Kesehatan jasmani dan rohani tak kalah penting. Sehat diartikan tidak mengidap penyakit yang mengganggu kinerja penyelenggara nantinya, tidak mengkonsumsi Narkoba, sehingga siap bekerja penuh waktu. Dan jangan sampai saat bekerja, cepat lelah dan ngantuk. Ataupun tipikal orangnya susah diajak kerja sama, karena kerja penyelenggara adalah team work.
Bukan mencari Kaya
Menjadi Penyelenggara Pemilu bagi sebagian orang adalah prestasi dan kebanggaan tersendiri. Apalagi gaji yang menggiurkan dan fasilitas yang didapatkan, membuat orang-orang berbondong-bondong mengikuti seleksi Calon Penyelenggara Pemilu.
Tapi satu yang harus diingat bahwa tugas berat dan godaan manis telah menanti siapapun yang terpilih nantinya. Melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban sebagai seorang penyelenggara adalah Mutlak. Jangan sampai Hak-hak seorang penyelenggara (gaji dan Fasilitas) yang besar, malah membuat kita lupa melaksanakan kewajiban sebagai penyelenggara. Justru Gaji dan fasilitas harus di-SYUKUR-i dengan menjaga profesionalitas dan integritas. Apalagi godaan disaat menjadi Korps Penyelenggara Pemilu sangat lah besar, contoh nyata adalah Suap di kabupaten Garut.
Jabatan di KPU dan Bawaslu, bukan jalan mencari kaya. Melainkan jalan pengabdian kepada negara. Menjadi penyelenggara Pemilu itu panggilan hati, bukan karena iming-iming gaji besar ataupun gengsi. Ada tanggungjawab besar menanti seorang penyelenggara pemilu (KPU pun Bawaslu). Baik itu sebagai Komisioner KPU dan panitia turunan dibawahnya, maupun sebagai Panitia Pengawas beserta perangkatnya.
Fiksi atau Realita?
Fiksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan. pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran. Sedangkan Realita adalah (bentuk tidak baku) dari Realitas, yang bermakna kenyataan.
Pertanyaan saat ini, kriteria Penyelenggara Pemilu yang sudah disebutkan didalam Undang-Undang Pemilu sudah-kah terakomodir oleh tim seleksi calon Penyelenggara pemilu? Wallahu'alam, karena pengalaman penulis mengikuti seleksi Calon Penyelenggara Pemilu. Selain hasil tes tertulis dengan metode CAT yang memang langsung diketahui, rangkaian tes selanjutnya (Psikotes, Kesehatan dan wawancara) tidak pernah diumumkan secara terbuka. Kita "dipaksa" mempercayai pemeringkatan nilai oleh tim seleksi. keputusan tim seleksi pun menjadi  kunci kelulusan peserta seleksi.
Keterbukaan hasil tes seleksi calon Penyelenggara Pemilu, hanya pada tataran retorika dan penulis menganggap masih berupa fiksi. Kenapa? Karena penentuan nama calon penyelenggara hanya berdasarkan subjektivitas pikiran masing-masing tim seleksi. Pemeringkatan Hasil tes selain tes tertulis (CAT) tidak pernah dibuka, dan kemudian nama-nama yang menurut pemikiran tim seleksi layak, akan diumumkan tanpa keterangan nilai apapun.
 Apakah hasil pemikiran tim seleksi telah sesuai dengan realita hasil rangkaian tes yang dilaksanakan? Nobody knows except them. Saat ini kita hanya perlu berprasangka baik pada tim seleksi yang memang diangkat dari tokoh masyarakat dan tokoh akademisi. Yang tentunya kredibilitas mereka dipertaruhkan, bila ternyata nama-nama yang mereka seleksi tidak memenuhi kriteria yang termaktub didalam Undang-Undang Pemilihan Umum.
Akhirulkalam, tim seleksi juga manusia yang tak luput dari khilaf dan salah, dan kadang juga bisa kikuk mendengar "HP berdering". Dan Semoga kita mendapatkan penyelenggara pemilu yang lebih baik dari sebelumnya! Hail Timsel!!