Kemudian, angka partisipasi anak untuk bersekolah pada jenjang SD, SMP dan SMA juga belum begitu menggembirakan, karena angka putus sekolah pada masing-masing jenjang masih cukup tinggi.Â
Berdasarkan data yang dirilis Pusat Data Statistik Kemendikbud pada tahun 2017/2018, angka putus sekolah usia SD berjumlah 32.127, SMP 51.190, dan SMA/SMK sebanyak 104.507.Â
Hal ini tentu menjadi PR bersama untuk terus mendorong meningkatnya angka partisipasi anak untuk bersekolah di setiap jenjangnya jika kita menginginkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menjadi lebih baik di masa mendatang.
Menilik 3 persoalan anak ini, peranan keluarga menjadi sangat krusial. Keluarga adalah benteng pertama dan utama untuk menghindarkan anak dari bekerja sebelum waktunya, pernikahan yang belum saatnya dan putus sekolah. Lalu, keluarga model seperti apa yang harus dibangun untuk memagari agar hal-hal di atas tidak terjadi?
Sejatinya, keluarga adalah pondasi untuk membangun peradaban sosial masyarakat, makin kuat bangunan keluarga yang dibangun, makin baik pula tatanan sosial masyarakatnya. Salah satu ikhtiar yang dapat ditempuh untuk memanifestasikan hal ini adalah melalui penguatan literasi keluarga.Â
Jika secara harfiah literasi dimaknai dengan kemampuan baca dan tulis, namun literasi yang dimaksud disini adalah dalam cakupan makna yang lebih luas, yaitu kompetensi keilmuan berumah tangga yang harus dimiliki seorang suami dan istri.Â
Sederhananya, memahami  esensi berkeluarga dan berumah tangga secara benar, agar keluarga yang dibangun dapat memainkan perannya secara baik dan optimal. Hal ini, hanya dapat dicapai apabila sebuah keluarga dibangun melalui formulasi yang tepat, yaitu membangunnya pada usia biologis dan emosi yang sudah matang.
Jika kedua prasyarat ini terpenuhi, ada keyakinan bahwa persoalan-persoalan anak di atas dapat direduksi. Seorang calon ayah dan ibu yang memutuskan untuk membangun keluarga pada usia biologis dan emosi yang sudah matang, meskipun si ayah mungkin belum memiliki pekerjaan yang mapan, namun telah memiliki kemampuan untuk menghidupi ekonomi keluarganya dengan baik sehingga akan menghindarkan anaknya untuk bekerja sebelum waktunya.Â
Begitu pun ketika ia menikahkan anaknya kelak, sebagaimana ia memilih untuk menikah pada usia yang tepat, hal yang sama juga pastinya akan diperlakukan kepada anaknya.Â
Kemudian, sebagaimana ia meyakini pentingnya pendidikan sebelum berkeluarga dan berumah tangga agar dapat membangun budaya literasi dalam keluarganya, ia juga pasti akan mendorong anaknya untuk bersekolah bukan hanya pada pendidikan dasar dan menengah, namun juga mungkin hingga perguruan tinggi.Â
Semoga catatan sederhana ini dapat menjadi lonceng yang mengingatkan kita semua betapa anak adalah pilar yang menopang kemajuan bangsa ini di masa depan. Jika pilar tersebut dibangun dengan baik, maka bangsa ini akan kokoh, begitu juga sebaliknya. Wallahu A'lam.