Ada sebuah kutipan menarik dalam simposium Select Panel for the Promotion of Child Health, 1981, "Children are one third of our population and all of our future." Anak-anak mengisi sepertiga jumlah ruang populasi kita, dan sejatinya mereka adalah aset bagi masa depan bangsa bahkan dunia.
Jika mereka memperoleh kehidupan yang layak dan semestinya, mereka akan tumbuh menjadi pilar kuat yang akan menopang masa depan bangsa ini di kemudian hari. Namun sebaliknya, jika fase tumbuh kembang mereka direnggut oleh hal-hal yang belum sepatutnya mereka jalani, ibarat bunga yang layu sebelum berkembang, mereka pun akan mengalami hal yang sama, kehilangan fase terbaik kehidupan mereka dan tidak benar-benar tumbuh sebagai seorang manusia sempurna.
Bulan Juli lalu, kita baru saja merayakan Hari Anak Nasional. Di balik perayaan tersebut, terselip doa dan harapan agar anak-anak Indonesia tumbuh membersamai kemajuan negeri ini di masa depan. Namun, hingga saat ini ternyata masih banyak persoalan anak yang menjadi PR bersama untuk diatasi. Setidaknya, ada 3 problematika utama yang masih dihadapi anak Indonesia saat ini; menjadi pekerja di bawah umur, pernikahan dini, dan putus sekolah.
Data pekerja di bawah umur di Indonesia yang dirilis tahun 2017 menunjukkan angka yang mencengangkan, yaitu 1,2 juta anak (beritatagar.id, 21/07/2018). Angka ini setara dengan 1,5 persen dari total populasi anak Indonesia sebesar 84,4 juta jiwa.Â
Usia anak-anak yang seharusnya mereka habiskan untuk bersekolah dan bermain, harus mereka gadaikan untuk meraup rupiah demi menghidupi diri mereka sendiri dan keluarga.Â
Persoalan menjadi pekerja di bawah umur ini memang dilematis. Di satu sisi, bekerja pada usia ini sangat rentan dengan eksploitasi, bahkan tidak jarang pada akhirnya menjadi komoditas trafficking yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Di sisi lain, jeratan himpitan ekonomi juga akhirnya memaksa mereka untuk bekerja demi membantu agar asap dapur di rumah mereka tetap bisa mengepul. Â
Persoalan lain yang mengemuka adalah pernikahan anak usia dini yang terus meningkat dalam beberapa waktu terakhir; mulai dari pernikahan anak SD di Sinjai, Sulawesi Selatan, pernikahan remaja di Bentaeng dan Polewali Mandar merupakan deretan kasus-kasus pernikahan dini yang menghebohkan publik negeri ini (kumparan.com, 09/05/2018). Â
Bahkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, angka perkawinan anak di atas 10 persen merata tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Sebaran angka perkawinan anak di atas 25 persen berada di 23 dari 34 provinsi di Indonesia, dan jika diakumulasi, 67 persen wilayah di Indonesia darurat perkawinan anak (kompas.com, 05/09/2018)
Alibi menghindari zina seolah-olah menjadi satu-satunya alasan pembenaran untuk memaklumi fenomena ini. Padahal begitu banyak dampak buruk yang kemudian muncul akibat pernikahan usia dini.
Usia biologis sang ibu yang belum matang mendatangkan konsekuensi tertentu bagi si ibu dan calon anak. Angka risiko kematian ibu dan bayi menjadi lebih besar, dan si calon anak juga rentan memiliki hambatan pertumbuhan. Belum lagi secara kematangan emosi yang masih labil, sangat rentan dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung pada perceraian.
Secara sosial, pernikahan anak usia dini seringkali paralel dengan kemampuan finansial yang belum memadai dikarenakan kemampuan mencari nafkah yang belum mumpuni. Alhasil, secara jangka menengah hingga jangka panjang, hal ini akan melanggengkan garis kemiskinan.