Kau tidak mengatakan apa-apa, tapi berlari kencang, meme luk leherku dan menciumku, dan lengan-lengan kecilmu memeluk erat penuh kasih yang telah Tuhan tumbuhkan dalam hatimu yang bahkan tidak bisa layu oleh kelalaian. Lalu kau pergi, berlari kecil menaiki anak tangga.
Baiklah, Nak, tak lama sesudahnya koran terlepas dari tangan Ayah dan ketakutan yang sangat menyakitkan mendatangi Ayah. Apa yang dilakukan oleh kebiasaan itu pada Ayah? Kebiasaan menemukan kesalahan, menegur-inikah hadiah Ayah untukmu karena kau menjadi seorang putra? Ayah bukan tidak mencintaimu; Ayah hanya menuntut terlalu banyak dari usia beliamu. Ayah mengukurmu dengan tolok ukur usia Ayah.
Dan ada begitu banyak kebaikan, kehalusan, serta kebenaran dalam karaktermu. Hati kecilmu sebesar matahari yang terbit di balik perbukitan yang luas. Itu ditunjukkan oleh dorongan spontanmu untuk bergegas masuk dan memberi ciuman selamat malam. Tak ada yang lebih penting malam ini, Nak. Ayah datang ke samping tempat tidurmu dalam gelap, dan berlutut di situ, merasa malu!
Itu penebusan yang rapuh; Ayah tahu kau tidak akan memahaminya kalau Ayah menceritakannya kepadamu saat kau bangun. Namun, esok Ayah akan menjadi ayah yang sesungguhnya! Ayah akan berteman denganmu, dan menderita ketika kau menderita, tertawa ketika kau tertawa. Ayah akan menggigit lidah ketika muncul kata-kata tak sabar. Ayah akan terus berkata, seakan-akan itu ritual: "Dia hanyalah anak laki-laki-anak laki-laki kecil."
Ayah khawatir telah memandangmu sebagai pria dewasa. Namun sekarang, saat melihatmu, Nak, meringkuk berkeringat dan lelah di tempat tidur kecilmu, Ayah melihat bahwa kau masih bayi. Kemaren kau ada di gendongan ibumu, kepalamu menyandar di bahunya. Ayah meminta terlalu banyak, terlalu banyak.
Semoga ada hikmah yang bisa dipetik dari cuplikan kisah di atas. [3f]
Sumber : martensakaria.my.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H