Akira bergegas melangkahkan kakinya menuju “Talky Talk Lounge” yang terletak di ujung jalan. Langit senja perlahan berganti menjadi kegelapan malam. Sudah hampir pukul setengah tujuh saat ia melirik jam tangannya. Tiga tahun hampir berlalu sejak terakhir kali ia berkunjung ke kafe itu bersama Satria. Ia dan Satria saling mengenal satu sama lain sejak tahun pertama kuliah. Persahabatan mereka terus berlanjut hingga lulus dan menempuh karirnya masing-masing.
Masih jelas di ingatannya, saat mereka berdua kerap mengagumi kecantikan para mahluk manis yang lalu-lalang di depan kafe “Talky Talk Lounge”. Lokasi “Talky Talk Lounge” memang berada tepat di seberang kampus fakultas Ekonomi, yang merupakan “gudang”nya mahasiswi-mahasiswi cantik nan modis. Jika awal bulan tiba, ia bersama Satria biasanya akan menyempatkan diri berkunjung ke sana. Sekedar memanjakan diri, nongkrong, atau sekedar refreshing melepas penat. Kafe “Talky Talk Lounge” merupakan simbol kemewahan bagi anak kos seperti mereka kala itu. Sebuah kemewahan yang hanya bisa dinikmati saat awal bulan saja, tepatnya ketika kiriman dari orang tua mereka baru saja mendarat mulus di rekening masing-masing.
Dari kejauhan, Akira melihat Satria telah menempati salah satu sofa empuk berwarna merah yang terletak di sudut ruangan. Setelah tiga tahun berlalu, ternyata seleranya tidak berubah. Satria selalu memilih tempat duduk no. 07, persis terletak di ujung dan berada tepat di sisi kaca jendela. Setibanya di dalam kafe, Akira langsung menuju meja no. 07. Satria segera bangkit berdiri dari tempat duduknya menyambut kedatangan Akira, sahabat lamanya.
“Haiiii, Bro!” Satria menepuk-nepuk bahu Akira. “Wah! Keren sekali sobatku ini sekarang! Sudah jadi orang kantoran! Berjas!” ujarnya sambil tertawa lebar.
“Hehehe…masih jadi ‘kuli’nya orang nih, Bro!” Jawab Akira sambil melepaskan jasnya, lalu meletakkannya di sofa. Ia melemparkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan. Beberapa mahasiswi tak mampu menyembunyikan tatapan kekaguman mereka ketika melihat dua orang pria dewasa di meja no. 07 itu. Beberapa di antaranya tampak berbisik-bisik satu sama lain.
Penampilan Satria dan Akira tidak mencerminkan kebanyakan mahasiswa yang kerap berseliweran di “Talky Talk Lounge”. Penampilan mereka yang tinggi, tegap dan atletis, serta pembawaan yang dewasa, terlihat cukup menonjol di antara para pengunjung kafe sore itu. Dua orang profesional muda yang nongkrong di kafe kelas mahasiswa. Sebuah pemandangan yang tak biasa.
“Suasananya masih sama saja ya …” kata Akira.
“Beda dong!” tukas Satria. “Pengunjungnya rata-rata masih anak kuliahan semua. Tidak seperti kita berdua yang sudah Om-Om…. Hehehe.” Satria terkekeh.
“Ah, tapi saya sih masih berjiwa muda kok!” Akira tersenyum jahil. “Pesan dulu saja deh!” Akira menjentikkan jarinya ke atas.
Beberapa detik kemudian, seorang pelayan menghampiri mereka. Tak perlu lama untuk menelusuri buku menu di hadapan mereka. Akira memesan Black Coffee, sedangkan Satria memesan Mocca Frappe.
Setelah pelayan itu pergi, mereka berdua pun hanyut dalam obrolan ngalor-ngidul khas teman lama. Mulai dari bernostalgia pada zaman kuliah dahulu, hingga membicarakan aktivitas dan pekerjaan masing-masing selama tiga tahun terakhir, Tak lama setelah lulus kuliah, Akira diterima bekerja di salah satu perusahaan farmasi ternama. Berbekal latar belakang pendidikannya sebagai seorang sarjana Kimia, ia fasih menjelaskan berbagai macam jenis obat-obatan beserta kandungan kimiawinya. Karakternya yang supel dan kelihaiannya berkomunikasi membawanya ke jenjang karir yang semakin tinggi. Ia baru saja dipromosikan menjadi seorang Sales Manager.