Mohon tunggu...
Marthunis Bukhari
Marthunis Bukhari Mohon Tunggu... Guru - A Teacher & School Director

Direktur Sekolah, Guru, Penulis Opini, Suami dan Ayah dari dua anak yang lucu dan manis. Bisa colek saya di FB Marthunis Bukhari, IG @marthunisbukhari.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Problematika Anak, Literasi Keluarga, dan Masa Depan

18 September 2019   19:56 Diperbarui: 18 September 2019   20:25 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sebuah kutipan menarik dalam simposium Select Panel for the Promotion of Child Health, 1981, "Children are one third of our population and all of our future." Anak-anak mengisi sepertiga jumlah ruang populasi kita, dan sejatinya mereka adalah aset bagi masa depan bangsa bahkan dunia.

Jika mereka memperoleh kehidupan yang layak dan semestinya, mereka akan tumbuh menjadi pilar kuat yang akan menopang masa depan bangsa ini di kemudian hari. Namun sebaliknya, jika fase tumbuh kembang mereka direnggut oleh hal-hal yang belum sepatutnya mereka jalani, ibarat bunga yang layu sebelum berkembang, mereka pun akan mengalami hal yang sama, kehilangan fase terbaik kehidupan mereka dan tidak benar-benar tumbuh sebagai seorang manusia sempurna.

Bulan Juli lalu, kita baru saja merayakan Hari Anak Nasional. Di balik perayaan tersebut, terselip doa dan harapan agar anak-anak Indonesia tumbuh membersamai kemajuan negeri ini di masa depan. Namun, hingga saat ini ternyata masih banyak persoalan anak yang menjadi PR bersama untuk diatasi. Setidaknya, ada 3 problematika utama yang masih dihadapi anak Indonesia saat ini; menjadi pekerja di bawah umur, pernikahan dini, dan putus sekolah.

Data pekerja di bawah umur di Indonesia yang dirilis tahun 2017 menunjukkan angka yang mencengangkan, yaitu 1,2 juta anak (beritatagar.id, 21/07/2018). Angka ini setara dengan 1,5 persen dari total populasi anak Indonesia sebesar 84,4 juta jiwa. 

Usia anak-anak yang seharusnya mereka habiskan untuk bersekolah dan bermain, harus mereka gadaikan untuk meraup rupiah demi menghidupi diri mereka sendiri dan keluarga. 

Persoalan menjadi pekerja di bawah umur ini memang dilematis. Di satu sisi, bekerja pada usia ini sangat rentan dengan eksploitasi, bahkan tidak jarang pada akhirnya menjadi komoditas trafficking yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Di sisi lain, jeratan himpitan ekonomi juga akhirnya memaksa mereka untuk bekerja demi membantu agar asap dapur di rumah mereka tetap bisa mengepul.  

Persoalan lain yang mengemuka adalah pernikahan anak usia dini yang terus meningkat dalam beberapa waktu terakhir; mulai dari pernikahan anak SD di Sinjai, Sulawesi Selatan, pernikahan remaja di Bentaeng dan Polewali Mandar merupakan deretan kasus-kasus pernikahan dini yang menghebohkan publik negeri ini (kumparan.com, 09/05/2018).  

Bahkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, angka perkawinan anak di atas 10 persen merata tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Sebaran angka perkawinan anak di atas 25 persen berada di 23 dari 34 provinsi di Indonesia, dan jika diakumulasi, 67 persen wilayah di Indonesia darurat perkawinan anak (kompas.com, 05/09/2018)

Alibi menghindari zina seolah-olah menjadi satu-satunya alasan pembenaran untuk memaklumi fenomena ini. Padahal begitu banyak dampak buruk yang kemudian muncul akibat pernikahan usia dini.

Usia biologis sang ibu yang belum matang mendatangkan konsekuensi tertentu bagi si ibu dan calon anak. Angka risiko kematian ibu dan bayi menjadi lebih besar, dan si calon anak juga rentan memiliki hambatan pertumbuhan. Belum lagi secara kematangan emosi yang masih labil, sangat rentan dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung pada perceraian.

Secara sosial, pernikahan anak usia dini seringkali paralel dengan kemampuan finansial yang belum memadai dikarenakan kemampuan mencari nafkah yang belum mumpuni. Alhasil, secara jangka menengah hingga jangka panjang, hal ini akan melanggengkan garis kemiskinan.

Kemudian, angka partisipasi anak untuk bersekolah pada jenjang SD, SMP dan SMA juga belum begitu menggembirakan, karena angka putus sekolah pada masing-masing jenjang masih cukup tinggi. 

Berdasarkan data yang dirilis Pusat Data Statistik Kemendikbud pada tahun 2017/2018, angka putus sekolah usia SD berjumlah 32.127, SMP 51.190, dan SMA/SMK sebanyak 104.507. 

Hal ini tentu menjadi PR bersama untuk terus mendorong meningkatnya angka partisipasi anak untuk bersekolah di setiap jenjangnya jika kita menginginkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menjadi lebih baik di masa mendatang.

Menilik 3 persoalan anak ini, peranan keluarga menjadi sangat krusial. Keluarga adalah benteng pertama dan utama untuk menghindarkan anak dari bekerja sebelum waktunya, pernikahan yang belum saatnya dan putus sekolah. Lalu, keluarga model seperti apa yang harus dibangun untuk memagari agar hal-hal di atas tidak terjadi?

Sejatinya, keluarga adalah pondasi untuk membangun peradaban sosial masyarakat, makin kuat bangunan keluarga yang dibangun, makin baik pula tatanan sosial masyarakatnya. Salah satu ikhtiar yang dapat ditempuh untuk memanifestasikan hal ini adalah melalui penguatan literasi keluarga. 

Jika secara harfiah literasi dimaknai dengan kemampuan baca dan tulis, namun literasi yang dimaksud disini adalah dalam cakupan makna yang lebih luas, yaitu kompetensi keilmuan berumah tangga yang harus dimiliki seorang suami dan istri. 

Sederhananya, memahami  esensi berkeluarga dan berumah tangga secara benar, agar keluarga yang dibangun dapat memainkan perannya secara baik dan optimal. Hal ini, hanya dapat dicapai apabila sebuah keluarga dibangun melalui formulasi yang tepat, yaitu membangunnya pada usia biologis dan emosi yang sudah matang.

Jika kedua prasyarat ini terpenuhi, ada keyakinan bahwa persoalan-persoalan anak di atas dapat direduksi. Seorang calon ayah dan ibu yang memutuskan untuk membangun keluarga pada usia biologis dan emosi yang sudah matang, meskipun si ayah mungkin belum memiliki pekerjaan yang mapan, namun telah memiliki kemampuan untuk menghidupi ekonomi keluarganya dengan baik sehingga akan menghindarkan anaknya untuk bekerja sebelum waktunya. 

Begitu pun ketika ia menikahkan anaknya kelak, sebagaimana ia memilih untuk menikah pada usia yang tepat, hal yang sama juga pastinya akan diperlakukan kepada anaknya. 

Kemudian, sebagaimana ia meyakini pentingnya pendidikan sebelum berkeluarga dan berumah tangga agar dapat membangun budaya literasi dalam keluarganya, ia juga pasti akan mendorong anaknya untuk bersekolah bukan hanya pada pendidikan dasar dan menengah, namun juga mungkin hingga perguruan tinggi. 

Semoga catatan sederhana ini dapat menjadi lonceng yang mengingatkan kita semua betapa anak adalah pilar yang menopang kemajuan bangsa ini di masa depan. Jika pilar tersebut dibangun dengan baik, maka bangsa ini akan kokoh, begitu juga sebaliknya. Wallahu A'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun