Mohon tunggu...
Martin Rambe
Martin Rambe Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hidup hanya sementara. Menghabiskan setiap detik dengan baik, menggunakannya untuk hak-hal yang positif, dan tidak pernah lupa untuk bersyukur: itulah yang selalu aku cita-citakan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Starban

2 Oktober 2014   19:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:38 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

STARBAN

Starban. Pernah dengar satu kata itu? Yang pasti ini bukan Starbucks atau sejenisnya yang menawarkan aneka minuman anak jaman. Starban adalah sebuah tempat, perkampungan di tengah pusat kota Medan. Starban bukan tempat yang penuh dengan glamour minuman, melainkan tempat ini penuh dengan (menurut saya) kesesakan. Rumah-rumah dengan atap rendah, masih ada yang terbuat dari bambu, papan, dan luasnya sedang ke bawah, tidak ada halaman kecuali dengan terpaksa mengatakan ada setengah meter teras rumah dan setelahnya langsung jalan kecil diapit parit. Memang, ada juga rumah yang cukup bagus, ada satu dua dan itu milik warga yang berprofesi menengah, seperti guru SD merangkap jadi ustad dan usaha sampingan dagang. Rumah-rumah mereka bukan hanya tergolong sempit, tetapi juga berdempetan seperti saling mengapit. Akh, betapa sesaknya. Iyah, sungguh sesak. Tapi saya mungkin bagi mereka yang biasa tinggal disana hal itu biasa saja. Tentunya, beribu syukur harus dihaturkan kepada Sang Pencipta, masih mending dengan tempat tinggal seperti itu daripada harus tidur di bawah jembatan.

Yang unik, untuk tiba di tempat ini, harus menggunakan sampan kecil, atau rakit. Masyarakat sekitar menyebut rakit yang mampu menampung penumpang 4 orang ini dengan sebutan getek. Ya, itu seperti bahasa sehari-hari di daerah ini. Sebenarnya tidak terlalu jauh, menyeberang ke Starban dengan rakit hanya membutuhkan waktu sekitar tujuh menit dan membayar seribu rupiah sekali jalan. Namun, bukan masalah waktu dan harganya, melainkan untuk masuk ke daerah ini memang harus menyeberangi sungai. Tidak ada jembatan atau apa pun tempat berpijak selain diam tenang berdiri di atas papan rakit yang bawahnya ditempeli ban penuh angin. Jika ingin tiba di daerah ini lewat darat, siap-siap keliling, bertemu dengan kemacetan kota Medan dan itu mustahil menjadi pilihan jika tidak punya kendaraan. Saya yakin siapa saja, baik punya motor, mobil, bahkan pesawat akan memilih masuk ke daerah ini dengan rakit kecil itu jika ingin mencapai ke-efisienan waktu, kecuali bagi warga yang memang tinggal disana. Bagaimanapun mereka harus menggunakan kendaraan yang dimiliki dan merawatnya.

Anda mungkin ragu kalau Starban benar-benar ada di Kota Medan, di pusat kota. Tapi ini kenyataan. Starban tepat masuk dalam wilayah Kecamatan Medan Polonia secara administratif, katanya Starban bagian ujung Kecamatan Medan Polonia.

Masyarakat Starban dapat digambarkan dari segi pekerjaan, secara garis besar bekerja sebagai pemulung. Setiap sore halaman depan rumah warga akan ditumpuki barang-barang bekas, dan ibu-ibu serta anak-anaknya sibuk memilah-milah barang bekas yang dikumpulkan seharian. Selain mulung, ada juga sebagai tukang becak. Jika bapak-bapak manarik roda tiga, ibu dan anak pergi memulung. Namun itu hanya sebagian, profesi lain yang bagi mereka punya sedikit modal membuka warung kecil-kecilan. Tapi itu tidak banyak, hanya beberapa warga saja. Tentunya ada juga profesi lain, seperti guru, tapi hanya satu dua.

Komposisi penduduk dari segi suku tidak terlalu beragam, hanya ada dua bagian besar suku, Batak dan Jawa. Komposisi penduduk ini ternyata bukan hanya berpengaruh pada aktivitas sehari-hari, tetapi juga pola pemukiman penduduk. Suku Batak yang mayoritas Kristen membentuk pola pemukiman mengelompok demikian halnya suku Jawa yang beragama Islam. Menurut warga, mereka jarang kalau tidak mau disebut tidak pernah berinteraksi yang beda agama. Bahkan anak-anak mereka seperti diajarkan kalimat “dia itu Islam atau dia itu Kristen.” Ya, di kota yang kita sebut individualistis, plural, dan modern masih ada pola pikir seperti itu.

Itulah Starban, perkampungan di pusat kota.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun