Mohon tunggu...
Martharina Situmorang
Martharina Situmorang Mohon Tunggu... Freelancer - Undergraduate law student

Final year law student

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Waris Masyarakat Patrilineal dalam Adat Manggarai

25 Februari 2021   19:33 Diperbarui: 25 Februari 2021   19:36 2215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

HUKUM WARIS MASYARAKAT PATRILIENAL DALAM ADAT MANGGARAI

(Anotasi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1130 K / Pdt / 2017)

ABSTRACT

Inheritance law cannot be separated from the entire customary law adhered to by the people in Indonesia and inheritance law is also part of civil law in Indonesia. The patrilineal system is adopted by most of the indigenous peoples in Indonesia, this system regulates the flow of descent from the father or son. The patrilineal inheritance system follows the father's line, so only boys are entitled to inheritance from the heir or their parents who have passed away, while girls do not have inheritance rights at all. 

This customary law has existed and has been in effect for a long time, one of which is the Manggarai indigenous people as adherents of the patrilineal system. This is not in accordance with the jurisprudence stipulated by the Supreme Court No. 179K / Sip / 1961 which states the recognition of the equal inheritance rights of women and men. There are also several decisions regarding the recognition of inheritance rights to women such as, Decision Number 121 RS / SIP / 81, Kupang District Court Decision Number 68 / PDT.G / 2008 / PN.KPG, and MARI Cassation Decision Number 1033K / 1975 juncto. These decisions and jurisprudence are used as material for legal considerations in deciding cases related to the recognition of women's rights in obtaining status as heirs of the Manggarai indigenous community. 

This decision annotation is carried out to determine the background of the judge's consideration in giving the Supreme Court Decision Number 1130 K / Pdt / 2017 which is incompatible with the application of the customary inheritance law of Manggarai and the impact on effectiveness in distributing the inheritance of the Manggarai indigenous people The form of this writing is scientific writing that requires supporting data. So that the intended data can be obtained, a certain method is used, namely the doctrinal research method. The annotation of this decision is written using the doctrinal research method by making jurisprudence and court decisions as objects of study in this research which aims to provide an insight into the application of law in Indonesia related to the inheritance law of the patrilineal community in Manggarai customs by conducting a case study of the Supreme Court Decision No. K / Pdt / 2017.

Keywords: inheritance rights, Patrilineal.

ABSTRAK

Hukum waris tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan hukum adat yang dianut oleh masyarakat di Indonesia dan hukum waris juga merupakan bagian dari hukum perdata di Indonesia. Sistem patrilineal dianut oleh sebagian besar masyarakat adat di Indonesia, sistem tersebut mengatur alur keturunan berasal dari ayah atau laki-laki. Sistem kewarisan patrilineal mengikuti garis keturunan ayah, sehingga hanya anak laki-laki saja yang berhak atas warisan harta peninggalan pewaris atau orang tuanya yang telah meninggal dunia, sedangkan anak perempuan sama sekali tidak memiliki hak waris. Hukum adat tersebut sudah ada dan berlaku sejak dulu, salah satunya masyarakat adat manggarai sebagai penganut sistem patrilineal. 

Hal tersebut tidak sesuai dengan yurisprudensi yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung No.179K/Sip/1961 yang menyatakan pengakuan atas kesetaraan hak waris terhadap perempuan dan laki-laki. Terdapat juga beberapa putusan terhadap pengakuan hak waris kepada perempuan seperti, Putusan Nomor 121 RS/SIP/81, Putusan Pengadilan Negeri Kupang Nomor 68/PDT.G/2008/PN.KPG, dan Putusan Kasasi MARI Nomor 1033K/1975 juncto. Putusan dan yurisprudensi tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan hukum dalam memutus perkara terkait pengakuan hak perempuan dalam memperoleh status sebagai ahli waris masyarakat adat manggarai. 

Anotasi putisan ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang pertimbangan hakim dalam memberikan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1130 K / Pdt / 2017 yang tidak sesuai dalam penerapan hukum waris adat manggarai dan dampak yang ditimbulkan terhadap efektivitas dalam pembagian harta warisan masyarakat adat Manggarai. Bentuk dari pada penulisan ini adalah karya tulis ilmiah yang membutuhkan data penunjang. Agar data yang dimaksud dapat diperoleh, maka dilakukan metode tertentu yaitu metode penelitian doktrinal. Anotasi putusan ini ditulis dengan metode penelitian doktrinal dengan menjadikan Yurisprudensi dan putusan pengadilan sebagai objek kajian dalam penelitian ini yang bertujuan untuk memberikan pandangan terhadap penerapan hukum di Indonesia yang berkaitan dengan hukum waris masyarakat patrilineal dalam adat Manggarai dengan melakukan studi kasus terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 1130 K / Pdt / 2017.

Kata Kunci: Hak Waris, Patrilineal,

1. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beragam suku bangsa dan bahasa. Budaya dan adat yang berbeda memimbulkan aturan yang berbeda-beda, salah satunya peraturan mengenai ahli waris. Pembagian harta warisan berdasarkan hukum adat berbeda disetiap daerah karena menyesuaikan dengan kondisi, prinsip dan norma yang tertanam dalam diri masyarakat adat itu sendiri. Sehingga hukum waris tidak dapat dipisahkan dari ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia akan mengalami kematian. Dalam hal tersebut, harta kekayaan seseorang yang telah meninggal akan dialihkan kepada ahli waris atau orang yang memiliki hak atas harta kekayaan tersebut dan juga dapat diwariskan sejak pewaris masih hidup.

Ahli waris dalam sistem patrilineal pada asasnya menjadikan laki-laki sebagai penentu garis keturunan atau mengikuti garis keturunan dari ayah. Sehingga yang berhak menjadi ahli waris adalah laki-laki sedangkan perempuan secara ideologisnya bukan merupakan ahli waris. Masyarakat adat di Indonesia yang menganut sistem ini biasa ditemukan pada Suku Batak, Bali, Manggarai, dan lain-lain. Dalam hal ini kemungkinan bagi wanita menjadi ahli waris itu ada namun sangat kecil.

Seperti dalam kasus ini, dimana warisan dari almarhum Bapak Yakobus Go yang belum dibagi waris, namun dalam Hukum Waris Adat Manggarai yang diakui atau berhak menerima warisan, melanjutkan, dan mengelola harta orang tua adalah anak laki-laki (ata one). Kemungkinan anak perempuan untuk menjadi ahli waris atau mendapatkan warisan sangat kecil. Namun pada kenyataannya, tergugat yang merupakan saudari perempuan penggugat ingin memiliki seluruhnya dari objek yang disengketakan tersebut dan saat ini tergugat sudah menguasai tanah dan bangunan yang seharusnya milik penggugat atau anak laki-laki almarhum Bapak Yakobus Go, bersadarkan ahli waris dalam hukum waris adat manggarai. Penggugat telah mengusahakan agar permasalahan sengketa ini diselesaikan semaksimal mungkin secara baik-baik dan kekeluargaan namun perdamaian tersebut tidak dapat dicapai dan permasalahan tidak dapat diselesaikan. Demi menghormati hukum yang berlaku di Indoensia, penggugat memilih untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui jalur hukum.

Melalui anotasi ini, penulis akan membahas 3 (tiga) permasalahan hukum mengenai sengketa ahli waris. Pertama penulis akan membahas tentang hukum waris adat patrilineal dalam masyarakat adat Manggarai. Kedua, jurnal ini akan membahas mengenai penyelesaian sengketa ahli waris yang dapat dijadikan sebagai acuan atau pertimbangan oleh pihak-pihak yang berperkara terhadap kasus sengketa ahli waris. ketiga, di dalam tulisan ini membahas mengenai latar belakang pertimbangan hakim dalam memberikan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1130 K / Pdt / 2017 dan implikasi putusan Mahkamah Agung terhadap pemohon, termohon, dan juga masyarakat terutama masyarakat adat Manggarai.

2. Posisi Kasus

Anotasi putusan ini ditulis berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1130 K / Pdt / 2017 yang dimohonkan oleh Antonius Megor, Bernadeta Mamus, Yulianus Endera Houw, Pius Maximilian Kolbe, dan Paulus Fon untuk melawan saudara perempuannya yaitu, Viktoria Leni, Petronela Ijul, Fransiska Tuet, dan Monika Sofia Dingut. Para pemohon dan termohon dalam kasasi ini sebelumnya sudah berperkara di Pengadilan Negeri Ruteng yang terdaftar dalam Putusan Nomor 7/Pdt.G/2016/PN Rtg dan juga Pengadilan Tinggi Kupang yang telah terdaftar dalam Putusan Nomor 148/PDT./2016/PT KPG. Seluruh putusan tersebut memutus perkara mengenai sengketa ahli waris dengan objek yang disengketakan berupa tanah dan 2(dua) bangunan semi permanen diatasnya.

Musyawarah yang dilakukan oleh para majelis hakim Mahkamah Agung pada hari Senin tanggal 10 Juli 2017, memutuskan bahwa permohonan kasasi oleh Antonius Megor, Bernadeta Mamus, Yulianus Endera Houw, Pius Maximilian Kolbe, dan Paulus Fon sebagai para pemohon kasasi untuk pembatalan Putusan Nomor 148/PDT./2016/PT KPG, ditolak oleh Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung sebagai ketua majelis hakim Mahkamah Agung.

2.1 Permohonan dan Pokok Permohonan

Pemohon kasasi dalam perkara sengketa ahli waris ini terdiri dari 5 (lima) orang, yaitu Antonius Megor, Bernadeta Mamus, Yulianus Endera Houw, Pius Maximilian Kolbe, dan Paulus Fon melawan Viktoria Leni, Petronela Ijul, Fransiska Tuet, dan Monika Sofia Dingut yang kedua pihak tersebut merupakan anak kandung dari alm. Yakobus Go. Penggugat sebelumnya sudah sepakat bahwa tanah dan bangunan yang merupakan warisan dari orang tuanya hendak dijual kemudian hasil dari penjualan tersebut akan dibagi rata kepada semua ahli waris atau anak laki-laki (ata one) sesuai dengan hukum waris adat manggarai. Penggugat juga dengan sukarela akan memberikan sebagian dari hasil penjualan tersebut kepada saudara perempuannya (widang). Tetapi tergugat ingin memiliki seluruhnya dari objek yang disengketakan tersebut dan saat ini tergugat sudah menguasai tanah dan bangunan yang seharusnya milik penggugat atau saudara laki-lakinya bersadarkan ahli waris dalam hukum adat manggarai.

Sebelum menempuh upaya hukum ke Pengadilan Negri Ruteng, penggugat telah mengusahakan agar permasalahan sengketa ini diselesaikan semaksimal mungkin secara baik-baik dan kekeluargaan. Mulai dari meminta orang tua-tua, Lurah Mbaumuku, dan Ketua Komisi JPIC Keuskupan Ruteng Romo Marten Jenarut untuk memberikan pemahaman namun ditolak. Tergugat juga menolak panggilan Tu`a Adat Gendang Pitak selaku orang yang dituakan secara adat sehingga tidak tercapai perdamaian dan permasalahan tidak dapat diselesaikan. Demi menghormati hukum yang berlaku, penggugat memilih untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui jalur pengadilan yang merupakan mekanisme terakhir yang ditempuhnya setelah tidak bisa menyelesaikan perkara melalui mekanisme lain. Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negri Ruteng. Hakim Pengadilan Negri Ruteng memberikan Putusan Nomor 7/Pdt.G/2016/PN Rtg dan menyatakan bahwa Antonius Megor, Bernadeta Mamus, Yulianus Endera Houw, Pius Maximilian Kolbe, dan Paulus Fon atau sebagai penggugat dalam kasus ini merupakan ahli waris terhadap objek yang disengketakan. Sementara Viktoria Leni, Petronela Ijul, Fransiska Tuet, dan Monika Sofia Dingut yang merupakan tergugat hanya diakui haknya sebagai anak kandung dari alm. Yakobus Go. Kemudian Hakim Pengadilan Tinggi Kupang memberikan Putusan Nomor 148/PDT./2016/PT KPG yang merupakan pembatalan dari Putusan Nomor 7/Pdt.G/2016/PN Rtg setelah tergugat mengajukan permohonan banding terhadap putusan tersebut.

Merasa dirugikan dengan putusan banding oleh Pengadilan Tinggi Kupang atas pembatalan Putusan Nomor 7/Pdt.G/2016/PN Rtg, terbanding kemudian kembali mengajukan permohonan kasasi karena merasa dirugikan dan mengabaikan hukum adat manggarai dengan adanya putusan sebelumnya. Dalam memori kasasinya, pemohon menyatakan bahwa para pemohon merupakan ahli waris yang sah dari alm. Yakobus Go atas tanah dan bangunan semi permanen yang terletak di Jalan Wae Ces Nomor 58, Kelurahan Mbaumuku, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai dengan luas 18 x 38 m merupakan warisan dari Alm. Bapak Yakobus Go meskipun belum dibagi waris, hal ini telah disepakati berdasarkan hukum waris adat manggarai.

Bahwa secara teori, Indonesia mengakui hukum yang dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: Hukum tertulis sebagaimana dalam peraturan perundangundangan dan hukum tidak tertulis yang terdapat dalam masyarakat adat termasuk di dalamnya adalah Hukum Adat. Pengakuan atas hukum tidak tertulis dalam Pasal 28 ayat (1) Undang Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa "Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Pengadilan Tinggi Kupang telah lalai dan salah dalam menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Hal-hal yang mendasari alasan diatas, maka para pemohon mengajukan permohonan kasasi untuk pembatalan Putusan Nomor 148/PDT./2016/PT KPG ke Mahkamah Agung.

2.2. Amar Putusan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung memiliki wewenang dalam pembatalan suatu putusan atau penetapan dari pengadilan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 30 ayat (1) Undang Undang RI Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 juncto Undang Undang RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Alasan Kasasi secara limitatif dan enumerative, yaitu: Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, salah dalam menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Hakim dalam mengadili perkara ini mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon, namun alasan tersebut tidak dapat dibenarkan sebab dalam pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Kupang "Menimbang, bahwa dalil yang mengatakan pada masyarakat Manggarai hanya anak laki-laki yang mendapatkan warisan, ini yang perlu dibuktikan lebih dahulu dan apakah tidak bertentangan politik hukum nasional" lalu segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak kecualinya dan juga, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Indonesia, kemudian setiap orang tanpa diskriminasi, berhak memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak sesuai hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil . Kemudian Mahkamah Agung RI sejak putusan Nomor 179 K/SIP/1961 tanggal 23 Oktober yang telah konsisten dan menjadikan yurisprudensi tetap yang menyatakan bahwa hak perempuan dan laki-laki setara dalam pembagian warisan. Dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1048 K/Pdt/2012, bahwa hukum adat (waris) bersifat dinamis, maka apabila terdapat hukum adat yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti hukum adat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan laki-laki, maka hukum adat tersebut tidak dapat dipertahankan lagi.

Berdasarkan uraian dan pertimbangan diatas, bahwa dalil utama Para Penggugat tidak sejalan dengan konstitusi, peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI. Dengan demikian Mahkamah Agung memiliki wewenang untuk melakukan pembatalan atas putusan Pengadilan Negeri Ruteng tanggal 4 Oktober 2016 Nomor 7/Pdt.G/2016/PN.Rtg. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Antonius Megor, dkk. Selain itu pemohon kasasi dibebankan untuk membayar biaya perkara di tingkat kasasi ini sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

3. Yurisprudensi Mahkamah Agung yang Bertentangan Dengan Hukum Waris Adat Manggarai Sebagai Masyarakat Adat Patrilineal

Pada prinsip masyarakat patrilineal, Anak perempuan bukan merupakan ahli waris atas harta atau peninggalan orangtuanya dan tidak memiliki hak untuk memiliki dan meneruskan peninggalan tersebut. Namun jika ada hukum adat setempat memperbolehkan anak perempuan sebagai pengganti kedudukan anak lelaki pasti karena memiliki alasan tertentu. Salah satunya jika perempuan tersebut telah berstatus janda dari pewaris atau adanya hak atas peninggalan suaminya. Seperti dalam putusan Mahkamah Agung Tanggal 17 Januari 1959 No. 320 K/Sip/1958, berdasarkan hukum adat Tapanuli, Istri dapat mewarisi harta dari suami yang meninggal dunia. Anak laki-laki yang akan menjadi ahli waris namun belum dewasa dipelihara dan berada dalam pengampuan ibunya dan karena anak berada dibawah pengampuan ibu, maka harta kekayaan anak dikuasai dan diurus ibunya. Perempuan yang diberi kedudukan sebagai ahli waris juga karena statusnya sebagai anak tunggal atau tidak memiliki saudara kandung laki-laki, namun ini hanya terdapat dibeberapa hukum waris adat saja.

3.1. Pembagian Hak Waris terhadap Perempuan Berdasarkan Hukum Waris Adat Manggarai

Masyarakat Adat Manggarai merupakan salah satu masyarakat adat di Indonesia yang menganut sistem patrilineal atau mengikuti garis keturunan ayah. Sebagai penganut sistem patrilineal, hukum waris adat manggarai menyatakan bahwa anak perempuan (ata pe`ang) tidak memiliki hak untuk mewarisi harta benda orang tuanya karena anak perempuan akan mengikuti klan suaminya (kawin keluar) dan juga akan mendapat warisan dari suaminya. Nilai ini mengandung prinsip keadilan demi tercapainya keseimbangan dan tidak boleh mendapat 2 (dua) sumber waris. Prinsip ini sudah ada dan ditaati sejak dahulu kala oleh masyarakat adat manggarai. Perempuan adat manggarai memiliki kemungkinan untuk mendapatkan harta benda orantuanya namun, bukan melalui warisan atau sebagai ahli waris melainkan melalui Wida (pemberian bersyarat) dan Widang (pemberian tanpa syarat) sehingga menjadikan hukum adat manggarai bersifat dinamis atau tidak kaku.

3.2. Penyelesaian Sengketa Ahli Waris Masyarakat Adat Manggarai

Dalam hukum adat manggarai telah mengatur bahwa anak perempuan (ata pe'ang) sama sekali tidak berhak menjadi ahli waris terhadap harta orang tuanya karena pada akhirnya anak perempuan akan menikah dan mengikuti klan suami dan dimungkinkan akan mendapat warisan dari suami. Hal ini agar anak perempuan tidak mendapat warisan dari 2 (dua) sumber waris, untuk menciptakan kesetaraan atau keadilan dalam masyarakat adat manggarai.

Para penggugat yang merupakan anak laki-laki dari alm. Yakobus Go, berdasarkan hukum waris adat merupakan ahli waris terhadap objek yang disengketakan meskipun warisan belum dibagi. Penggugat pun berinisiatif untuk membagi warisan tersebut kepada saudari perempuannya. Dalam Hukum Adat Manggarai terkait warisan, jika anak laki-laki memberikan sebagian warisannya kepada saudari perempuan, itu merupakan hal yang patut disyukuri karena itu membuktikan bahwa hubungan persaudaraan mereka sangat erat. Sementara tergugat yang merupakan anak perempuan dari alm. Yakobus Go dan sudah menikah tidak menyetujui hal itu dan saat ini menguasai warisan yang disengketakan. Hal ini sangat tidak sesuai dengan Hukum Waris Adat Manggarai dan mereka sebagai masyarakat adat manggarai tidak menaati peraturan Hukum Adat sehingga salah satu pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa ahli waris tersebut memilih menyelesaikan kasus ini melalui jalur persidangan.

Melalui gugatan para penggugat, Pengadilan Negeri Ruteng memutus dan mengabulkan gugatannya. Kemudian terhadap putusan Pengadilan Negeri Ruteng, dibatalkan oleh PT Kupang melalui permohonan banding yang diajukan oleh tergugat. Putusan yang dikeluarkan oleh PT Kupang terhadap pembatalan putusan sebelumnya, oleh para penggugat kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. MA berpendapat bahwa konstitusi Negara menjamin segala warga Negara bersamaan dalam kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Bahwa Yurisprudensi dan praktik peradilan memberikan pengakuan hak waris kepada perempuan atas harta peninggalan orang tuanya. Dalam perkembangan hukum waris adat yang bersifat dinamis dan hukum adat termasuk hukum waris adat, jika dalam peraturan itu terdapat aturan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk hukum adat yang tidak mengakui hak perempuan, maka Hukum Adat tersebut tidak dapat dipertahankan lagi. Sehingga Mahkamah Agung pada putusan akhir, memutuskan untuk menolak permohonan tersebut dan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Kupang.

4. Implikasi putusan Mahkamah Agung terhadap masyarakat Manggarai

Dasar pertimbangan oleh hakim dalam memutus sebuah perkara memiliki pengaruh yang besar terhadap hukum dan masyarakat Indonesia kedepannya. Sehingga putusan hakim harus memenuhi rasa keadilan dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal itu harus terwujud karena putusan yang dikeluarkan oleh hakim akan mempunyai konsekuensi yang luas, tidak hanya konsekuensi yang berkaitan dengan para pihak yang bersengketa namun juga kepada masyarakat secara luas. Melalui putusan Mahkamah Agung dalam memutus perkara sengketa ahli waris masyarakat adat Manggarai ini, secara langsung akan memberikan dampak yang besar bagi masyarakat Manggarai. Dengan adanya putusan ini tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan pro dan kontra diantara masyarakat terutama dalam penentuan ahli waris masyarakat Manggarai. Yurisprudensi Mahkamah Agung No.179K/Sip/1961 yang dijadikan sebagai salah satu pertimbangan hukum dalam mengeluarkan puutusan Nomor 1130 K / Pdt / 2017 dinilai bertentangan dengan hukum adat masyarakat Manggarai dan berdampak besar terutama bagi kaum laki-laki. Dengan adanya kasus yang diputus melalui yurisprudensi tersebut, jika suatu saat timbul perkara serupa, pihak perempuan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dan oleh hakim merujuk kepada yurisprudensi ini, yaitu perempuan dan laki-laki dalam pembagian hak waris memiliki kedudukan yang sama.

Hal ini secara langsung menyingkirkan eksistensi dari aturan yang ada dalam hukum adat yang berlaku di masyarakat terutama masyarakat manggarai. Sementara dalam Undang-Undang juga mengatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga memunculkan pandangan baru dan berbeda terhadap masyarakat adat manggarai dalam pembagian warisan, dimana anak perempuan juga berhak menjadi ahli waris atas harta benda orang tuanya. Sementara masyarakat adat manggarai menganut sistem patrilineal dan hal ini dinilai tidak sesuai dengan sistem yang dianut masyarakat patrilineal. Dalam mengeluarkan yurisprudensi Mahkamah Agung ini, hanya berdasarkan hukum yang berlaku bagi pihak yang terlibat dalam suatu perkara tertentu. Keputusan hakim hanya mengikat bagi para pihak yang diadili dalam suatu kasus oleh putusan yang bersangkutan, dan tidak mengikat bagi orang lain.

5. Kesimpulan

Dalam putusan yang menjelaskan bahwa Masyarakat Manggarai menganut sistem patrilineal, sehingga dalam penentuan ahli waris hanya anak laki-laki yang menjadi ahli waris yang sah berdasarkan hukum waris adat tersebut. Hal itu ditolak secara langsung oleh Mahkamah Agung dan mengubah pandangan dari hukum adat tersebut bahwa anak laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama tanpa diskriminasi termasuk dalam penentuan ahli waris. Mahkamah Agung tidak konsisten dalam memutus perkara sengketa ahli waris Putusan Mahkamah Agung Nomor 1130 K / Pdt / 2017. Sementara dalam Putusan Nomor 2824 K/Pdt/2017 yang memutus perkara mengenai sengketa waris terhadap hukum adat Bali. Penggugat merupakan seorang laki-laki dan memiliki tiga saudara perempuan. Karena menganut sistem patrilineal, ketiga saudara perempuannya tidak berhak atas warisan orang tuanya dan yang berhak hanyalah penggugat yang merupakan anak laki-laki tunggal. Permohonan penggugat dikabulkan oleh Pengadilan Negeri dan dikuatkan kembali pada tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi. Pada tingkat kasasi, Mahmakah Agung membenarkan pertimbangan hukum tersebut dan berpendapat bahwa konsep pewarisan dalam musyawarah Bali/Hindu adalah Swadarma dan Swadikara, kewajiban-kewajiban dan hak-hak, keseimbangan keduanya terpancang pada purusa atau garis patrilineal dan juga Mahkamah Agung berpendapat bahwa anak perempuan akan memperoleh bekal dari orang tuanya ketika akan menikah, namun tidak dijelaskan bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam pembagian warisan.

Melalui putusan ini dapat dilihat bahwa tidak terwujudnya tujuan dari hukum itu sendiri, dimana salah satu dari tujuan hukum menurut gustav radbruch yaitu menjamin kepastian hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Kepastian hukum yang mengarah kepada pelaksanaan tata kehidupan yang jelas, teratur, konsisten, dan konsekuen serta tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif dalam kehidupan masyarakat.

6. Daftar Pustaka

  1. Peraturan Undang-Undang

Undang Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.

  1. Buku:

Sigit Sapto Nugroho, Hukum Waris Adat Di Indonesia, (Solo: Pustaka Iltizam, 2016) hlm. 72.

  1. Jurnal:

Nur Agus Susanto, Dimensi Aksiologis Dari Putusan Kasus "ST" Kajian Putusan Peninjauan Kembali Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012, Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun