah baiknya jika institusi pendidikan sebagai salah satu penerima anggaran terbesar turut memberikan dukungan terhadap tercapainya realisasi penerimaan negara yang nantinya berpengaruh terhadap besarnya nominal anggaran yang diterima oleh institusi pendidikan itu sendiri.
Banyak cara yang bisa dilakukan oleh institusi pendidikan. Salah satunya melalui porsi kurikulum tentang pajak dan penerimaan negara. Saya masih ingat, dulu sewaktu saya masih duduk di bangku sekolah dasar, betapa kurikulum tentang Keluarga Berencana (KB) sangat gencar digaungkan. Bahkan tidak hanya pada institusi pendidikan seperti di sekolah-sekolah melalui kurikulumnya. Gencarnya gaung gerakan KB merambah hingga pelosok desa, melalui pembangunan taman-taman dan kampung-kampung KB, bahkan hingga pembuatan lagu dan film yang ditayangkan di RRI dan TVRI.
Kesadaran warga akan pentingnya KB pada waktu itu digugah bukan hanya melalui penyuluhan dan kampanye. Pemerintah bahkan menerbitkan perangko seri KB dan uang logam bergambar KB yang mulai beredar tanggal 22 April 1974.[2] Tentu program semacam itu memerlukan dana yang besar.
Jika program KB yang tidak berkontribusi terhadap penerimaan negara saja bisa mendapat perhatian dan anggaran yang besar sehingga mampu menjalankan kampanye sehebat itu, maka program yang berkontribusi terhadap penerimaan negara, yang nantinya akan berdampak pada semua sektor, baik itu pendidikan, kesehatan, pertahanan keamanan, dan lain-lain, seharusnya bisa dilakukan dengan lebih hebat lagi
Selama ini, insitusi pajak sebagai kontributor terbesar APBN, diperlakukan selayaknya gula. Jika ada keberhasilan pada suatu sektor, institusi pajak tidak pernah disebut-sebut. Maka, kini sudah saatnya institusi pajak disebut-sebut dalam suatu kejayaan.
Berikan porsi yang banyak dalam kurikulum dari jenjang TK hingga perguruan tinggi. Mari kita buat taman-taman pajak dan kampung-kampung sadar pajak. Gaungkan pentingnya pajak dalam kehidupan. Gencarkan manfaat pajak yang selama ini kita nikmati tanpa kita sadari. Kumpulkan para artis dan influencer untuk membuat video tentang pentingnya pajak. Dengan begitu, pajak tak perlu lagi menjadi setulus gula dalam kopi.
Biarlah manfaat pajak dibicarakan di kedai-kedai kopi, di sela-sela obrolan kerja bakti di kampung-kampung, atau pada seminar-seminar para akademisi. Biarlah kebaikan pajak disebut-sebut dalam ruang-ruang kelas, di lorong-lorong kampus, atau pada rapat di aula-aula instansi pemerintahan. Karena manfaat pajak harus diingat, tak boleh dilupakan.
Footnote:
1) Dikutip dari kompas.id
2)Dikutip dari kompas.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H