Baru-baru ini dihebohkan dengan Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran tahun 2024. RUU Penyiaran telah menjadi topik hangat di kalangan media, masyarakat, dan akademisi. Diusulkannya Revisi Undang-Undang (RUU) ini memiliki tujuan untuk memperbarui regulasi penyiaran di Indonesia, yang dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan teknologi dan dinamika sosial saat ini. Namun, keluaran RUU ini banyak pihak yang merasa lebih banyak membawa dampak negatif daripada positif, terutama mengancam dan membungkam hal yang berkaitan dengan kebebasan pers dan independensi media. Â
Pembungkaman Media
Pembungkaman media dalam RUU Penyiaran seringkali merujuk pada upaya untuk mengontrol atau membatasi kebebasan pers dan ekspresi di media penyiaran. RUU memberikan kewenangan berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menentukan konten media mana yang layak disiarkan. Alasan dibalik ini bahwa diperlukan langkah untuk memastikan kepada konten yang disiarkan tidak merusak moral dan budaya bangsa serta tidak membuat keresahan masyarakat. Namun, kabar ini berpotensi mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan sensor berlebihan.Â
Sejumlah pasal yang akan sangat berpotensi digunakan oleh alat kekuasaan untuk membatasi kebebasan pers dan partisipasi publik. Pasal yang menjadi sorotan adalah pasal 50 B ayat (2) huruf c terkait larangan liputan investigasi jurnalistik. Pasal ini tentu merugikan masyarakat karena investigasi jurnalistik menjadi kanal alternatif untuk membongkar praktik kejahatan, pemberantas korupsi, dan penyimpangan tindakan pejabat publik. Kekhawatiran dengan larangan ini akan membungkam suara kritik dan menghambat penegakan hukum. Larangan penayangan investigasi bertentangan dengan pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional, tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelanggaran penyiaran.Â
Salah satu pada Pasal 1 Ayat (4), Ayat (9), Ayat (16), dan Ayat (17) menjelaskan bahwa konten siaran adalah materi siaran digital yang diproduksi oleh penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau penyelenggara platform teknologi penyiaran lainnya. KPI bukan hanya mengatur lembaga penyiaran konvensional seperti TV dan radio, tetapi UU ini akan mengatur konten siaran. Jenis konten yang akan diatur adalah siaran suara dan suara gambar. Sehingga hal ini akan berpotensi mengontrol siaran maupun penyiaran digital, mulai dari layanan OTT seperti Netflix, Viu, Prime, dan lain sebagainya. Hingga platform user generated content seperti Youtube, Instagram, dan Tiktok. Jadi ini jelas merupakan dampak buruk bagi banyak pihak, mulai dari jurnalis, musisi, pembuat film, hingga para kreator konten. Kerja-kerja mereka mustahil dijalankan tanpa kebebasan.
Salah satu perbincangan diantara beberapa pasal lainnya yaitu pada Pasal 34F terkait harus memenuhi Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS). Segala konten siaran memiliki keharusan konten kreator maupun media jurnalistik dalam memverifikasi kepada KPI. Pasal ini juga dianggap bertabrakan dengan UU ITE yang mengatur konten digital. Pada intinya, Pasal 34F memberikan wewenang berlebih kepada KPI dan mempersempit kegiatan jurnalisme dan konten kreator. Hal ini dinilai membatasi kreativitas dan kebebasan berekspresi masyarakat.Â
Hal ini membawa penolakan dengan berbagai aksi protes dan diskusi publik yang dilakukan oleh komunitas jurnalis ataupun pers mahasiswa. Keduanya merupakan kelompok yang sangat vokal dalam penolakan RUU Penyiaran tahun ini. Pers mahasiswa seringkali menjadi suara kritis terhadap kebijakan pemerintah, mewakili segenap mahasiswa di Indonesia, dan RUU ini dirasa akan mengancam independensi pers mahasiswa. Kebebasan pers merupakan pilar demokrasi yang harus dilindungi, bukan dibatasi. Â
Perlindungan Kepentingan Publik
Disisi lain, era informasi digital yang serba cepat, arus berita palsu dan konten yang tidak bertanggung jawab memang menjadi masalah serius. Regulasi yang lebih ketat dapat membantu mengurangi dampak negatif dari informasi yang akan merugikan publik.Â
Tulus Santoso, selaku Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat mengatakan bahwa melalui KPI pengawasan terhadap konten di televisi dan radio telah dilakukan, tapi untuk konten di media baru, justru kecolongan. Konten yang tersebar di media baru telah kami tinjau tidak ada aturannya. Sedangkan di televisi dan radio, aturannya sangatlah ketat, tidak bisa sembarangan menyiarkan asal-asalan.Â
Wakil Ketua Komisi I DPR RI menerangkan bahwa tayangan di media baru banyak ditonton oleh masyarakat karena tidak ada pengawasan sama sekali. Jadi konten di media baru akan diatur. Hal itu semua tentang penyiaran tengah dibahas dalam revisi, kita menginginkan ada perlakuan yang sama bagi semua platform media, agar prinsip keadilan dapat terjaga.
Koalisi Tolak RUU Penyiaran
Penolakan terhadap RUU Penyiaran datang dari berbagai kalangan. Mereka mengkritik beberapa pasal dalam RUU yang dianggap melanggar kebebasan pers dan bertentangan dengan UU Pers. Apalagi Dewan Pers meminta kepada DPR RI untuk merombak pasal-pasal mengenai RUU Penyiaran yang bertentangan dengan kemerdekaan pers dan tumpang tindih dengan UU No 40 Tentang Pers. Aksi menyuarakan penolakan RUU Penyiaran mengajak puluhan jurnalis dan mahasiswa yang tergabung dalam koalisi jurnalis dan mahasiswa di masing-masing daerah dengan tegas menuntut pembatalan pasal-pasal yang bermasalah.Â
Dalam aksi tersebut, massa menyatakan menolak pasal yang memberikan wewenang berlebihan kepada pemerintah untuk mengontrol konten siaran. Pasal tersebut berpotensi digunakan untuk menyensor dan menghalangi penyampaian informasi objektif dan kritis. Aksi penolakan ini menuntut Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera merevisi pasal-pasal yang membredel kebebasan pers dan kebebasan berekspresi masyarakat. Seluruh elemen masyarakat bersatu untuk memperjuangkan kebebasan pers sebagai pilar penting dalam demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H